SIENA 6

1475 Kata
Siena, Gue benci cara lo ngetes kesetiaan. Dengan hilang dan entah kapan kembali. _Siena_ "Ssttt," desis Saka sambil menahan bibir Siena agar tak melanjutkan ucapannya. "Lo nggak cocok ngomong lemah kaya gini. Cewek barbar yang mau cosplay jadi cewek lemah, heh? Maaf aja, gue nggak tertipu." Saka benar-benar kurang ajar. Dia berhasil membuat Siena geram bukan main. Dia pikir Siena sedang cosplay? Apa wajahnya terlihat seperti topeng? Siena menepis tangan Saka yang mencengkeramnya. Matanya menatap tajam laki-laki itu. "Pikiran lo picik. Lagian, ngapain lo masih di sini? Pergi sana, atau mau gue laporin kalau mahasiswa baru itu tukang curi?!” Saka terkekeh. "Lupa kalau gue kakak Aksa?" tanyanya. “Lagian nggak akan ada yang percaya sama kalimat lo. Semua orang tahu seberapa barbarnya lo.” Aksa. Mengingat nama itu dia jadi teringat kalau pemuda itu berangkat dan pulang tidak lagi dengan kendaraannya sendiri. Kalau begitu, sebentar lagi Aksa akan kemari! "Aksa ke mana?" tanyanya. "Ada urusan." "Urusan?" gumamnya. Setahunya Aksa tidak mempunyai urusan lain selain dengan dirinya dan anak Remon deh. "Iya." "Urusan ap–" "Kalian berdua ngapain?" Aksa bertanya memotong pertanyaan Siena. Siena menatapnya, menatap Aksa yang baru saja datang bersama seorang gadis. Siena mengernyit bingung sesat, setahunya Aksa tidak suka berurusan dengan gadis kecuali dirinya. Namun, kenapa dia membawa gadis itu? Sedangkan Saka, laki-laki itu sedikit menjauh dan mulai melepas cengkeraman tangannya pada Siena. Aksa yang paham dengan pandangan Siena langsung menarik gadis di sebelahnya. "Ini Ria. Temen kecil gue dan Saka." Siena mantap Ria yang menatapnya dengan pandangan menilai. Ria itu gadis yang tingginya sama sepertinya. Rambutnya dicat pirang kecoklatan dan digaya keriting gantung. Ria memiliki poni yang menutupi dahinya, matanya sipit dengan alis tipis dan hidung runcing. Bibirnya dipoles warna pink kalem. Dia menggunakan jeans dan atasan ruffled top. Sungguh kalem dan terlihat sangat menawan, tapi Siena tidak peduli. Gadis itu lebih memilih membalas pandangan menilai dari Ria dengan senyum miring. "Ria," ucap Ria mengulurkan tangannya sopan. Siena meliriknya sebentar. "Siena," katanya tenang tanpa membalas. Saka yang menyaksikan itu langsung mendengus. "Nggak sopan." Siena mendengarnya. Dia langsung menatap Saka tajam. Itu semua tidak terlewat dari penglihatan Aksa. "Saka kapan pulang?" Tiba-tiba Ria bertanya. Saka menatap Aksa sebentar sebelum memberikan senyum kepada Ria. "Mungkin tiga atau empat hari lalu." "Lama ya, kok nggak kasih tahu, sih? Coba tadi Ria nggak ketemu Aksa, pasti nggak tahu Saka–" "Gue duluan!" kata Aksa cepat sambil mengamit tangan Siena. Saka dan Ria langsung menatap Aksa. "Lo bareng gue," kata Saka datar. "Lo anter Ria pulang!" "Tap–" Terlambat, Aksa lebih dulu pergi bersama Siena sebelum Saka bisa mencegahnya lebih. Ria memandang Saka tidak enak. "Maaf ..." katanya lirih. Saka menatap Ria. Senyum yang tadi terukir kini luntur seketika. "Jangan sakitin dia!" Ria semakin menunduk. "Tapi ... Saka sama Ria–" "Nggak ada apa pun diantara kita, Ria. Nggak cukup lima tahun lalu?" tanya Saka. Ria menangis. Gadis itu memainkan kedua jemarinya dengan perasaan campur aduk. "Saka ... maafin Ria." "Karena lo gue rela ke Prancis. Saat gue balik ke sini gue harap nggak akan ketemu lo! Tapi–" "Saka!" bentak Ria dengan suara bergetar. "Ria cuma mau minta maaf sama Saka. Ria ngaku salah, tapi Saka harus tahu kalau ... kalau Ria masih sayang Saka sampai sekarang." _Siena_ Siena menatap punggung Aksa dengan bingung. Pemuda itu menyeretnya, berjalan tanpa menoleh maupun bersuara. Aneh, biasanya Aksa tidak akan mau menggandeng tangannya. Terlalu alay bergandengan tangan ketika berjalan. Biasanya Aksa lebih memilih merangkulnya, mengapit leher Siena di ketiaknya yang super-duper wangi. "Lo kenapa, sih?" tanya Siena heran. Aksa masih diam. Langkahnya tetap cepat tanpa memedulikan Siena. "Sa, lo kenapa, sih?" tanya Siena lagi. Namun, Aksa tetap bungkam. Siena menatap tautan tangan mereka lekat. Matanya seolah berkunang dan berganti pandangan. Siena mengernyit saat celana Aksa berubah menjadi celana abu anak SMA. Matanya mencoba melirik pada dirinya sendiri. Dia pun juga menggunakan rok milik anak SMA. Siena seperti dijalankan oleh sesuatu karena mulutnya mendadak bertanya dan berbicara sendiri. "Kita mau ke mana, As?" Matanya membola saat menyadari kalimatnya. As adalah panggilan untuk Aska. Jadi, dia kembali terbang ke masa lalu? "Kamu kenapa diem aja, sih?" tanyanya lagi. Siena mendadak berhenti karena memang Aska juga berhenti. Laki-laki di depannya langsung berbalik dan menatapnya sendu. "Maaf," katanya lirih lalu memeluk Siena. Siena menangis. Gadis itu tahu, itu adalah kata terakhir sebelum Aska menghilang. Mata Siena seperti berganti kembali. Gadis itu menggeleng cepat dengan air mata mengalir di pipinya. "Hiks." Aksa mendadak berhenti membuat Siena yang sibuk mengusap pipinya menabrak laki-laki itu. Aksa berbalik langsung memegang bahu Siena erat. "Na, lo kenapa?" tanyanya panik. Siena masih menangis. Gadis itu terus teringat masa itu, ingatan yang sepertinya tidak ingin berakhir. "Na, lo–" "Aska." Aksa terdiam. Pemuda itu langsung memutar otak seolah melihat sesuatu di memori masa lalunya. Mencari tahu mengapa Siena bisa menangis dan menyebut nama saudara kembarnya. "Aska," panggil Siena lagi. Aksa tidak juga menemukan jawabannya. Pemuda itu hanya mampu memeluk Siena menenangkan. Tangannya yang satu berusaha mengambil botol obat di dalam tas Siena. "Gue Aksa, Na. Aksa." "Aska." "Lo kuat Siena. Aksa selalu sama lo." _Siena_ "Sudah Papa bilang jagain dia!" bentak Adi pada Saka. Saka yang dibentak hanya menunduk diam. Seberani-beraninya dia untuk berkelahi, dia tidak pernah berani melawan orang tua. "Sudahlah, Mas. Mereka masih muda, butuh main. Dunia dia sama Aksa 'kan beda, ya maklum kalau Saka nggak bisa bareng Aksa terus," kata Nadin, istri Adi mencoba menenangkan. Saka melirik ibunya dengan mata berkedip satu. Berterima kasih karena ibunya itu telah membela Saka. Nadin hanya mampu geleng-geleng kepala dengan kelakuan anaknya. "Ya nggak bisa, Ma. Anak itu bandelnya minta ampun. Kalau nggak dijaga bisa makin parah!" Nadin berdecak. "Mas nggak inget dulu sebandel apa?" Saka menahan tawanya saat itu juga, sedangkan Adi menggaruk tengkuknya salah tingkah. "Ya, Mama nggak usah ngomong di depan Saka." Nadin tertawa bersamaan dengan Saka. "Papa nakal juga? Pantes semua anaknya bandel." Akas memasuki rumah dengan santai dan berkata seperti itu. Nadin dan Saka semakin tertawa. "Akas, ngapain ikut ngejek Papa?" tanya Adi kesal. "Itu mah ikatan batin, Pa. Saka nggak berani ngomongnya, makanya Akas yang ngomong." Semuanya tertawa bersama cukup lama. Setelah puas, Nadin memilih untuk melanjutkan memasak. Tinggalah Adi dengan si kembar Saka-Akas. "Duduk, Papa mau ngomong!" Keduanya mengangguk. "Gimana pendapat kalian tentang gadis itu?" tanya Adi. Akas yang terlebih dulu menjawab. "Barbar, urakan, tapi cantik, sih." "Mulutmu!" Saka menyenggol Akas. "Kamu gimana Saka?" "Ya gitu, Pa." Adi mengangguk seolah mengerti. "Makanya Papa nggak setuju Aksa main sama cewek itu. Memang kalian mau punya adik ipar kaya gitu?" Akas tertawa. "Ya enggaklah, Pa. Kasihan istri Akas. Cuma kalau suruh jadiin dia pacar, bisa dipikirkan." Adi melempar bantal sofa ke Akas. "Dasar bocah, lihat yang cantik aja begitu!" "Tapi beneran cantik kok, Pa. Iya nggak, Ka?" Akas mencari persetujuan. "Nggak. Terlalu barbar. Nggak cocok jadi pacar." "Rabun lo! Kalau gue bisa mau pindah satu jurusan dah sama lo berdua." "Akas!" "Ehe... maaf, Pa!" "Dia bukan bahan bercandaan, Kas!" Ketiganya langsung menatap Aksa yang berdiri di depan pintu. Tangannya mengepal dengan mata memandang tidak suka. Adi berdiri mendekati Aksa. "Bagus, dari mana kamu?" Aksa memandang papanya tanpa takut. Wajahnya tetap lurus datar. "Main." "Main sama cewek barbar?" "Dia nggak barbar, Pa. Dia itu ngelindungi dirinya." "Melindungi diri? Dia justru menjebloskan diri ke dalam bahaya!" Akas dan Saka berdiri karena tahu sebentar lagi papanya dan Aksa akan saling meledak. "Itu semua karena Papa! Kalau–" "Stop, Sa! Nggak harusnya lo ngomong gitu! Papa nggak kenal cewek itu sama sekali!" potong Saka. Sebagai kakak dia merasa harus melindungi papanya. Bagaimanapun dia harus menyadarkan Aksa bahwa tidak ada orang tua yang ingin anaknya kenapa-kenapa. "Apa? Lo nggak tahu apa pun, Ka!" "Sa, kita bisa bicarain–" "Nggak ada yang bisa dibicarain! Gue capek!" potongnya dan meninggalkan mereka dalam kejengkelan masing-masing. Tidak disangka, Aksa sekeras itu. _Siena_ "Papa dari mana?" tanya Siena saat Baron baru saja memasuki rumah. Gadis itu duduk manis menghadap tv tanpa menatap papanya. Baron berhenti melangkah, menatap putrinya yang duduk sendirian. Dalam hati dia berucap syukur karena jam segini putrinya telah di rumah. "Papa dari–" "Rumah istri baru," potong Siena cepat. Baron menghela napas. "Iya, Papa harus ke sana sebelum pulang, Sayang." "Nggak sekalian aja tidur di sana?" "Siena, mama Sintia itu baik. Kamu belum pernah ketemu, ‘kan? Dia punya anak seumuran kamu. Ria namanya. Dia cantik. Kamu nggak pernah mau kalau Papa ajak. Kita ke sana besok buat kenalan, yuk!" Siena diam gadis itu lebih tertarik pada nama Ria yang papanya sebutkan. Kira-kira Ria itu apakah sama dengan Ria yang tadi? "Siena–" "Siena ngantuk. Papa kalau mau balik ke rumah istri baru, nggak usah pulang sekalian aja!" Baron mematung mendengarnya. Napasnya harus berembus perih dengan tangannya memegang dadanya yang berdenyut. Rasanya begitu sakit saat putrinya harus jauh seperti ini. Padahal dulu Siena tidak pernah mau ditinggalkan sendirian. _Siena_  
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN