Selama dua tahun menjalin hubungan, Aris tak pernah benar-benar mengajaknya berkencan. Mereka hanya bertemu seperlunya—formal, sopan, dan selalu dalam batas wajar.
Laura tahu, Aris sibuk. Dunia bisnisnya menuntut waktu, dan ia terlalu disiplin untuk urusan hati.
“Ya mungkin karena kalian udah tunangan,” ujar Nyonya Wina sambil tersenyum, nada suaranya hangat penuh keyakinan.
“Dia pengen lebih deket sama kamu sekarang. Kalau dulu kan dia jaga jarak, karena menghargai kamu, Ra. Aris itu tipe pria yang sopan banget sama perempuan.”
Laura ikut tersenyum, meski hatinya terasa berat. “Iya, Mi. Aku tahu… dia selalu menghargai wanita.”
“Papimu dulu juga gitu,” lanjut sang mami sambil tertawa kecil, mengenang masa lalu. “Papimu bahkan nggak mau nyentuh Mami sebelum nikah. Sweet banget, kan? Cowok kayak gitu tuh langka, Ra.”
Laura hanya mengangguk pelan, matanya menunduk.
Suara Mami yang biasanya menenangkan kini justru terasa seperti beban di dadanya. Setiap kata tentang kesucian dan kehormatan membuat hatinya berdenyut nyeri.
Ia menatap ke luar jendela mobil yang melaju, cahaya senja menyorot wajahnya yang pucat.
Jemarinya tanpa sadar menyentuh perutnya yang masih rata—tempat rahasia yang tak boleh diketahui siapa pun, terutama Aris.
Air matanya hampir pecah, tapi ia tahan.
Ia tak ingin kehilangan Aris—pria yang selalu bersikap benar, yang tak pantas terlibat dalam kesalahan yang bahkan bukan miliknya sepenuhnya.
Dan di antara riuh lalu lintas sore itu, Laura hanya bisa memeluk dirinya sendiri—menyimpan rahasia yang kian menyesakkan d**a.
**
**
“Ra, maaf lama.”
Suara Aris terdengar hangat ketika ia datang menghampiri, senyum ramahnya langsung disertai lambaian kecil ke arah kamera ponselnya.
“Nih, si cantik yang kalian cari.”
Laura mengerjap pelan, matanya menyipit menatap layar yang menyorot wajahnya. “Abang… live?”
“Iya,” jawab Aris ringan, tanpa menurunkan kameranya. “Nggak apa-apa kan?”
Laura menggeleng lembut. “Nggak,” ujarnya sambil tersenyum, meski ada sedikit canggung di sudut bibirnya.
Ia sudah terbiasa.
Setiap kali mereka bertemu, Aris hampir selalu menyalakan kamera—merekam momen yang menurutnya manis.
Sebenarnya, Laura kadang bertanya dalam hati—Aris ini pengusaha atau konten kreator?
Ia tahu, tunangannya itu punya bisnis kecil di bidang interior dan parfum, tapi di sela kesibukannya, Aris juga aktif nge-Live.
Seorang konten kreator pemula yang bersemangat membangun nama. Tidak sepopuler dirinya, seorang selebgram yang sudah lebih dulu dikenal.
“Tante Wina mana? Udah pulang?” tanya Aris sambil menaruh ponsel di tripod kecil, di atas meja.
Dan tetap menyorot keduanya.
“Udah,” jawab Laura pelan. “Katanya ada arisan. Makanya aku disuruh nunggu di kafe.”
“Oh.” Aris menanggapi singkat, lalu kembali menatap layar. Wajahnya cerah, suaranya riang ketika berbicara ke arah kamera. “Lihat, Guys, calon istriku cantik banget, kan?”
Laura spontan menunduk, pipinya memanas. Senyum tersipu muncul tanpa bisa ia cegah. “Bang, malu ih… banyak yang nonton.”
Aris tertawa kecil, lalu melirik ke arahnya. Tatapan mereka bertemu—hangat, namun samar menyisakan jarak yang tak bisa dijelaskan.
Aris tersenyum tipis, sudut matanya menatap Laura dengan lembut. “Kalau ada wajah kamu di layar, pasti yang nonton makin banyak,” ujarnya ringan, tapi nadanya hangat dan tulus. “Kamu itu dewi keberuntungan buat aku.”
Ia membentuk finger heart di depan kamera, dan Laura langsung tertawa kecil, wajahnya merah muda oleh malu yang manis.
Hatinya terasa hangat—seperti ada ratusan kupu-kupu yang berterbangan di dadanya, membuatnya sulit bernapas tapi tak ingin lepas dari sensasi itu.
Senyumnya tak juga pudar.
Siapa pun yang melihatnya pasti tahu—ia sedang jatuh cinta. Jatuh cinta yang begitu nyata, begitu murni, hingga dua tahun pun tak membuatnya berkurang.
Setiap hari bersama Aris masih terasa seperti pertama kali. Entah ini cinta sejati… atau kebodohan manis yang ia pelihara dengan rela.
Aris menatap kamera lagi. “Jadi, nggak ada yang boleh ganggu duda level sepuluh ini, ya,” katanya sambil tersenyum ke arah Laura. “Udah ada yang punya. Doakan lancar sampai hari H. Sekian live hari ini, aku mau ajak si cantik shopping dulu.”
Laura menatapnya dengan tatapan yang nyaris memuja.
Senyum Aris—tenang, dewasa, penuh wibawa—membuat jantungnya berdetak sedikit lebih cepat.
Ia tahu betul mengapa perempuan lain begitu tergila-gila pada pesona duda seperti Aris.
“Kamu pengen beli apa?” tanya Aris sambil mematikan siaran dan menyelipkan ponsel ke dalam saku jasnya.
Laura menggeleng, senyumnya lembut. “Aku udah habis shopping sama Mami. Gimana kalau nonton aja?”
Aris terdiam sesaat, menatapnya sambil berpikir. Lalu senyumnya kembali muncul, lebih hangat dari sebelumnya. “Nonton? Boleh. Horor, mau?”
Laura langsung mengangguk cepat. “Mau.”
Ia tak peduli film apa yang mereka tonton—yang ia inginkan hanyalah duduk di samping Aris, mendengar suaranya, merasakan kehadirannya tanpa kamera, tanpa penonton.
Untuk sekali ini saja, ia ingin kencan yang sederhana.
Kencan yang nyata.
Bukan seperti yang dulu—yang selalu berakhir dengan Regantara dan kekacauan yang tak pernah ia minta.
**
**
Sepanjang film bergulir di layar lebar, Laura nyaris tak berani membuka mata.
Setiap kali suara jeritan menggema dari speaker, tubuhnya refleks menegang, lalu kedua tangannya sigap menutup telinga.
Ia menunduk, seolah kursi bioskop bisa melindunginya dari segala kengerian.
Tapi di sebelahnya, Aris justru duduk tenang. Punggungnya bersandar santai, sorot matanya tak beranjak sedikit pun dari layar. Cahaya redup dari film menyorot sebagian wajahnya—datar, tapi tenang dalam caranya yang misterius.
“Bang… nggak takut?” suara Laura lirih, nyaris tenggelam di antara efek suara film yang menegangkan.
“Enggak.” Jawabannya pendek, tanpa intonasi berlebihan.
Matanya masih terpaku ke depan, seolah apa pun yang muncul di layar adalah hal biasa baginya.
Laura menghela napas panjang, separuh kesal, separuh bingung.
Ada jarak yang terasa dingin di antara mereka, semacam tembok tak kasatmata yang sulit ia pahami. Aris terlalu tenang, terlalu diam.
Tidak seperti Regantara.
Pria itu—dengan segala kenakalannya—selalu bisa membuat momen menegangkan berubah jadi sesuatu yang hangat.
Saat Laura menjerit ketakutan, Regantara justru ikut menjerit lebay, lalu tertawa geli hanya untuk melihat Laura mendelik.
Saat Laura tertawa, dia ikut tertawa, seolah emosi mereka selalu selaras.
Mereka tumbuh bersama, dan mungkin karena itu, dunia Laura selalu punya tempat untuk Regantara—meski kadang menyebalkan.
Banyak yang bilang mereka cocok. Tapi Laura tahu, perasaannya tak pernah bergerak ke arah itu.
Regantara tetaplah Regantara: cowok badboy yang gemar bikin masalah. Bukan karena buaya, tapi karena selalu ada saja kekacauan yang mengikutinya ke mana pun ia pergi.
Kini, di tengah suara dentuman film, Laura mendengus pelan. Ia menyumpal telinga dengan headset, lalu memutar lagu lama—lagu yang dulu mereka nyanyikan berdua.
Namun saat notasi awal terdengar, dadanya justru menegang. Ada rasa yang ia tekan selama ini, muncul perlahan seperti luka lama yang ditarik paksa.
'Kenapa dia nggak bales chat gue? Harusnya dia obsesi sama gue… setelah semua yang terjadi. Tapi kenapa malah diam? Apa dia benar-benar nggak peduli? Dasar br*ngsek…'
Matanya memanas, tapi ia pura-pura sibuk dengan ponsel, menutupi keresahan yang mulai merambat ke hatinya.
Aris sempat menoleh sekilas. Tatapannya singkat, tapi cukup untuk melihat bayangan kecewa di wajah gadis di sebelahnya.
Namun, ia tidak berkata apa-apa. Hanya kembali menatap layar, seolah suara detak jantung Laura yang tak tenang tak pernah sampai ke telinganya.
**
**
Sementara itu di rumah besar keluarga Prastiyo yang biasanya tenang berubah tegang.
Nyonya Wina berdiri mematung di depan meja rias Laura.
Di tangannya, selembar plastik kecil berwarna putih menggantung lemah—bungkus testpack yang ditemukan di bawah bantal putrinya.
Jemarinya bergetar halus, sementara pikirannya berkelana pada kemungkinan-kemungkinan yang tak ingin ia bayangkan.
“Belum tentu itu punya Nona Laura, Nya…” suara Bik Mumun terdengar pelan, nyaris bergetar. “Bisa aja temennya yang nitip. Lagian kan testpack nya nggak ada, Nya.”
Maman, sopir keluarga yang sedari tadi berdiri tak jauh, mengangguk cepat. “Betul, Nya. Mungkin cuma salah paham. Jangan langsung berpikir yang nggak-nggak tentang Nona.”
Nyonya Wina tak langsung menjawab. Hanya diam dengan tatapan kosong menembus lantai.
Pikirannya berputar, mencari logika di antara rasa takut yang mulai merayap. Laura memang gadis baik, tapi… siapa yang bisa menjamin sepenuhnya?