5. Delicious' Bakery

1595 Kata
Bakery Mama terletak di kompleks pertokoan pusat kota, diantara padatnya ruko-ruko dan gedung-gedung yang menjulang tinggi. Sebuah bangunan kecil menyempil diantaranya, bernuansa klasik dan selalu membuat kangen. Dengan warnanya yang bernuansa coklat kayu, selalu membuat merasa nyaman saat berada di sana. Aku tersenyum menatap bangunan bakery dari area parkir. Mama tidak pernah merubah tampilan luar dan dalam bakery semenjak dulu. Berkali-kali renovasi, tapi tetap saja tidak merubah tampilannya. Itu mungkin yang membuat para pelanggan seperti sedang bernostalgia jika berkunjung ke bakery. Karena terletak di pusat pertokoan, kadang tempat parkir saja mesti berebutan. Tapi walaupun begitu, bakery tidak pernah sepi tiap harinya. Selalu saja ada pelanggan baru maupun lama yang datang. Untuk resep kuenya sendiri, Mama memang selalu menekankan para karyawannya untuk selalu menggunakan bahan premium dan tidak boleh sembarangan diganti jika bahan sedang kosong. Bahan yang selalu konsisten membuat cita rasa kue di bakery selalu terjaga. Mungkin itu juga salah satu alasan para pelanggan selalu kembali lagi. Tidak bisa dipungkiri jika rasa kue dari bakery Mama ini memang membuat ketagihan. Aku termasuk salah satu yang merindukan rasa kue di bakery ini, apalagi semenjak kepindahanku ke Jakarta. Mungkin memang ada banyak bakery dengan berbagai macam pilihan kue, tapi hanya bakery Mama ini yang memiliki cita rasa khas yang sulit untuk dilupakan. Aku menggenggam tangan Vio dan menuntunnya menuju bakery. Wajahnya masih sekeruh tadi, beberapa kali dia masih merengek meminta aku mengganti es krimnya yang terjatuh. Tapi karena dari tadi aku mendiamkannya, dia tidak berani meminta lagi. Padahal aku tidak marah karena rengekannya, tapi ada suatu hal membuatku berpikir dengan keras dan mengabaikannya. Apalagi kalau bukan karena nama yang tertera di kartu nama tadi. Rasanya aku begitu naif. Harusnya aku sudah melupakan semuanya dan walaupun kembali mengingatnya, seharusnya tidak ada lagi perasaan apa pun yang terasa. Ini sudah cukup lama berlalu, apa lagi yang aku harapkan dengan ingatan masa laluku ini? Tentu saja nggak ada. Aku menarik napas dalam-dalam dan menghelanya dengan cara yang sama. Seperti ada sekat yang mengganggu pernapasanku sehingga membuatku sulit untuk menarik napas dengan normal. Rasa nyeri di dadaku mirip dengan yang dulu pernah aku rasakan. Aku menekan dadaku dengan kuat dan berharap rasa sakit itu segera berlalu. Pandanganku mengarah pada Vio dan aku tersenyum saat melihat betapa cemberutnya wajahnya saat ini. Wajahnya sangat menggemaskan dan mencubit pipinya dengan lembut. "Tuh, di sana banyak jual es krim," kataku sambil menunjuk sebuah mini market yang terletak tak jauh dari bakery. Dengan iming-iming es krim, perasaannya pasti bisa membaik. Mata Vio membesar, dia tersenyum lebar dan menarik tanganku agar berjalan lebih cepat. Vio pasti sudah tidak sabar untuk memintaku membelikannya es krim lagi. Tepat seperti dugaanku, Vio memang sangat mudah dibujuk jika sedang ngambek. Berbeda sekali denganku yang membutuhkan perjuangan sedikit lebih keras untuk membujukku jika aku sedang marah. "Sebentar ya, kita ke bakery dulu," kataku memberi pengertian padanya. Sepertinya suasana hati Vio sudah membaik, dia mengangguk tanpa penolakan saat mendengar perkataanku. Kata es krim sudah seperti mantra buatnya. Sudah lama rasanya aku tidak menginjakkan kaki ke bakery. Lima tahun. Iya, waktu yang sama dengan kepergianku ke Jakarta. Walaupun terasa canggung tapi rasa kangen terlampau besar dan membuatku dengan mantap melangkah masuk ke bakery. Aku mendorong pintu kaca bakery perlahan. Bunyi lonceng berdering pelan, memberikan tanda jika ada yang memasuki bakery. Aku menarik napas panjang. Aroma yang menyenangkan masuk ke paru-paruku, perpaduan wangi vanila, coklat, dan pandan, yang berbaur satu. Juga aroma manis kue yang sedang dipanggang. Aroma ini sudah lama tidak masuk ke pernapasanku. Mendadak mataku menghangat, betapa rindunya aku dengan aroma ini. Menghirup aroma ini seperti sebuah aromaterapi buat. Rasanya begitu nyaman dan tentu saja aku sangat betah jika berada di sini dan menikmati aroma tang begitu kusuka. Dulu aku sangat betah berlama-lama di sini. Membiarkan paru-paruku penuh dengan aroma manis yang begitu menyenangkan sekaligus menggiurkan. Kadang aku juga membantu para karyawan untuk membuat beberapa resep kue. Sama halnya seperti Mama, aku juga tidak pernah belajar membuat kue secara khusus. Mungkin karena sangat menyukai proses pembuatan kue, dari persiapan hingga pemanggangan, semuanya mengalir saja. Kadang beberapa resep terbaru memang muncul setelah melihat kue-kue yang sedang tren saat ini. Mama beruntung karena memiliki karyawan yang begitu loyal pada bakery. Beberapa memang lulusan dari sekolah boga, tapi banyak juga yang belajar secara otodidak dan karena kecintaan mereka pada dunia bakery membuat mereka tidak kalah dengan yang ahli. Aku mengedarkan pandangan ke seluruh sudut, beberapa pelanggan sedang memilih-milih kue dari etalase kaca. Karyawan yang lalu lalang terlihat asing. Pagi ini belum terlalu ramai dengan pelanggan sehingga aku bisa dengan leluasa melihat tiap sudut bakery. Seperti yang aku bayangkan, memang tidak banyak yang berubah. Bahkan hiasan di dinding berupa lukisan abstrak saja masih tak berubah dari tempatnya. Aku tersenyum saat melihat seseorang yang kukenal, karyawan kesayangan, sekaligus orang kepercayaan Mama. "Mbak Nay!" katanya setengah menjerit. "Kirain nggak bakal datang hari ini. Tahu gitu tadi aku minta yang lain buatin acara penyambutan." Dia menghampirku dengan senyum lebarnya. "Penyambutan apaan?! Tamu penting juga bukan," kataku sambil tertawa kecil. "Apa kabar, Bim? Sehat aja ya kayaknya," godaku sambil menepuk-nepuk pundaknya. Bimo nyengir dan sambil setengah menunduk menyapa Vio dengan mengelus rambutnya perlahan. "Nggak bareng Ibu ya, Mbak?" tanyanya kemudian. "Mama agak siangan datang," sahutku. "Ayo, ke dalam aja, Mbak. Di dalam masih banyak orang lama kok." Aku mengikuti langkah Bimo memasuki bagian dalam bakery. Tidak ada jabatan khusus di bakery ini. Siapa saja bisa menjadi chef, kasir, bagian gudang, bahkan bagian kebersihan. Hanya bagian keuangan yang dipegang langsung oleh Mama, lainnya Mama begitu percaya pada karyawan-karyawannya. "Bim, bisa minta tolong temanin Vio ke mini market sebelah?" pintaku. Walaupun Bimo dan Vio baru pertama kali bertemu, tapi sepertinya Bimo terlihat menyukai Vio. Beberapa kali dia terlihat ingin menarik perhatiannya. "Boleh, Vio mau dibeliin apa?" tanyanya sambil menyodorkan tangannya pada Vio. Vio mengerling ke arahku dan dijawab anggukan olehku. Vio selalu waspada dengan orang yang baru dikenalnya, aku sudah menanamkan hal itu padanya sejak dia sudah mulai mengerti. "Es krim," jawabnya yakin. "Yakin cuma es krim?" goda Bimo padanya. Vio tampak berpikir dan membuat Bimo menertawakannya. Apalagi kening berkerutnya yang menyatakan jika dia sedang berpikir dengan sangat keras. "Vio boleh pilih apa aja yang Vio mau asalkan uang yang dikasih Mama ini cukup," kata Bimo sambil melambaikan uang seratus ribuan yang aku berikan padanya. Vio menjerit kegirangan. Bisa dipastikan Vio pasti akan menghabiskan semua uang yang aku berikan pada Bimo. "Vio sama Om Bimo dulu ya, pilih aja apa yang Vio suka," kataku. Tak lama setelah Bimo dan Vio menghilang dari hadapanku, aku beranjak menuju dapur, tempat dimana proses pembuatan kue dilakukan. "Mbak Nay!" sapa seseorang ketika melihatku memasuki di dapur. "Ibu bilang Mbak bakal datang dalam minggu ini, tapi nggak ada bilang pastinya kapan," lanjutnya lagi. "Oh hai Riri," sahutku membalas sapaan Riri, salah seorang karyawan lama yang menjadi andalan Mama untuk memodifikasi resep-resep kue. Riri terlihat ingin mendekat ke arahku, tapi kesibukannya dengan adonan kue membuatnya hanya melambai tangannya padaku. "Mama memang suka serba rahasia. Apa yang spesial hari ini?" tanyaku sambil mengintip apa yang sedang dilakukannya. "Pandan cotton cake with caramel custard pudding," sahutnya sambil tersenyum lebar. "The most best seller di Delicious' Bakery," lanjutnya. "Karamel?" tanyaku tidak yakin. "Iya, karamel yang manis dipadukan dengan lembutnya cotton cake, pas banget, Mbak," katanya dengan nada bangga. Aku ingin menyatakan ketidaksetujuanku dengan idenya menggabungkan karamel dengan cotton cake. Itu sama sekali bukan ide yang bagus, rasa lembut cotton cake rasanya nggak pantas dipadukan dengan karamel. Tapi akhirnya aku memilih diam saja karena mungkin Riri akan tersinggung dengan ucapanku. Apalagi tiap orang memiliki selera yang berbeda. Aku memang tidak menyukai rasa karamel yang terasa aneh di lidahku, tapi belum tentu Riri begitu. "Nanti Mbak wajib coba," lanjutnya lagi. Aku mengangguk sambil tersenyum. "Besok ya aku bantuin kamu, siapa tahu ada ide resep baru." Kataku dan dijawab anggukan bersemangatnya. Bukannya nggak mau membantunya, hari ini perasaanku sedang tidak begitu baik. Aku tidak mau perasaanku yang buruk itu akan tertawa saat membuat kue. Kue yang tidak sempurna adalah sebuah bencana di sebuah bakery. Aku meninggalkan Riri dan menuju ruang khusus pemanggangan kue. Aroma khasnya memenuhi pernapasanku. Aku tersenyum sambil menghirup lebih dalam. Panasnya hawa pemanggangan tidak menggangguku untuk melangkah lebih dekat. Ada enam oven bertingkat yang semuanya sedang beroperasi. Setiap hari Mama selalu memastikan ada resep spesial yang menjadi highlight bakery, biasanya berdasarkan jumlah penjualan terbanyak dalam satu minggu. Kue yang dijual di bakery juga tidak melulu kue modern, kadang ada beberapa kue tradisional yang menjadi pilihan. Senyumku memudar saat melihat beberapa loyang bulat dari kaca oven yang transparan. Bolu karamel. Terlalu banyak karamel hari ini. Kue jadul kesukaan Mama, dari dulu tidak pernah absen mengisi etalase bakery. Kue yang tidak pernah menarik perhatianku dari dulu, karena memang tidak ada yang istimewa. Rasanya khasnya yang aneh, perpaduan rasa manis pahit dan aroma kayu manis yang tidak pernah cocok di lidahku. Nanti aku akan mengusulkan penambahan kue baru pada Mama. Beberapa tahun berlalu, sepertinya Mama hanya sedikit memodifikasi resep kue di bakery. Mama memang sangat mencintai bakery-nya dan selalu berusaha memuaskan pelanggan dengan konsisten menyajikan kue-kue kesukaan mereka. Tapi tidak ada salahnya aku sedikit merubah pemikiran Mama dengan menghilangkan beberapa jenis kue dan menggantikannya dengan yang baru. Apalagi sekarang banyak sekali kue-kue modern yang dipadukan dengan resep tradisional. Sepertinya akan menjadi ide bagus untuk di bakery ini. Aku beranjak keluar dan menuju sebuah ruangan khusus di sebelah kasir yang biasa digunakan Mama untuk merancang resep kue baru ataupun sekadar beristirahat. Ponselku berbunyi pelan saat aku baru meninggalkan ruang pemanggangan. Keningku berkerut, sebuah nomor berkedip-kedip di layar ponselku. Nomor yang dulu selalu menjadi nomor teratas di kontak ponselku. Aku menghela napas panjang. Buat apa Beni meneleponku?(*)
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN