“Gi, ada adik lo di depan.” Abi—manajer Alphabet Band—berjalan menghampiri seorang lelaki yang sedang memainkan ponselnya di backstage.
Laki-laki yang dipanggil Gi itu mendesah kesal. Ia melempar ponselnya ke sofa lalu berdiri dan berjalan cepat ke luar di mana adiknya sedang menunggu. Di balik pintu, Gio mendapati seorang gadis yang tengah menatapnya dengan penuh harap. Tanpa diduga Grace, Gio menarik tangannya masuk ke dalam ruangan yang sudah disediakan pihak penyelenggara. Gadis itu tersenyum kecil saat teman-teman kakaknya menyapa. Gio membawa Grace ke ruang ganti yang dirasanya lebih baik daripada di depan teman-temannya atau bahkan di luar tadi.
Gio menyentak tangan Grace kasar kemudian menyilangkan tangannya di d**a. “Harus berapa kali gue bilang sama lo? Jangan temui gue lagi! Lo budeg atau apa sih?!” ia berusaha menekan suaranya agar tidak terdengar yang lain.
Gadis itu menatap Gio sendu. “Abang boleh ngatain aku semau abang. Tapi tolong, buat kali ini aja. Mami pengen ketemu abang. Mami masuk rumah sakit lagi.” bujuk Grace. Sekarang adalah kesempatan terakhirnya karena jujur Grace sudah lelah dengan semua usahanya membawa Gio ke hadapan Selena yang selalu gagal. Satu langkah Grace ambil untuk mendekati Gio, seribu langkah akan diambil lelaki itu untuk menjauhi Grace. Usahanya yang juga dibantu rekan-rekan Gio seolah tidak akan membuahkan hasil. Di satu sisi Grace sudah enggan meneria penolakan demi penolakan yang dilontarkan Gio, tetapi di sisi lain ada Selena yang selalu berharap bisa bertemu putranya meski hanya sebentar.
Mendengar itu membuat Gio tersenyum sinis memandang tirai penutup yang tampak lebih menarik dibanding paras cantik adiknya. “Gue sibuk. Lebih baik lo pergi dan jangan temui gue lagi.” putusnya.
Grace menggeleng. Kabut putih mulai menghalangi pandangannya. Sungguh, ia lelah sekali. Dirinya tidak tega ketika harus melihat Selena—ibunya—menangis penuh kerinduan karena ingin bertemu Gio. Ia menyentuh lengan Gio menahan lelaki itu agar tidak pergi keluar. “Please, Bang. Cuma kali ini aja, mami pengen banget ketemu abang.” mohonnya.
Gio muak dengan peristiwa ini yang sejak beberapa bulan lalu hampir menjadi rutinitasnya jika The AB mengadakan event di Jakarta. Ia menyentak tangan Grace keras lalu berbalik menatap Grace dengan kilatan api di matanya. “Gue nggak sudi ketemu orang yang udah buang gue. Ibu lo itu udah buang gue, ngerti?” desisnya.
Pertahanan Grace semakin kuat, tampak setitik amarah mulai timbul dalam dirinya terliat dari cengkraman tangannya yang erat di lengan Gio. Ia menggeleng tidak setuju dengan ucapan kakak satu-satunya. “Abang nggak usah ngomongin hal yang nggak beralasan. Mami sayang banget sama abang, mami nggak buang abang. Abang kayak gini karena abang belum tahu alasan mami lakuin itu.” ujar Grace dengan kembali menahan tangan Gio.
“Don't touch me! Alasan? Apa alasannya? Hah?” sentak Gio hingga membuat orang-orang di luar terdiam dan saling berpandangan menatap ruang ganti yang berisi kakak beradik itu. Grace terdiam tidak bisa menjawab, tentu saja. Selena tidak akan mengizinkannya membeberkan apa yang Grace tahu kepada Gio.
“Nggak bisa jawab, ‘kan?” pemuda itu tersenyum miring. “Nggak usah lo bikin pembelaan! Gue muak, Grace! Nggak perlu lo berusaha padahal lo sendiri tahu itu nggak akan berbuah hasil. Jangan pernah temui gue lagi.” lanjutnya.
“Apa dengan usaha Grace selama ini ceritain kondisi mami nggak buat hati abang terketuk walaupun sedikit? Grace udah bilang, mami nggak buang abang. Abang nggak akan ada di sini kalau bukan karena mami.” Grace masih berusaha menjelaskan meski rasanya sia-sia karena hati Gio yang sekeras batu. Gue juga nggak mau kalau bukan karena mami, batin Grace. Ia juga ingin menyerah jika bisa, tetapi ia takut. Takut ketika waktu Selena habis nanti keinginanya belum terkabul. Grace hanya berusaha realistis. Leukimia yang diderita ibunya itu semakin hari semakin menggerogoti tubuh Selena, bahkan dokter sudah memperkirakan sisa waktu Selena. Lalu apa ada hal lain yang bisa dilakukan Grace selain berusaha menuruti keinginan ibunya?
Gio memandang Grace lekat dengan wajah kaku. Lelaki itu sudah muak mendengar kalimat pembelaan yang diucapkan Grace. Tangannya mengepal erat dengan d**a yang bergemuruh penuh amarah. “Kalau dia nggak buang gue, kenapa dia nggak mau rawat gue? Gue nggak bodoh buat tahu kalau hak asuh gue ada di ibu lo, tapi kenapa sekarang gue ada di papi?!” bentak Gio. Emosi sudah menguasai tubuhnya terlihat dari wajahnya yang memerah dan urat-urat leher yang menampakan eksistensinya. Di luar, Abi yang berdiri hendak masuk dan memisahkan dua orang itu ditahan oleh Edwin, sang gitaris. “Biarin mereka, Bang. Itu bukan kapasitas kita, kalau udah keterlaluan baru kita masuk.” katanya. Seketika Abi menyerah, ia kembali duduk.
Grace menarik napasnya dalam, kali ini ia sudah pasrah membujuk Gio. Berulang kali kata maaf ia rapalkan dalam hati untuk Selena. Sebisa mungkin ia menahan emosi, Grace harus menjadi air yang memadamkan api dalam hati Gio meski ada setitk bagian di dalam hatinya yang meminta Grace untuk berhenti. “Kejadiannya nggak seperti apa yang ada di pikiran abang. Nggak kayak gitu. Grace udah bilang mami punya alasan kenapa ngelakuin itu.”
“YA TERUS APA ALASANNYA?! Udah deh, gue nggak sudi ketemu Selena lagi. Dia.Bukan.Ibu.Gue. Ibu gue udah nggak ada! I've never had a mother like her!” Gio memandang Grace tajam hingga tersisa jarak kurang lebih lima senti antara mereka.
Plak!!!
Wajah Gio terhempas. Rasa pedas dan panas langsung merambati pipinya. Matanya menatap Grace semakin nyalang. Tamparan yang dilayangkan adiknya cukup menggambarkan semua emosi yang bercokol di hatinya. Perkataan abangnya sudah kelewatan. Cukup sudah. Gio sudah melewati batasnya. Ia sudah cukup muak selama ini menurunkan egonya berusaha membujuk Gio agar mau bertemu Selena. Namun, semakin dibiarkan Gio semakin melunjak. Seraya mengatur napas yang memburu, Grace menatap Gio dingin. Tangannya mengepal erat hingga ujung jarinya memutih. “Kalau sampai mami kenapa-kenapa, gue nggak akan maafin lo, bahkan kalau lo bersujud di kaki gue. Dan Demi Tuhan, saat itu juga lo bukan lagi saudara gue.” ujarnya dengan wajah datar.
Gadis itu melangkah pergi, tetapi terhenti dan berbalik menatap Gio yang masih terdiam. “Gue harap lo nggak menyesal setelah tahu apa alasannya.” ucapnya kemudian berjalan cepat keluar meninggalkan semua orang yang terdiam.
Grace yakin, mereka yang di luar mendengar semua pertengkaran mereka. Grace berjanji, ini adalah kali terakhir mereka bertatap muka. Ia sudah bertekad untuk berhenti berjuang. Kesabarannya terlalu berharga untuk orang yang tidak tahu diri itu. Gio sudah benar-benar keterlaluan. “Maaf, Mi. Grace gagal.” lirihnya. Perempuan dengan rambut sepunggung itu berjalan cepat sambil beberapa kali mengusap air matanya yang turun tanpa izin. Rasa marah dan lelah yang selama ini ia tahan akhirnya pecah. Beberapa orang memandangnya aneh, tetapi Grace tidak peduli.
Ia terus berjalan mencari pintu keluar hingga seseorang mencekal tangannya dan menarik tubuh Grace ke pelukan. Lelaki itu memeluk adik dari temannya ini begitu erat. Seketika tangis gadis itu pecah tatkala mengenali aroma parfum ini. Isakan yang sejak tadi ditahan kini Grace lepaskan. Jemarinya mencengkram erat kaos lelaki yang tengah mengusap rambutnya penuh kelembutan. “Aku capek, Kak. Aku capek.”
“Ssshh, iya. Maafin Gio ya, Grace. Maafin kata-kata dia yang pasti berkali-kali bikin kamu sakit hati.” ujar Dante sementara tangannya masih mengusap punggung Grace mencoba menenangkannya. Ia langsung berlari mengejar Grace begitu gadis itu keluar dari ruangan mereka. Lelaki berusia dua puluh satu tahun itu merasa iba dengan apa yang dialami oleh Grace. Ia ikut merasakan sakit hati karena penolakan-penolakan Gio. Di satu sisi ia ingin membantu Grace menyadarkan Gio, tetapi ia sadar itu bukan haknya untuk ikut campur. Ia hanya bisa membantu Grace untuk selalu datang di setiap kegiatan mereka.
Grace melepaskan pelukan Dante kemudian mengusap air matanya. Tatapannya tulus kepada Dante dengan senyum kecil yang terbit di wajah sembabnya. “Makasih ya, Kak Dante. Makasih atas bantuan kakak Dante, Kak Bagas, Kak Cleon, Kak Edwin dan Kak Abi yang bantuin Grace datang buat bujuk abang. Semoga Tuhan membalas kebaikan kakak-kakak semuanya. Grace berhenti sampai di sini. Grace rasa semua yang Grace lakuin sia-sia. Sampai kapan pun Bang Gio nggak akan terbuka hatinya buat ketemu sama mami.” katanya sementara Dante hanya mendengarkan sambil turut menatap Grace lekat.
Dante mengangguk. “Sama-sama, Grace. Gue juga minta maaf atas nama Gio, ya. Gue yakin suatu saat nanti hati Gio pasti bakal terbuka. Gue berdoa yang terbaik buat keluarga kalian.”
Sekali lagi Grace tersenyum, perjuangannya selama beberapa bulan ini sudah selesai. Lebih tepatnya ia yang ingin berhenti. “Once again, terima kasih banyak, Kak Dante. Aku pamit ya, sampai ketemu lagi.” Grace berlalu pergi meninggalkan Dante yang hanya menatap punggungnya hingga hilang di balik pintu.
***
“Lo emang keterlaluan sih, Gi. Kalau gue jadi Grace, mungkin gue juga akan lakuin hal yang sama atau malah lebih buruk.” ujar Edwin. Kini semua anggota sedang berada di asrama setelah melakukan fansign tadi.
Bagas—bassis—mengangguk sambil memasukan keripik kentang ke mulutnya tanda setuju dengan perkataan Edwin. “Tapi kita nggak sepenuhnya salahin lo. Karena ya, kita nggak tahu kisah hidup lo gimana.” sahutnya.
Dante—sang drummer—berdehem lalu membenarkan posisi duduknya. “Tapi nih, ya. Kalau menurut gue, mending lo jengukin mami lo dulu deh. Gue takutnya nanti lo nyesel.” Cleon—si keyboardis—mengangguk setuju dengan Dante. Gio masih diam. Ia membiarkan ucapan teman-temannya hanya lewat di kepalanya saja.
Mereka tidak tahu. Betapa dulu ia membenci Rahardian—ayahnya—karena perselingkuhan yang membuat Selena menggugat cerai Rahardian. Rasa kecewa menyelinap di hati Gio saat ia terbangun di rumah Rahardian dengan seorang wanita asing yang membangunkannya. Padahal ia pikir Selena tahu bahwa ia cukup menjaga jarak dengan ayahnya sejak Gio sering mendengar pertengkaran orang tuanya.
“Gue ke kamar dulu.” putus Gio lalu bangkit menuju kamarnya. Ia merebahkan tubuhnya di tempat tidur. Matanya menatap langit-langit kamar yang berwarna putih. Pikirannya mulai menerawang pada kehidupannya tiga belas tahun yang lalu. Seandainya Rahardian tidak selingkuh, mungkin keluarganya masih hidup bahagia sampai sekarang. Seandainya ia tinggal bersama Selena, mungkin kini ia tidak membenci wanita yang melahirkannya itu. Seandainya, seandainya, dan seandainya. Yang sudah terjadi tidak akan bisa diubah. Hembusan napas lelah keluar dari mulut Gio. Ia beranjak dari tempat tidur dan berjalan ke kamar mandi. Lebih baik malam ini ia mandi untuk menetralkan emosinya.
***
Di malam yang sepi ini Grace masih setia menunggu sang ibu di rumah sakit. Ditemani denting jam dinding yang mengisi keheningan, menggenggam tangan ibunya dengan penuh kelembutan. Wajah damai Selena selalu berhasil menenangkan hatinya. Gadis berusia delapan belas tahun itu terus menatap wajah tenang sang ibu yang dibingkai dalam kepucatan. Beberapa saat kemudian terdengar lenguhan diikuti dengan terbukanya mata Selena. Ia tersenyum lembut menatap Grace yang terus berada di sisinya. “Mami butuh sesuatu?” tanya Grace pelan. Selena menggeleng.
Ia menggenggam tangan Grace lembut. “Abang sudah ke sini?”
Dikecupnya tangan Selena penuh kelembutan. “Belum. Mungkin abang lagi sibuk, makanya dia belum bisa datang ke sini. Nanti coba Grace hubungi dia lagi ya.” bohongnya. Ia tidak punya keberanian untuk mengatakan yang sejujurnya pada Selena. Grace tidak mau kesehatan Selena semakin menurun.
“Gio nggak mau ketemu mami, 'kan?” air mata mengalir begitu saja dari mata Selera.
Grace menggeleng lalu memeluk Selena. “No, no. Abang Gio bukan nggak mau ketemu mami, tapi emang lagi sibuk aja. Tadi dia kelihatan sedih banget karena nggak bisa datang ke sini.” dustanya. Hati Grace berdenyut karena harus membohongi Selena. Selena memandang putrinya dengan penuh kasih sayang, diusapnya kepala Grace lembut. “Grace, kalau kamu bertemu abang lagi, bilang sama dia kalau mami selalu sayang sama dia. No matter what, bahkan ketika dia membenci mami.”
Grace mengangguk. “Iya, Mam. Grace pasti akan bilang gitu kalau ketemu sama abang. Makanya mami cepat sehat, terus kita nonton abang sama-sama.”
Selena tidak membalas. Ia hanya tersenyum lembut seperti biasanya. Senyum yang selalu membuat Grace merasa aman dan nyaman. Perlahan matanya terpejam dengan masih diiringi seulas senyum membuat Grace mau tak mau ikut tersenyum kecil. Namun, hal itu tak berlangsung lama karena sesaat setelahnya monitor mengeluarkan bunyi yang memekakan telinga disertai munculnya garis lurus.
Kepanikan langsung melanda gadis yang baru kemarin merayakan ulang tahunnya itu. Tubuhnya terpaksa mundur ketika dokter dan beberapa suster datang setelah ia menekan emergency button. Grace bisa melihat dokter itu menempelkan lead ke d**a Selena agar bisa mengembalikan denyut jantung ibunya. Grace hanya bisa menyaksikan situasi penuh ketegangan itu tanpa bisa berbuat apa pun kecuali berdoa. Ia berdoa agar Selena tetap bersamanya, namun harapan Grace seakan pupus begitu dokter berhenti dan berkata, “Waktu kematian-”
“Enggak!” sela Grace. Ia beringsut mendekati Selena yang sedang dikelilingi beberapa suster. Air matanya semakin mengalir deras menghadirkan tatapan iba mereka yang ada di sana.
Dengan gemetar tangannya berusaha menyentuh jemari Selena yang kian dingin. Ia mengguncang pelan badan Selena. “Mam, Mami.” panggilnya parau.
“No, Mom. Please, jangan sekarang.” Grace mengecek nadi Selena dengan air mata yang terus mengalir di pipinya. Tangisnya pecah saat tak menemukan apa yang ia cari.
“Mami! Bangun Mi! Jangan tinggalin Grace!” Grace mengguncang tubuh Selena berharap ibunya kembali membuka mata.
Grace terisak. Ia memeluk tubuh Selena yang masih terasa hangat. Tak ada lagi deru napas yang menggelitik pipinya. Di tengah isakannya Grace memanggil Selena memohon agar matanya dapat kembali terbuka. “Mi, Grace sama siapa kalau mami pergi? Grace harus ngapain?”
“Grace nggak bisa hidup tanpa mami. Mami belum lihat Grace jadi dokter yang hebat seperti yang mami mau. Grace nggak bisa kalau nggak ada mami. Mami bilang pengen ketemu abang, 'kan? Grace bahkan masih bujuk abang supaya mau ke sini. So please, wake up!” ujarnya tak jelas karena terhambat tangisan.
“Kita nonton abang langsung, kita ajak abang ke rumah, kita, kita....” Grace tidak sanggup melanjutkan kata-katanya. Hatinya terlalu sakit, bahkan rasanya hancur tak tersisa.
Tubuhnya merosot. Grace meremas rambutnya berusaha menyadarkan dirinya sendiri bahwa ini hanyalah mimpi. Mimpi terburuk yang pernah ia alami. Jantung Grace terasa seperti dicabut paksa dari tempatnya. Napasnya tersengal, kepedihan mencekiknya hingga rasanya Grace tak mampu bernapas. Sejauh apa pun ia menyangkal, kenyataan lagi-lagi menertawakannya. Kilasan hari-harinya bersama Selena terputar di kepala Grace secara otomatis. Selena yang tertawa saat Grace melakukan hal konyol, Selena yang memarahinya ketika melewatkan makan, Selena yang menangisinya ketika ia sakit, namun tubuh kaku Selena disampingnya seakan menarik Grace ke dalam jurang penuh kesakitan. Entah bagaimana hidupnya setelah ini.
***