"Apa nih?"
Padahal Kara sudah tahu bahwa perjalanan pulangnya bersama dengan Sajak tidak akan berjalan lancar. Tapi hanya karena takut Mamanya merasa panik, maka dia akhirnya nekat memutuskan untuk pulang bersama dengan Sajak.
Tapi yang terjadi, mereka bukannya sampai di rumah dengan selamat justru malah berhenti di sebuah warung Lamongan yang ada di pinggir jalan.
"Gue belum makan, Ra. Mau makan dulu."
Mata Kara melotot mendengar ucapan santai dari Sajak.
"Kan lo sendiri yang bilang, kalau gue bakalan dicariin Mama gue kalau pulang kemalaman. Kenapa lo malah berhenti disini?" Dari nada suara Kara, semua orang tahu bahwa Kara sedang kesal.
Tapi wajah pria di depannya malah santai saja, seakan apa yang dia lakukan sama sekali bukan hal yang salah.
Lalu tiba-tiba dia mengeluarkan ponsel dan mengarahkan layarnya ke wajah Kara.
Sebuah pesan obrolan antara Mama Kara dan juga Sajak yang berisi Sajak meminta izin mengajak makan sebelum pulang. Dan seperti biasanya, karena Mama sangat mempercayai anak tetangga rumah, maka dia mengizinkan tanpa keberatan sama sekali.
"Jadi sekarang, lo enggak usah takut dimarahin sama Tante. Karena selama sama gue, lo akan aman."
Dengan menghentakkan kaki keras-keras, Kara masuk ke dalam warung tenda itu dan duduk di salah satu kursi plastik. Biarkan saja Sajak yang memesan makanan, lagipula Kara merasa tidak lapar karena harus dipaksa berhenti padahal dia sudah sangat ingin pulang.
"Ra, mau makan apa?"
Kara hanya melihat sekilas pada Sajak dengan tatapan jutek, sebelum kemudian dia menunduk dan lebih sibuk pada ponsel nya.
"Kara, mau pesan apa?" Sajak mengulangi.
Tapi Kara masih tetap sama. Dia melakukan apa saja pada ponselnya agar terlihat sibuk dan tidak perlu menoleh pada Sajak.
Melihat hal itu, Sajak mendesah berat. Pria itu lebih dulu berbicara pada Abang penjual untuk memesan pesanannya sendiri, kemudian bergerak menyusul ke tempat Kara.
"Gue dari tadi nanya, lo mau makan apa? Lo jangan pura-pura budeg, Ra. Bahaya loh. Ini malam jumat, bisa-bisa lo jadi budeg beneran."
Kara masih tidak perduli walaupun Sajak mengucapkan kalimat yang menyeramkan. Lagipula dia sama sekali tidak lap--
Kruyuk
Mata Kara mengerjap, dia menoleh ke sana kemari untuk mencari bunyi familiar yang baru saja dia dengar. Namun sebuah tawa keras dari Sajak menyadarkan dirinya, bahwa bunyi mengerikan itu terdengar dari perutnya sendiri.
"Sok-sokan jual mahal, padahal sendirinya lapar."
Tanpa rasa bersalah, Sajak meledek Kara hingga gadis itu merah padam karena malu. Segera bangkit dari duduknya, Kara berjalan tergesa keluar dari tenda.
Ia sangat malu, sungguh. Padahal dia sama sekali tidak berniat untuk makan bersama dengan Sajak namun sesaat tadi dia berpikir untuk memesan makanan juga sebelum akhirnya sedetik kemudian dia langsung mengurungkan niat itu berkat ledekan dari Sajak. Apalagi Sajak melakukannya dengan keras hingga beberapa orang yang ada di dekat mereka juga ikut menatap ke arah Kara dengan senyum geli. Kara rasanya ingin menghilang saat ini juga.
"Ra! Kara! Lo mau kemana?"
Menyadari Sajak yang mengejar langkah nya, Kara buru-buru mempercepat langkah kaki sambil memesan ojek online melalui aplikasi yang dia punya. Dia bersumpah di dalam hati bahwa dia tidak akan mau pulang bersama dengan Sajak lagi, sampai kapan pun.
"Ra, jangan begitu dong! Gue kan cuma bercanda. Gue tadi enggak serius ngatain lo, sekarang lo balik ya? Gue traktir lo makan."
Cepat, Kara menepis keras tangan Sajak yang memegangi lengannya. Tatapan sengit dia berikan pada pria yang sejak dulu memang tidak pernah bisa akur dengannya itu.
"Dari awal, gue emang enggak mau pulang bareng lo. Tapi lo maksa dengan pakai nama Mama. Sekarang dengan seenaknya lo malah berhenti dengan alasan udah izin Mama juga, habis itu lo ngetawain gue keras banget padahal di dalam tadi banyak orang. Sumpah ya, Jak. Di dunia ini, lo adalah orang yang paling gue benci dan mulai sekarang jangan pernah lagi sok dekat sama gue apalagi sampai ngajakin pulang bareng. Gue enggak sudi."
Kara berbalik cepat, menyusuri jalanan gelap sambil berharap ojek yang dia pesan secepatnya datang. Tapi tanpa dia duga, Sajak yang dia pikir akan langsung menyerah, justru terus mengikuti langkah kakinya.
"Gue minta maaf, Ra. Enggak ada maksud buat bikin lo malu, gue cuma reflek ketawa pas perut lo bunyi."
Mulut Sajak langsung terkatup rapat saat Kara berbalik badan ke arah pria itu dengan tatapan tajam.
"Jangan marah, Ra. Gue minta maaf. Lo balik ke sana lagi ya? Nanti habis kita makan, gue janji bakalan langsung pulang. Asalkan lo kali ini pulang bareng gue, soalnya kalau sampai enggak, Mama lo bakalan kecewa sama gue."
Kara menyeringai, "Emangnya, lo pikir gue perduli? Gue sama sekali enggak perduli dan enggak akan mau lagi dengerin omongan lo. Jadi mulai sekarang, jangan kejar gue dan habisin aja makanan pesanan lo itu."
Untungnya harapan Kara cepat terkabul. Seorang bapak-bapak yang mengenakan jaket hijau yang khas, berhenti di dekatnya.
"Mbak Karamel?" tanya Abang itu memastikan.
Wajah sangar Kara sudah hilang. Dia tersenyum sopan pada Abang ojek yang datang untuk menjemputnya.
"Sesuai aplikasi ya, Pak."
Dia langsung naik ke boncengan, meminta agar Abang ojek itu langsung berjalan menjauh. Samar-samar dia masih bisa mendengar suara Sajak yang memanggilnya beberapa kali.
"Lagi berantem sama pacarnya ya, Neng?"
Kara langsung meringis najis saat mendengar pertanyaan dari Abang ojek itu.
"Amit-amit deh saya punya pacar kayak gitu, Pak. Up aja deh."
Abang ojeknya tertawa geli saat mendengar ucapan Kara.
"Awas loh, Neng. Hati-hati! Yang biasanya amit-amit ini yang kalau jatuh cinta jadi selangit."
"Hih!" Kara bergidik ngeri. Berulang kali mengetuk kepalanya sambil bergumam 'amit-amit'.
Dia berharap bahwa hubungannya dengan Sajak hanya sebatas tetangga yang tidak pernah akur saja, dia tidak ingin menjadi lebih dari itu. Menyusahkan dan mengerikan.
*
"Loh? Kamu pulang sama siapa tadi?"
Kara menatap kesal pada Mamanya. Mamanya itu sedang melongok ke depan, memastikan penglihatannya tidak salah bahwa yang baru saja mengantarkan anak gadis nya pulang bukan lah Sajak.
"Sama Abang ojek," jawab Kara ketus.
Mamanya terlihat mengerutkan kening.
"Sajak kemana? Tadi dia minta izin buat bawa kamu makan dulu sebelum pulang. Kamu sudah makan, kan?"
Memejamkan mata sejenak, Kara membiarkan sepatunya begitu saja dan kini fokus menatap ke arah Mamanya.
"Aku bisa minta tolong enggak sih sama Mama?" tanyanya dengan nada lelah.
Mamanya semakin terlihat kebingungan.
"Kalau kamu mau pinjem uang, Mama enggak ada. Soalnya kemarin habis beli tanah di kampung kita yang di Jawa."
Kara menggeleng pelan, satu tangannya terangkat untuk memijat keningnya yang terasa pusing.
"Ma, tolong lain kali enggak usah iyain apapun yang Sajak minta. Mama tahu enggak sih, kalau hal yang paling enggak aku pengenin adalah berhubungan dan berada di tempat yang sama sama Sajak."
"Tapi kenapa? Kalian masih suka berantem ya? Kamu nya kali, Ra, yang terlalu judes. Sajak anaknya baik kok. Sopan lagi."
Ternyata pengaruh kekuatan iblis Sajak yang bermuka dua mampu menipu Mama Kara. Setan tengil yang menganggu hidup Kara sejak kecil itu malah dianggap sebagai pria yang baik dan sopan oleh Mamanya.
"Apapun pendapat Mama tentang dia, itu jelas berbeda dengan pendapat ku. Jadi aku mohon dengan sangat sama Mama, supaya Mama enggak usah ngizinin Sajak buat ngajak aku pulang bareng, makan atau apapun lagi. Aku ini masih anak Mama kan?"
Saking lelahnya, Kara bahkan sampai berkata demikian.
Mamanya meringis, kemudian tertawa kecil.
"Ya masih dong, Ra. Wong darah sama daging kamu itu dari air s**u Mama kok."
"Ya sudah. Makanya, kalau aku masih anak Mama, yang seharusnya dibela dan dilindungi adalah aku, bukan setan jantan itu. Jadi mulai sekarang, enggak usah balas kalau Sajak chat Mama tentang aku. Mama bisa kan?"
Mamanya langsung mengangguk tanpa kesulitan. Hal yang membuat Kara dapat bernapas lega karena setidaknya tidak begitu sulit untuk berbicara dengan Mamanya yang selama ini lebih pro ke Sajak dan kontra kepadanya.
"Ya udah, kalau begitu Kara mau masuk ke dalam kamar dulu."
Langkah gontai Kara sudah bersiap untuk masuk ke dalam kamar, namun tangan Mamanya menahan tubuh Kara hingga terhenti.
"Kamu jadinya udah makan belum?"
Mendengar pertanyaan itu, Kara jadi teringat kejadian memalukan yang terjadi di warung tenda tadi. Dia juga ingat dengan jelas bagaimana Sajak yang menertawakan dirinya dan orang-orang yang menatapnya dengan senyum geli. Berkat itu, seluruh rasa lapar yang tadi Kara rasakan hingga membuat perutnya berbunyi, langsung lenyap.
"Kara enggak lapar. Mungkin juga buat ke depannya, Kara enggak akan pernah lapar lagi."
Usai mengatakan itu, Kara langsung bergegas masuk ke dalam kamar. Dia sempat mendengar tawaran Mamanya yang akan memanaskan lauk untuk nya jika dia ingin makan, namun sekali lagi Kara menegaskan bahwa dirinya tidak lapar dan tidak akan lapar.
"Sajak sialan! Pokoknya, aku enggak akan pernah kau berurusan sama dia lagi. Aku juga enggak akan pernah mau perduli dan berbuat baik ke dia. Yang kemarin itu akan aku anggap sebagai sedekah ke kaum duafa."
Kara mengangguk beberapa kali, tangannya mengusap d**a dan bibirnya menyunggingkan senyum.
"Benar, Kara. Kamu adalah wanita baik yang selalu gemar menolong orang. Tingkah aneh kamu yang sampai membelikan kopi sama roti buat Sajak adalah karena kamu menganggap dia sebagai anak malang yang kelaparan, jadi enggak ada yang salah dengan tingkah laku kamu itu."
Yang sedang dilakukan Kara adalah meyakinkan dirinya sendiri bahwa apa yang dia lakukan adalah demi dirinya, untuk mendapatkan pahala atas kebaikannya. Itu semua karena di dasar hatinya, dia sangat menyesal telah menolong Sajak dengan Kopi dan Roti.
"Argh! Sajak nyebelin!"
Di akhir kata, dia berteriak sambil memukul bantal sekuat tenaga. Ternyata banyaknya kata yang tadi dia ucapkan sama sekali tidak berguna.
**