Sampai di rumah, tubuh Kirana terasa lelah namun wajahnya justru memancarkan semacam kesegaran yang samar, sisa-sisa dari kenikmatan fisik yang baru saja dialaminya namun tidak berani ia akui.
Dia menemukan Huda, suaminya, sedang duduk bersila di lantai dengan penuh kesabaran menyisir rambut putri mereka, Kiara.
Dia mencari Mbak Nina yang dia percayakan untuk menjaga Kiara.
“Sayang… kamu sudah pulang?” sapa Huda dengan lembut, matanya yang lelah berbinar melihat istrinya.
“Hm,” jawab Kirana singkat, berusaha menenangkan suara hatinya yang berteriak, kenapa selalu muncul seperti ini. Padahal sudah bercerai, dan ujung-ujungnya kalau sudah di sini pasti dia ada maunya.
“Kia… lihat, Mama beliin kesukaan Kia… donat coklat,” ucapnya sambil menyodorkan kotak kue, memberikan senyum manis pada putri kecilnya yang langsung bersorak girang.
“Mas, kamu ngapain disini?,” tambahnya cepat, berharap Huda tidak terlalu banyak bertanya dan segera enyah.
Huda mengerutkan kening, “Ini rumahku, kamu hanya numpang disini”
“Aku akan segera pindah dan titipin Kia di rumah Ibu, Mas ga usah khawatir,” jawab Kirana, menghindari pandangannya.
Semenjak perceraian dan tahu dirinya dijual, jujur saja Kirana merasa kesal setiap melihat suaminya datang. Dia berharap bisa segera pergi meninggalkan rumah ini.
Huda menatap Kirana dengan tatapan samar.
“Sudah bertemu dengan Pak Bramasta?” Tanyanya
Kirana langsung menoleh, menatap Huda tak percaya.
“Kamu ga harus bayar hutang itu lagi, dia yang akan lunasin semua hutang kamu”
Kirana menatap Huda dengan tatapan penuh amarah. “Hutangku kamu bilang? Itu hutangnu, mas!”
“Sama saja…dulu kita masih suami istri, hutangku kna hutangmu juga!”
“b******n kamu, mas!”
Teriak Kirana sudah gak memperhatikan lagi kalau Kiara sedang di sana. Dia langsung lari ketakutan menuju Mbak Nina.
“Jangan teriak-teriak, kamu nakutin Kiara!” Gertaknya dengan kasar dia menyeret Kirana menuju kamar.
Dia menarik tubuh Kirana, menangkup wajah istrinya dengan kedua tangannya yang hangat sebelum mencium bibirnya dalam-dalam, lalu memeluknya erat. Kirana membeku, jantungnya berdebar kencang.
Dia yakin aroma parfum Bramasta atau bahkan bekas sentuhannya masih melekat. Karena ia belum sempat mandi.
“Lepasi, Mas! Lepasin! Aku sudah bukan istri kamu lagi!”
“Sebelum kamu menjadi simpanan Pak Bram, kamu harus melayani aku dulu!” Ucap Huda tidak peduli dengan teriakan Kirana yang meminta dilepaskan.
Dengan kasar Huda menarik kemeja Kirana hingga kancing bajunya bertebaran.
“Mas, kumohon..hentikan! Jangan begini!” Kirana memohon karena dia sudah tak memiliki tenaga lagi untuk melawan.
“Demi anak kita, demi Kia…setidaknya hormati aku!” Pintanya.
“Apa bedanya dengan kamu melayani Pak Bram nanti, hm? Aku kan mantan suami kamu!”
“Justru itu Mas…kita ga boleh..tolong lepas, Mas…”
Namun Huda sudah kehilangan akal sehatnya, nafsu sudah membungkus dirinya. Dia mendorong tubuh Kirana ke kasur yang ada di lantai dan menindihnya dengan kasar.
“apa bedanya, hah? Apa bedanya? Setiap aku datang kamu harus mau melayani aku!”
Kirana mendorong tubuh Huda dengan kuat, namun tubuh kurusnya tak sanggup melawan. Cumbuan yang dulu terasa memabukkan dan juga membuatnya terbang kini terasa seperti sayatan senjata tajam yang melukai, bukan hanya fisiknya tapi juga harga dirinya.
Huda yang dulu Kirana kenal, lembut, pengertian dan romantis kini menjadi sosok penjahat kejam dalam kehidupan Kirana.
Setelah puas melepas hasratnya, Huda bangkit dan tersenyum puas.
“Setelah ini aku juga meninggalkan Jakarta jadi kamu ga harus melayani aku. Tapi, ingat kamu ga boleh bilang ibuku atau ibumu kalau kita bercerai. Aku yang akan mengatakannya pada mereka, paham!”
Sebenarnya Kirana tidak peduli dengan orang tua Huda, selama ini mereka tak pernah menyukai Kirana. Namun, dia malas mencari masalah dengan Huda jadi dia hanya mengiyakan saja apa yang dikatakan Huda. Demi kedamaian.
Setelah makan malam dan menidurkan Kiara, Kirana masuk ke kamar. Dia mandi panjang, berusaha membersihkan setiap jejak Bramasta dan juga Huda yang menyatu dari tubuhnya.
Air matanya menetes kembali, dia merasa seperti perempuan murahan yang melayani para lelaki.
Esok harinya setelah mengantarkan Kiara ke sekolah, Kirana langsung pergi ke kantor Bramasta seperti yang Bramasta perintahkan dengan membawa portfolio yang pernah dia kerjakan.
Perjalanan ke kantor Bramasta dia berpapasan dengan Huda.
“Terimakasih ya, Sayang…karenamu aku bisa mendapatkan pekerjaan ini” Ucapnya.
“Maksudmu apa, Mas?”
“Aku tidak akan mengganggumu lagi setelah ini, karena kamu sepenuhnya milik Pak Bramasta Aji Sanjaya “ Seringainya.
“Kamu menjualku untuk yang kesekian kalinya?” Tuduh Kirana
“Mau bagaimana lagi, sepertinya Pak Bram sangat menyukaimu! Ingat pesanku! Jangan katakan tentang perceraian kita pada ibuku atau ibumu jika tidak aku akan….”
“Kamu gak bisa jual aku lagi, karena kita ga ada hubungan apapun. Kalau sampai kamu berani melakukannya aku akan minta Pak Bramasta memenjarakanmu! Kalau sekarang aku diam karena aku gak mau Kiara kelak malu punya Ayah kriminal, paham!” Potong Kirana kini tak takut.
“Wow…takut…!” Seringai Huda lagi.
Kirana meremas ujung blazernya menahan emosi, dia tak pernah mengerti kenapa pria yang di matanya sangat baik di masa lalu ini menjadi sosok yang sangat b******k sekarang.
“Selamat jalan, sayang!” Ujar Bramasta mentowel dagu Kirana sebelum benar-benar pergi.
Setelah mantan suaminya pergi, Kirana menarik napas dalam. Ia naik kembali ke lantai atas. HRD telah menginstruksikan bahwa mulai besok, ia resmi menjadi asisten pribadi Bramasta dan akan bekerja di lantai yang sama dengannya.
Dengan jantung berdebar kencang, ia berjalan menuju pintu kantor Bramasta. Perasaan takut dan penasaran bercampur jadi satu.
Ia mengetuk pelan.
“Masuk!” suara Bramasta terdengar tegas dari balik pintu.
Kirana membuka pintu dan masuk dengan langkah gamang.
“Kunci!” perintah Bram tanpa basa-basi.
Dengan tangan gemetar, Kirana mengunci pintu.
Bramasta berdiri di dekat jendela, pandangannya tajam dan mengawasi. “Kamu mandi dan bersihkan diri dulu. Keluar hanya dengan handuk saja.”
Perintah itu terdengar dingin dan penuh otoritas. Bramasta sengaja menyuruhnya mandi—ia tahu Kirana baru saja bersentuhan dengan suaminya, dan ia tidak suka ada jejak lelaki lain di tubuh perempuan yang kini ia anggap miliknya.
Kirana menunduk, rasa malu dan harga dirinya tercabik sekali lagi. Namun, ia hanya bisa menurut. Ia berjalan ke kamar mandi pribadi di dalam ruangan Bram, meninggalkan Bramasta yang masih menyandarkan tubuhnya di meja, menatapnya dengan pandangan posesif.
Dengan langkah gontai, Kirana memasuki kamar mandi pribadi yang mewah. Suara kunci pintu yang ia putar terasa seperti mengunci nasibnya sendiri. Dia membuka pakaian kerjanya satu per satu, merasa setiap helainya menyimpan bau Huda—bau kesederhanaan, cinta, dan pengkhianatan.
Air hangat menyiram tubuhnya, tapi tidak bisa membilas perasaan kotor yang menggerogoti jiwa.
Apakah benar tak ada jalan selain apa yang dia tempuh sekarang? Rasa bersalah menggerogoti jiwa namun dia tak bisa berbalik. Keputusan sudah diambil. Sekarang dia paham, tak semua orang dengan mudah menjual tubuhnya kalau saja ada jalan lain yang lebih baik.