Bab 2. Kangen

1357 Kata
Laura buru-buru menunduk, menyelipkan ponsel itu di pangkuannya. “Nggak… nggak chat siapa-siapa, Bang.” Aris hanya mengulum senyum, menatapnya tanpa kata. Tatapan yang dalam dan menenangkan itu justru membuat Laura semakin salah tingkah. “Bantuin apa, Bang?” tanya Laura gugup, berusaha terdengar santai tapi gagal total. Suaranya justru terdengar seperti bisikan yang malu-malu. “Biasa,” jawab Aris, masih dengan senyum menenangkan itu. “Live jualan parfum. Bisa, kan?” Laura langsung mengangguk cepat. “Bisa, Bang. Bisa banget! Kapan? Pagi, siang, atau sore?” “Kayaknya agak siangan aja. Nanti aku jemput kamu.” “Iya, Bang,” ucap Laura lembut, senyum malu-malu terbit di wajahnya. Tanpa banyak bicara, Aris mengulurkan tangan dan mengacak pelan poni Laura. Gerakannya ringan, tapi cukup membuat wajah gadis itu bersemu hangat. Setelah itu, pria itu beranjak, meninggalkan Laura yang masih terpaku di tempat—senyum-senyum sendiri, tanpa sadar jantungnya bekerja lebih keras dari biasanya. “Ra!” panggil suara lain, memecah lamunannya. Laura menoleh. Letta datang sambil membawa sepiring acar, menatapnya dengan pandangan penasaran yang khas. “Lo yakin mau nikah sama dia?” tanyanya tanpa basa-basi. Laura mendesah pelan, memutar bola matanya malas. “Nggak usah mulai deh, Let. Jangan kayak Regan.” Letta mengangkat bahu cuek, tapi tatapannya tetap tajam. “Gue cuma kaget aja. Lo tiba-tiba tunangan. Jangan-jangan lo diguna-guna, Ra?” bisiknya sambil menahan tawa. “Ngaco.” Laura mendengus. “Gue sama Bang Aris udah dua tahun pacaran. Jadi wajar dong kalau sekarang tunangan.” “Tapi…” Letta mencondongkan tubuh sedikit, suaranya lebih pelan. “Selama ini gue nggak pernah lihat kalian ngobrol lama. Paling cuma ketemu sebentar, terus pulang. Nggak kelihatan ada kemistrinya, Ra.” Laura mengangkat bahu, berusaha menutupi gugup yang tiba-tiba datang. “Ya karena gue salting tiap kali deket dia.” Letta menggeleng pelan. “Ini bukan soal salting, Ra. Tapi menurut gue, dia kayak cuma… manfaatin lo.” Suara Letta mungkin terdengar lembut, tapi kalimatnya menancap seperti duri di d**a Laura. Seketika wajah gadis itu berubah tegang. “Ck, udah deh. Lo lama-lama kayak Regan. Suka ngomong seenaknya,” balasnya ketus. Letta melirik ke sekeliling, lalu bertanya pelan, “Ngomong-ngomong, Regan mana? Dari tadi gue nggak lihat dia. Nggak mungkin kan kalau dia nggak nongol di acara sepenting ini?” “Mana gue tahu. Ke laut kali,” sahut Laura singkat, berusaha terdengar acuh. Letta menaikkan alisnya. “Kalian berantem? Tumben.” Laura mengembuskan napas kasar, matanya berkilat penuh emosi yang berusaha ia tekan. “Udah, Let. Nggak usah sebut-sebut nama dia lagi.” Letta hanya diam, tapi tatapan cemasnya tak bisa disembunyikan. Ia tahu ada sesuatu yang salah dari cara Laura menghindar. Dan Laura … setiap kali nama Regantara disebut, dadanya seperti disayat dari dalam. ** ** Malam merayap makin dalam. Rumah besar keluarga Tuan Pras perlahan tenggelam dalam keheningan. Di kamarnya, Laura telah terlelap. Senyum kecil terlukis di wajahnya—mimpi tentang Aris masih menari di benaknya. Ia tampak damai, polos, seolah dunia yang semrawut di sekitarnya lenyap begitu saja. Namun kedamaian itu pecah saat sebuah tangan hangat tiba-tiba melingkar di pinggangnya. Gerakannya lembut tapi pasti, menarik tubuh Laura mendekat. “Eengh… geli,” gumam Laura setengah sadar, menepis tangan itu tanpa benar-benar membuka mata. Ia mengira itu sekadar mimpi, atau mungkin kenangan manis yang terbawa dari siang tadi. Tapi tangan itu tak berhenti. Justru semakin erat, seolah menolak ditolak. Ada aroma yang perlahan merayap di udara—wangi parfum yang begitu familiar hingga membuat jantung Laura berdetak tak wajar. Matanya terbuka perlahan. Samar-samar, dalam temaram lampu tidur, ia melihat siluet seseorang. Dan saat pandangannya jatuh pada gelang di pergelangan tangan itu, darahnya seketika berdesir. “Regan?” suaranya parau, nyaris tak keluar. Lelaki itu tak menjawab. Ia hanya menunduk, menarik napas panjang di dekat leher Laura, seperti seseorang yang haus akan sesuatu yang tak bisa ia miliki. “Gue kangen sama lo, Ra,” bisik Regantara lirih, suaranya pecah oleh perasaan yang ia sendiri tak mampu kendalikan. Laura menegang, matanya melebar antara takut dan marah. “Regan, kalau lo nekat…” suaranya bergetar, tapi ia mencoba terdengar tegas, “…gue bakal teriak.” Hening sesaat. Lalu suara tawa lirih, getir dan gila sekaligus, terdengar di telinganya. “Teriak aja, Ra,” ucap Regantara pelan, namun dengan nada yang menyakitkan karena terlalu yakin. “Habis itu, mereka bakal maksa kita buat nikah.” Laura mengeram kesal. Ia tidak akan membiarkan keinginan Regantara terwujud. Tidak akan pernah. Tapi ia tidak berteriak, karena percumah. Tidak akan ada yang bisa mendengarnya dari luar. “Lepasin gue, Regan!” suara Laura pecah di antara isak dan amarah. “Lo kenapa, sih? Kenapa lo berubah kayak gini?” Tubuhnya menegang, tapi ia tak berani menoleh. Ia takut melihat mata Regantara yang dulu selalu teduh—mata yang kini terasa asing dan gelap. Tangannya berusaha menyingkirkan genggaman pria itu dari pinggangnya, namun Regantara tetap diam. Suara napas pria itu berat. “Gue nggak tahu kenapa, Ra,” ucapnya pelan, nyaris seperti orang kehilangan arah. “Gue cuma… udah nggak kuat ngeliat lo dijadiin mainan sama dia.” Laura mengerang lirih, campuran marah dan takut. “Lo gila, Regan. Denger nggak? Gila! Lo pikir dengan kayak gini lo bisa misahin gue sama dia?” Regantara tersenyum tipis, tapi ada luka dalam di balik senyum itu. “Gue cuma pengin lo sadar, Ra. Orang itu nggak cinta sama lo. Dia cuma manfaatin lo. Dan gue… gue terlalu bodoh buat diem aja selama ini.” “Lo nggak punya hak buat nentuin hidup gue!” jerit Laura. “Lo bukan siapa-siapa lagi buat gue. Gue udah tunangan, Regan. Gue bahagia!” “Tapi gue tahu lo bohong,” potong Regantara cepat. Tatapannya menajam, tapi suaranya bergetar. “Gue tahu lo nggak bahagia. Gue tahu dari cara lo senyum—itu bukan senyum yang sama kayak dulu.” Air mata Laura akhirnya jatuh. “Dulu lo pelindung gue, Regan,” suaranya nyaris berbisik. “Tapi sekarang… lo malah bikin gue takut.” Regantara menutup mata, menahan perih yang menyesakkan dadanya. “Mungkin gue udah salah jalan, Ra. Tapi satu hal yang nggak berubah—gue masih sayang sama lo. Dan sekarang gue makin cinta sama lo.” Laura terisak. “Sayang? Cinta? Ini bukan cinta, Regan. Ini obsesi.” Regantara malah tersenyum mendengarnya. Laura mengeram kesal. “Please, lepasin gue! Lo ada masalah apa sih sama gue? Kenapa lo berubah, Regan?” Laura enggan menoleh ke belakang. Dia takut menatap wajah sange Regantara. Tangannya berusaha menyingkirkan tangan Regantara dari perutnya. “Gue nggak pernah sesange ini sebelumnya, Ra. Nggak percumah gue jagain lo dari kecil.” “Lo bener-bener gila, Regan. Lo nggak punya hati. Dasar sialan! b******k! b******n!” Semua umpatan Laura lontarkan karena saking kesalnya. Regantara hanya tersenyum simpul. “Gue janji nggak akan ngapa-ngapain lo. Tidur lagi yok. Gue cuma kangen sama lo.” Laura tidak percaya dengan ucapan Regantara. Baginya sekarang Regantara hanyalah pria b******k bin c*bul. Bukan Regantara, sang sahabat yang selalu menjadi garda terdepan saat ada yang mengganggunya. “Lo pikir gue bakalan percaya? Lepas, Regan! Gue udah resmi jadi tunangannya Bang Aris. Nggak usah macem-macem sama gue!” Regantara bukanlah pria culun yang takut ancaman. Papinya saja ditantang duel, apalagi orang lain. “Gue malah pengen ngasih tahu ke Om Bandot itu kalok lo legit banget.” “Anj*ng lo! Bangek bener lo. Nyesel gue kenal sama lo, Regan. Lepasin nggak?!” Laura semakin emosi. Demi apa pun, Laura merasa jika memasang peredam suara di kamarnya adalah sebuah kesalahan besar. Tidak akan ada yang mendengar meski dia menjerit. “Gue nggak peduli lo mau ngatain gue apa, Ra. Tujuan gue cuma satu, bikin lo hamil,” bisik Regantara, tepat di telinga Laura. Laura beegidik ngeri. Dia tidak menyangka jika sahabatnya segila itu. “Kita sahabat kan, Regan? Ngapa lo tega giniin gue?” “Karena gue mau melindungi lo dari si Bandot sialan itu.” “Bacot lo!” “Gue nggak mau lo nikah sama dia, Ra. Kalok lo dengerin omongan gue dari awal, gue nggak akan merko_sa lo. Dan pastinya gue nggak akan ketagihan jepitan lo.” "Aaaaaarrrkkhhh!" Laura menjerit prustasi. "Sumpah, gue benci sama lo!"
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN