EMPAT

2211 Kata
"Stell, lo nggak papa? Wajah lo pucet banget sumpah." Kata Kinara saat Stella masuk ke dalam mobil Kinara dan duduk disamping temannya itu pagi ini. Stella tersenyum lebar, namun tidak menghilangkan wajah sayunya. "Nggak papa. Gue hanya kena flu biasa kok." Jawabnya kemudian memasang seatbelt-nya. Kinara tidak langsung percaya, makanya dia tidak kunjung menjalankan mobilnya. Jangankan menjalankan mobilnya, menghidupkannya saja dia tidak karena dia benar-benar khawatir dengan kondisi Stella. "Flu biasa gimana? Lo itu pucat banget loh Stell dan lo juga panas banget." Kata Kinara lagi setelah setelah meletakkan telapak tangannya di kening Stella tadi. "Lo absen aja hari ini, gimana?" Tanya Kinara yang langsung disambut gelengan cepat Stella. Dan kalau Stella sudah bertingkah keras kepala seperti ini, Kinara hanya bisa diam menuruti temannya itu karena Stella dan kekerasan kepalanya bukanlah sesuatu yang bisa ditangani Kinara. Hanya sebagian orang saja yang mampu meluluhkan kekerasan kepala temannya Stella. "Ya udah kalau gitu lo ikut. Tapi nanti kalau lo nggak kuat bilang ya biar gue anterin berobat atau pulang." Stella mengangguk sambil tersenyum lemah. "Terimakasih ya Ra," kata Stella kemudian menyandarkan tubuhnya ke punggung kursi mobil Kinara. Sambil mengemudikan mobilnya, sekali-kali Kinara melirik Stella. Dia tidak mau lalai hingga tidak menyadari kalau seandainya Stella benar-benar pingsan. Karena ketika dia bilang Stella pucat, wajah Stella memang benar-benar sangat pucat. Tapi karena dia tau tentang ketakutan Stella, dia juga tidak tega memaksa Stella untuk tidak bekerja saja hari ini. "Stell, hari ini pak Evan pulang kan ya dari Kalimantan." Ujar Kinara tiba-tiba ingat orang yang mungkin bisa dia minta untuk membujuk Stella. Membuka matanya pelan, Stella kemudian mengangguk kecil. "Iya katanya dia hari ini pulangnya. Tapi sepertinya penerbangannya antara siang ini atau malam nanti." Jawab Stella lirih lalu memeluk erat tabung tempat design yang akan ditunjukkannya pada Evan nanti. "Yah, itu artinya gue nggak bisa dong minta pak Evan maksa lo buat pulang dan istirahat." Ujar Kinara yang tentunya disambut Stella dengan wajah cemberut yang membuat Kinara terkekeh senang. "Gue bercanda kali Stell. Dari yang gue lihat pak Evan juga nggak sanggupkan mengendalikan kekerasan kepala lo." Tambah Kinara tanpa sedikitpun meninggalkan tatapannya pada jalan karena sebentar lagi mereka akan tiba di Greenleaf. Bibir Stella mengkerucut kecil lalu katanya dengan nada yang masih lirih, "Kata siapa? Lo nya aja yang nggak tau kalau pak Evan itu jauh lebih keras kepala dari gue. Bedanya kekerasan kepalanya disampaikan dengan cara berbeda." Kinara tertawa, lalu mengambil tasnya yang ada di jok belakang karena dia sudah selesai memarkirkan mobilnya. "Bagus dong kalau pak Evan lebih keras kepala. Itu artinya lo tau semenyebalkan apanya lo kalau udah ngototan seperti sekarang ini." Kata Kinara, "Tapi sumpah Stell gue nggak nyangka udah dua minggu aja lo dekat ama pak Evan dan hebatnya anak kantor belum ada yang tau selain gue ama pak Arkan." Tambah Kinara lalu keluar dari dalam mobilnya yang diikuti oleh Stella. "Ya nggak taulah. Kan gue emang berusaha biar nggak ada orang yang tau." Jawabnya dengan lemah. "Gue takut ama cemoohan orang-orang di kantor." Seketika senyum Kinara hilang, ditatapnya temannya itu dengan simpati. Lalu katanya, "Sekali-kali lo nggak perlu dengarin apa orang Stell karena mereka nggak tau hidup lo." Stella membalas tatapan Kinara sesaat, kemudian tersenyum lemah. Dia tidak mengatakan 'iya' pada Kinara karena dia tau tidak akan bisa melakukan itu. "Ayo." Kinara mengajak Stella untuk meninggalkan daerah parkiran setelah dia memastikan mobilnya aman. Namun baru beberapa langkah mereka berjalan dari sana, mereka berhenti karena Stella hampir jatuh karena pusing yang coba ditahannya sedari tadi berulah. Saat itu Kinara tidak siap menangkapnya karena terlalu tiba-tiba, beruntung ada orang di belakang mereka dan bersedia menangkap dia dari belakang. "Kak Evan?!?" Panggil Stella lirih antara percaya dan tidak percaya karena seharusnya pria itu tidak ada disini. Evan lalu melepaskan Stella setelah dilihatnya wanita itu sudah bisa berdiri dengan baik. "Sebenarnya apa yang kamu lakukan selama aku tidak ada? Kenapa keadaan bisa sebu..." "Ini. Aku menyelesaikan design yang kak minta." Stella memotong perkataan Evan saking semangatnya. Dia menunjukkan dengan bangga tabung yang menjadi alasan hampir tidak istirahat selama 1 minggu ini. Wajah begitu berseri ketika menunjukkannya, meski begitu seri itu tidak bisa menyembunyikan wajah sayu dan pucat gadis itu. Kinara menatap tabung ditangan Stella, lalu melirik Evan sebelum kemudian dia juga melirik Stella yang masih saja tersenyum dengan wajah sakitnya. 'Stella, sadarlah pak Evan lagi marah.' Kata Kinara dalam hati karena dia gemas dengan ketidakpekaan Stella. Dia saja bisa sadar dan merasa kalau pria itu sekarang sedang mencoba menahan emosinya. Menarik tabung di tangan Stella dengan sedikit kuat dari pelukan Stella, Evan lalu memberikan tabung itu kepada Kinara. "Tolong antarkan ini ke ruangan saya. Dan tolong sampaikan pada bagian HRD kalau hari ini Stella tidak hadir karena dia sakit." Stella terkejut dan bingung dengan tingkah Evan. Dia akan protes pada Evan, tapi terhenti saat dilihatnya wajah mengeras pria itu. "Kamu naik mobil aku sekarang, aku akan mengantarmu pulang." "Tapi kak..." "Tidak ada kata tapi, kamu takut sendiriankan? Aku akan menemanimu sampai kamu tidur." Katanya lalu berjalan duluan mendahului Stella. Sedangkan Stella yang tertinggal di belakang Evan hanya bisa diam sambil menatap pria itu dengan tatapan bertanya. Sebenarnya siapa Evan ini dan sejauh apa dia tau tentang Stella. >>>O "Enghhh..." Lenguh Stella saat dia terbangun dari tidurnya. Meski begitu dia hanya membuka matanya sekejap saja karena dia perlu menenangkan sakit dikepalanya. Tidak separah tadi pagi memang sakitnya, tapi cukup untuk membuat Stella merasa enggan melakukan hal kecil sekalipun. Termasuk didalamnya membuka mata dan bangun dari posisi berbaringnya. Sampai dia mendengar suara Evan disana, hingga dengan refleks dia membuka matanya. "Kamu udah bangun?" Tanya pria itu terlihat meletakkan laptopnya ke nakas yang berada di samping ranjang Stella. "Tunggu aku panggilkan perawat atau dokter kesini." Lanjut pria itu langsung meninggalkan Stella yang terlihat kebingungan. Stella bingung karena dia baru menyadari kalau dia tidak dikamarnya sekarang. "Ini rumah sakitkan?" Katanya lalu melirik tangannya yang terhubung dengan sebuah botol infus. Saat itu Evan kembali dengan seorang dokter yang langsung melakukan pemeriksaan singkat kepadanya. Sesekali Stella akan menjawab pertanyaan dokter itu tentang bagaimana perasaannya, apakah sudah merasa baik atau tidak. Pertanyaan itu dijawab dengan baik oleh Stella meski dia masih tidak mengerti kenapa dia bisa berakhir di rumah sakit. Bukankah dia dan Evan tadi sudah diapartemennnya? Lalu kenapa dia malah berbaring disini sekarang, bukannya dikamarnya? Terlalu sibuk dengan pikirannya membuat Stella tidak sadar kalau pemeriksaannya sudah selesai. Bahkan dokter yang memeriksanya tadi sudah keluar dari ruangannya setelah memberikan laporannya pada Evan mengenai perkembangan kondisi Stella. "Kak, kenapa aku ada disini?" Tanya Stella begitu dilihatnya Evan masuk dan mendekat kepadanya. Evan menghembuskan napasnya berat, lalu memasang wajah galak yang tidak membuat Stella takut sedikitpun karena dia tau kalau pria itu tidak benar-benar marah. "Kamu tau, kamu tadi tidak sadarkan diri saat kita akan masuk ke lift keapartemenmu. Makanya aku langsung membawamu kesini karena aku tidak yakin kamu hanya terkena flu biasa." Jelas pria itu lalu duduk dan menatap Stella dalam. "Sebenarnya apa yang kamu lakukan selama satu minggu ini?" Pertanyaan yang dipotong oleh Stella saat di parkiran kantor tadi akhirnya berhasil Evan tanyakan lagi dan kali ini dia akan memastikan kalau Stella menjawabnya. Dengan wajah sayunya, Stella tersenyum meringis. "Maaf karena sudah membuat kak Evan khawatir. Tapi aku benar-benar tidak apa-apa kok. Aku hanya terlalu senang dan bersemangat karena akhirnya aku mendapat proyek sendiri dan aku tidak mau mengecewakan kak Evan." Ucap Stella sambil membalas tatapan Evan agar pria itu tau kalau dia serius. Stella tidak tau apakah proyek yang didapatkannya disebut hasil nepotisme atau tidak karena memang dia mendapatkannya karena Evan. Masih ingatkan kejadian dimana pria itu memintanya untuk memasak sebagai bentuk terimakasihnya? Nah saat itu mereka tidak langsung keapartemennya, tapi belanja bahan-bahan makanannya dulu. Waktu mereka belanja inilah mereka bertemu kenalan Evan. Kenalannya Evan itu meminta Evan untuk membangunkan rumah yang katanya akan dijadikan rumah peristirahatan oleh orangtua kenalannya Evan ini. Saat itu Evan menolaknya, menurut Stella itu wajar mengingat mereka ada proyek besar yang harus dikerjakan. Selain itu Evan juga harus mengawasi proyeknya yang hampir rampung di Kalimantan, proyek yang menjadi alasan Evan pergi selama satu minggu kemarin. Ketika Evan mengatakan dia tidak bisa, Stella pikir pembicaraan akan selesai. Tapi dia salah karena pria itu malah menawarkan untuk menggunakan jasa Stella yang disambut orang itu dengan baik. Nah sejak saat itulah Stella mulai sibuk dengan proyeknya itu. Dia ingin mengerjakannya dengan sungguh-sungguh agar kliennya puas dan Evan pun tidak malu dan menyesal karena telah memilihnya untuk mengerjakannya. Untuk sesaat baik Stella dan Evan tetap saling menatap dalam diam, hingga akhirnya Evan memilih memutuskannya. Pria itu lalu menghembuskan napasnya kuat sebelum bersandar ke kursi jaga, membiarkan kepalanya menggantung sesaat. Setelah itu dia menegakkan kembali tubuhnya lalu mengambil handphone-nya. "Kamu mau makan apa? Biar aku pesankan." Tanya pria itu sambil menunjukkan layar hape-nya yang menunjukkan aplikasi yang bisa antar jemput makanan. "Nggak us..." Stella akan bilang 'nggak usah karena nggak lapar', tapi dia berhenti saat dia melihat wajah datar pria itu. "Mau bubur Ta*an." Katanya akhirnya mengalah daripada lebih lama lagi mendapat pelototan dari Evan. >>>O Dua kali Stella membuka mata dari tidurnya di ruangan rumah sakit tempatnya berbaring sekarang, maka dua kali pula Evan jadi orang pertama yang dilihatnya. Bedanya hanyalah kondisi pria itu ketika dia menemukannya. Jika sore tadi dia mendapati Evan dalam keadaan bangun, maka sekarang Stella menemukan Evan dalam keadaan tidur. Pria itu tertidur di sofa panjang yang ada di ruang rawat inap Stella. Posisi tidur Evan membuat Stella meringis karena langsung membayangkan sesakit apa badan pria itu saat bangun nanti. Karena meskipun sofa itu dia bilang panjang, tempat itu tidak cukup untuk menampung tubuh Evan yang cukup besar. Seharusnya dengan posisi yang seperti itu atasannya itu tidak bisa tidur dengan baik, tapi nyatanya pria itu malah terlelap disana. Beranjak dengan pelan, Stella mendekat pada Evan. "Kak Evan... kak Evan..." Panggilnya dengan pelan yang tentunya tidak berhasil membangunkan pria itu. "Kak Evan bangun..." Katanya lagi kali ini sedikit berbeda karena sekarang dia menggunakan suara yang sedikit lebih kuat dan tepukan pelan di lengan Evan. "Hnnggghhh..." lenguh Evan lalu membuka sebelah matanya. Tampaknya pria itu terlalu lelah dan malas, makanya dia tidak mau repot-repot membuka kedua matanya. "Ada apa?" Balas Evan kemudian dengan suara serak khas orang bangun tidur. "Kak Evan, apa kakak nggak pulang aja? Aku nggak papa kok kalau sendiri. Badan kak Evan bisa sakit kalau lanjut tidur disini. Padahal kak Evan harus kerjakan besok." Satu mata Evan yang sempat terbuka tadi kembali tertutup. Lalu pria itu berkata, "Kembalilah ke tempat tidurmu, aku akan tetap disini." "Tapi badan kak Evan pasti sakit kalau tidur disitu." Kali ini Stella terdengar ngotot karena dia memang tidak mau membuat orang lain susah karenanya. Kedua mata Evan terbuka kemudian dia bangkit berdiri dari sofa itu. Stella pikir pria itu akan menuruti permintaannya, tapi ternyata tidak karena Evan hanya berganti tempat tidur dari sofa ke ranjangnya. Melihat tingkah pria itu hanya membuat Stella diam ditempatnya berdiri, tepatnya di samping sofa tempat Evan tidur tadi. Dia bingung dengan maksud Evan melakukan berpindah tempat tidur ini. 'Apakah kak Evan mau gue tidur disini?' Tanya Stella dalam hati. "Kenapa kamu masih disitu, cepatlah berbaring aku benar-benar lelah dan ingin tidur." Dengan satu tangan yang menopang kepalanya dan tubuh yang berbaring menyamping Evan mengatakan hal itu. "Tapi..." "Kamu khawatir aku tidak bisa tidur dengan baikkan? Aku sudah menemukan tempat tidur yang layak, walaupun itu harus berbagi dengan kamu. Aku pikir itu tidak masalah, sekarang bisakah kita mengakhirinya dan kembali tidur." Kali ini Evan tampaknya serius ingin tidur makanya dia tidak menunggu Stella yang masih kebingungan. Pria itu sudah menutup matanya dengan posisi menyamping, siap kembali ke dalam tidurnya. Stella sendiri, meski ragu akhirnya dia kembali ke ranjang inapnya. Dia berbaring diposisi yang telah disisahkan Evan untuknya. Beruntung tadi sore infusnya sudah dicabut jadi dia bisa bergerak sebebas apapun yang dia mau. Sekali-kali dia melirik pada Evan yang sudah kembali tidur, dia cemburu dengan kemampuan tidur pria itu.  "Seandainya gue juga bisa seperti itu." Katanya dengan sangat pelan sambil terus menatap wajah tampan Evan. Kemudian dia tersenyum dan mengucapkan apa yang ada dalam pikirannya saat itu. "Kak Evan tau kalau sebenarnya aku sangat berterimakasih kak Evan tidak pulang karena akhirnya ada orang yang mau repot untuk aku." Kali ini sudah mengembalikan tubuhnya untuk berbaring menghadap langit-langit. Matanya menerawang kosong lalu dia melanjutkan kata-katanya tanpa sadar, "keberadaan kak Evan disini cukup untuk menghilangkan rasa takut dan kesepian yang biasanya aku rasakan jika aku sendirian." Stella tau kalau dia melakukan hal yang aneh karena dia berbicara pada orang yang sedang tidur. Tapi dia melanjutkannya karena dia pikir itu bisa mengurangi beban yang disimpannya selama ini dalam hatinya. Dia tidak peduli kalau Evan tidak mendengar dan tidak meresponnya karena memang itulah yang dia inginkan. Karena sejujurnya dia belum siap kalau ada orang lain yang tau tentang apa sebenarnya dia rasakan dan alami selama ini. "Kalau kamu mau, aku bisa menemanimu. Aku akan datang kapanpun dan dimanapun kamu saat itu." Stella langsung memutarkan tubuhnya saat mendengar suara Evan tadi, dia tidak menyangka kalau pria itu masih bangun dan mendengar semua ceritanya. "Kak Evan..." "Serius kita butuh istirahat sekarang, jadi tidurlah aku tidak akan pergi kemana-mana." Evan memotong apa yang ingin Stella katakan dengan memeluknya kuat. Untuk beberapa waktu yang cukup lama Stella menatap Evan dari bawah dagu pria itu. Awalnya wajahnya terlihat kebingungan, tapi kemudian dia tersenyum dan membalas pelukan Evan. "Terimakasih," katanya kemudian lalu menutup matanya. >>>0
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN