2

1561 Kata
"Ku--" "Berani lo manggil gue pake panggilan itu lagi, gue pastiin burung kesayangan lo itu besok udah hilang!" Sajak langsung menutupi pusaka berharga miliknya usai mendengar ancaman dari Karamel yang terdengar sungguh-sungguh. "Gue cuma punya satu, kalau sampai lo potong gimana gue bisa bikin lo hamil?" Karamel melotot, dia sudah siap melempar tip-x miliknya saat kemudian sosok Kepala Divisinya muncul. "Karamel, saya minta print out an dokumen yang semalam saya kirim ke email kamu. Bisa?" Karamel dengan sigap langsung mengangguk. "Bisa, Pak. Sekarang juga saya akan print kan," katanya. Dengan senyum sopan dia langsung bangun setelah atasannya itu meninggalkannya. Dia mengabaikan sosok lain yang anehnya masih saja bertahan di meja nya. Karamel tidak mengerti ini kah yang namanya takdir atau musibah, tapi seperti sebelumnya saat dia berada di sekolah dasar yang sama, sekolah menengah pertama yang sama, sekolah menengah atas yang sama, kuliah di jurusan yang sama, kini dia juga berada di kantor yang sama dan bahkan divisi yang sama dengan Sajak. Dia sangat yakin jika pria itu yang mengikutinya, sayang saja Karamel tidak memiliki bukti kuat yang bisa dia gunakan untuk membuktikan jika pria itu memang menguntitnya. Padahal orang tua Sajak sudah pindah ke Surabaya, namun pria itu malah memilih bertahan di ibukota dan hidup seorang diri di rumah besar peninggalan keluarganya. "Ra, gue mau makan di resto baru yang ada di depan." Karamel abai, dia terus menunggu hingga semua lembaran yang dia cetak keluar dari alat di depannya. "Katanya di sana ada cumi tepung kesukaan lo." Karamel masih abai, dia hanya menyentak kan lembaran itu ke atas meja agar mejadi lebih rapi. "Ra, kalau lo mau, gue bisa--" Karamel langsung menoleh cepat, menatap jengah bercampur kesal pada Sajak yang terlihat tidak mengerjakan apapun dan hanya mengikutinya kemana-mana. "Lo kan bisa ajak yang lain. Kenapa harus gue sih? Jangan kan buat menikmati makanan gue, kalau gue makan bareng lo yang ada gue enggak bisa ngunyah dan mencerna makanan dengan baik," tukas Karamel ketus. Ucapannya itu sama sekali tidak membuat Sajak tersinggung. Pria itu malah berjalan semakin mendekat padanya, dengan wajah yang masih dipenuhi senyum menyebalkan. Sebenarnya tidak ada yang salah dengan senyum yang ditunjukkan oleh Sajak, justru senyum itu adalah senyum yang banyak menuai pujian dari wanita lajang di divisi mereka atau bahkan di luar divisi. Hanya saja Karamel sudah terlanjur sebal, sehingga mau setampan apapun Sajak itu tidak akan berpengaruh padanya. "Ya kan belum dicoba, Ra. Mungkin aja lo masih bisa ngunyah dan mencerna makanan dengan baik walaupun makannya sama gue." Karamel menyerah. Dia tidak ingin lagi meladeni pria itu karena rasanya semua energinya habis hanya karena berhadapan dengan Sajak. Pria itu selalu saja bisa membalas semua ucapannya, mungkin itu adalah bakat yang diturunkan oleh Ayah pria itu yang merupakan penulis terkenal.  Biasanya kan penulis selalu pandai mencari dan merangkai kata-kata? Ia akhirnya memilih berjalan ke ruangan atasannya, mengetuknya sekilas sebelum kemudian masuk ke dalam. Dia menyerahkan lembaran yang sudah dia cetak rapi. "Ini yang tadi Bapak minta," kata Karamel dengan sopan. "Oke, taruh aja di atas meja," balas atasannya tanpa mengangkat pandangan sedikit pun ke arah Karamel. Kara tidak ambil pusing, dia hanya langsung berbalik badan dan kembali keluar dari ruangan itu. Namun kemudian dia terkejut dan reflek menghela napas berat saat melihat Sajak masih menunggu dirinya. "Jak, gue enggak mau." "Gue enggak ada temen makan, Ra," kata pria itu dengan nada lesu. Tapi kesedihan dan kesusahan Sajak sama sekali bukan urusannya. Seperti biasa Kara sama sekali tidak tersentuh dengan segala macam yang dilakukan pria itu. "Terserah. Gue enggak mau makan sama lo, atau lo bisa ajak Selena buat makan bareng sama lo." Karamel tidak tahu jika ucapannya itu membuat Sajak langsung mematung. Pria itu bahkan berhenti mengikuti langkah Kara hingga membuat Kara menoleh dengan penasaran. Kara berkerut kening menatap Sajak yang terdiam sambil menunduk. Mata pria itu tampak tidak fokus, hanya memandangi lantai dengan kosong. Kara merasakan sesuatu yang tidak beres dengan pria itu, dia memutar langkah mendekati Sajak. Namun hanya dengan menyentuh pundak nya sekilas saja, Sajak sudah terkejut bukan main bahkan sampai memundurkan langkahnya. "Lo kenapa?" tanya Kara agak cemas. Pasalnya dia sama sekali tidak pernah melihat sosok Sajak yang seperti ini. Sajak selalu tampak percaya diri dan tidak pernah bersikap serius di depannya. Namun kali ini pria itu tampak gelagapan, senyum yang ada di wajahnya tampak palsu hingga kemudian pria itu berbalik tanpa mengatakan apapun dan keluar dari ruangan kerja mereka. __ Setelah hari itu Karamel tidak pernah lagi berbicara dengan Sajak. Pria itu selalu datang paling terlambat dan pulang paling cepat. Bahkan saat mereka tidak sengaja bertemu di kantin atau koridor kantin, Sajak hanya melewatinya begitu saja. Padahal pria itu tidak pernah melewatkan kesempatan sedikitpun untuk mengejeknya dengan berbagai cara. Bukan hanya dia saja yang merasa heran, beberapa teman kantor yang sering kali menggoda dirinya dan Sajak karena selalu bertengkar kecil dan saling menghina, menakut-nakuti Kara jika biasanya yang seperti itu selalu berjodoh, juga merasakan keanehan yang terjadi pada Sajak. "Doi kayak lagi sakit enggak sih?" tanya Mila, teman dekat Kara yang juga satu divisi dengannya. Kara mengaduk minumannya dengan pelan, "Gue enggak tahu. Terakhir kali dia ngajak ngobrol gue pas minta ditemenin buat makan siang." "Terus lo tolak?" Menanggapi pertanyaan Dea, Kara mengangguk. "Bukannya biasanya juga gitu?" Baik Dea maupun Mila sama-sama mendengus. "Mungkin dia jadi begitu karena terlalu sakit hati lo tolakin mulu," ujar Dea mengambil kesimpulan. Kara menggeleng dengan senyum miring. "Mustahil, dari SD dia udah sering gue kasarin, gue timpukin sama berbagai macam benda, tapi enggak pernah tuh dia marah atau ngambek. Masa iya dia langsung marah cuma karena gue nolak nemenin makan siang," kilah Kara yakin. Pasalnya meskipun dirinya memang membenci pria itu namun karena dari kecil selalu ada di lingkungan yang sama membuat Kara sedikitnya mengenal bagaimana tabiat pria itu. Tapi memang tingkah laku Sajak saat ini membuat dirinya bingung. Lantas masuknya seseorang dari arah pintu kantin dengan tawa yang menganggu, menarik perhatiannya. "Itu Selena kan? Daro divisi Pemasaran?" Dea dan Mila sontak langsung melihat ke arah tunjuk Kara. Keduanya kompak mengangguk. "Kalau enggak salah dai pernah deket sama Sajak deh," gumam Kara.  Dia menunduk, teringat saat dia tidak sengaja melihat keduanya berbicara di lorong yang menghubungkan antara ruang meeting dan pantri mereka. Hanya saja waktu itu Kara langsung berbalik pergi karena tidak ingin mencampuri urusan Sajak dan setiap wanita yang dekat dengan pria itu. "Gue juga pernah lihat mereka makan berdua di restoran sushi yang ada di depan kantor. Tapi setahu gue, Selena itu deket juga sama kepala divisi pemasaran." Karamel yang sedang meneguk minumannya itu langsung tersedak dengan mata melotot. "Demi apa lo? Bukannya kadiv pemasaran itu udah punya istri sama anak?" tanyanya pada Mila. Gadis berhijab itu mengangkat bahunya, "Enggak tahu juga sih. Tapi yang gue denger emang begitu, gosipnya udah santer banget di bagian Pemasaran." Karamel menggigiti sedotan dari gelasnya. Dia sebenarnya tidak ingin tahu masalah apapun yang dialami oleh Sajak, hanya saja entah kenapa melihat pria itu yang biasanya tengil tiba-tiba berubah menjadi pendiam seperti sekarang ini, terasa begitu menakutkan baginya. Walaupun Sajak selalu menyebalkan dan patut sekali untuk dibenci, namun pria itu juga selalu menyelamatkannya dari berbagai masalah. "Kalian masih lama? Gue mau balik duluan ya." Dia tidak menunggu jawaban dari Dea dan Mila, Karamel hanya langsung bergegas menuju ke ruangan kerjanya. Dia yakin jika Sajak saat ini ada di sana. Dan dugaannya benar saat melihat pria itu yang masih duduk di bilik kerjanya. Kacamata tanpa bingkai yang selalu dikenakan oleh Sajak saat bekerja masih menempel di wajah pria itu. "Jak, enggak istirahat lo?" tanya Karamel. Dia berdiri denhan canggung saat kemudian Sajak mengangkat wajahnya. Beberapa saat pria itu hanya terdiam sebelum kemudian menarik sudut bibirnya membentuk seringai yang membuat Karamel langsung menyesali aksi nekatnya untuk mendatangi pria ini. "Lo kayaknya cemas ya karena gue enggak makan siang? Baik banget sih lo." Benar saja. Karamel langsung mendengus pelan dan hendak berbalik saat tangannya kemudian dicekal oleh Sajak. "Gue sebenarnya laper, Ra. Tapi gue masih ada deadline. Bisa minta tolong beliin gue cemilan atau apa gitu?" Karamel menaikan sebelah alisnya dengan bibir yang mencibir. Salah besar dirinya menyangka jika terjadi sesuatu dengan pria ini hanya karena Sajak tidak mengganggunya seperti biasa, ternyata pria itu hanya sedang dikejar deadline sehingga bahkan tidak memiliki waktu untuk makan siang. "Ogah," tolaknya langsung. Sajak langsung berdecak pelan, "Tolonglah, Ra. Kali ini aja,kalau gue pingsan karena kelaperan gimana? Lo pasti ngerasa bersalah kan?" "Idih, seumur hidup gue enggak pernah tuh ngerasa bersalah sama lo," bantah Kara cepat. "Tapi kali ini lo pasti bakalan ngerasa bersalah kalau ada apa-apa sama gue, Ra. Lagian lo pelit amat, gue cuma minta di beliin roti atau cemilan apapun buat ganjel perut." Sajak masih tidak menyerah, dirinya masih berusaha meminta tolong pada gadis yang sama sekali tidak tampak tersentuh dengan permohonannya. Karamel mengibaskan telapak tangannya. "Lo minta tolong yang lain aja deh, gue malas buat balik ke kantin lagi." Setelah itu Karamel langsung berbalik badan dan berjalan menuju biliknya sendiri. Dia masih sempat mendengar gerutuan Sajak yang pelan, dan ternyata pria itu tetap tidak bergerak dari kursinya dan malah melanjutkan pekerjaannya lagi. Kara menarik napas, dia mengeluarkan ponsel dari saku rok hitamnya kemudian membuka ruang obrolannya bersama dengan Dea. 'Tolong beliin roti dua bungkus sama kopi instan satu pas lo mau balik kesini. Uangnya nanti gue ganti.' Dirinya tidak menyangka jika akan datang hari dimana dia merasa tidak tega dan kasihan pada iblis jantan yang kini sedang dikejar deadline itu. Mencengangkan! ___
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN