Goodbye To The Past 2

2116 Kata
Grace membiarkan air matanya mengalir tanpa bisa dihentikan. Tangannya menggenggam tangan Selena yang kembali dilarikan ke rumah sakit karena ditemukan tidak sadarkan diri dengan bekas aliran darah di hidungnya. Tadi sore Grace baru saja kembali dari acara fansign ketika pulang dan menemukan Selena tergeletak di lantai dapur dengan bekas mimisan yang sudah mengering. Grace panik setengah mati dan mencari bantuan untuk membantu membawa Selena ke rumah sakit. Ia berkali-kali mencium punggung tangan maminya berharap segera siuman. Grace tidak kuat apabila harus melihat Selena seperti ini. Leukimia stadium empat yang sudah menggerogoti Selena sejak beberapa tahun selalu menjadi bayang-bayang buruk untuk Grace. Ia memerhatikan bibir Selena yang bergerak seperti berbicara. “Mam, mami.” dielusnya pelan pipi Selena yang semakin tirus setiap harinya. “Gio. Gio.” lirih Selena dengan mata terpejam. Gadis berambut sebahu itu kembali menangis di samping ibunya. Andai Selena tahu apa yang Gio lakukan tadi saat Grace mengaku sebagai adiknya. Gio terkejut. Ia ingat, ingat sekali nama itu. Adik kecilnya yang selalu menempel dengannya kemana pun Gio pergi. “Grace kangen sama abang. Kenapa abang nggak pernah temui Grace? Mami kangen banget sama abang.” ujar Grace pelan. Mendengar itu Gio tersenyum sinis. “Gue nggak kenal lo, jangan pernah ngaku-ngaku sebagai adik gue.” desisnya agar tak didengar orang lain. Sekarang giliran Grace yang terpaku. Mungkinkah Gio lupa dengannya? Gadis itu mengeluarkan fotonya dan Gio semasa kecil dulu. Beruntung ia membawanya untuk berjaga-jaga agar Gio percaya. “Abang, ini Grace sama abang. Abang ingat 'kan? Ini foto waktu Grace baru lahir, kata Mami Selena abang senang banget waktu itu.” jelasnya penuh harap. Gio mengepalkan tangannya. “Lo bukan adik gue. Jangan karena obsesi lo ke gue, lo jadi ngaku-ngaku. I don't have a sibling or whatever you said. Paham?” tepat setelah mengatakan itu, waktu Grace habis. Seketika ia merasa langit seakan runtuh di atasnya. Rasanya ia ingin menangis sekeras-kerasnya saat ini juga. Pandangannya sudah buram, Grace hanya ingin pergi dari sini. Ia terus menunduk hingga bergeser ke Bagas. Rekan kakaknya itu tersenyum lebar seperti biasa. “Hai, siapa namanya?” “Grace.” lirih Grace yang masih menunduk menghapus air mata yang tidak bisa berhenti. Demi apa pun ia hanya ingin pergi dari sini secepat mungkin. “Aku di sini loh, kok kamu nunduk terus?” Bagas semakin bingung saat mendengar besitan hidung yang berasal dari gadis di depannya ini. Grace mendongak dan tersenyum tipis yang terlihat sekali dipaksakan. Bagas terkejut melihat gadis di depannya ini, hidung dan mata yang memerah membuatnya yakin ia baru saja menangis. “Loh, kok malah nangis sih? Cup cup, jangan nangis nanti nggak cantik lagi.” Grace tidak mengindahkan kalimat Bagas. Matanya terus melirik Gio yang sudah berinteraksi dengan penggemar yang lain dengan ramahnya. Grace yakin, Gio mengingatnya melihat ekspresi Gio yang sempat terkejut ketika Grace menyebutkan namanya. “Grace.” suara Selena membuyarkan lamunan Grace. Ia mendongak dan melihat maminya sudah siuman. “Mami? Mami butuh apa? Mami mau minum?” Selena mengangguk pelan. Grace segera mengambilkan minum di meja kemudian memberikannya dengan hati-hati pada Selena. “Grace, mami tadi mimpiin abang kamu. Di mimpi mami, Gio pergi dari mami. Apa itu tanda bahwa Gio benci sama mami?” saat itu juga Grace hanya bisa terdiam. *** Kalimat yang dilontarkan Gio sore tadi memenuhi otak Grace. Ia masih tidak habis pikir bagaimana Gio dengan mudahnya mengatakan hal itu. Apa Gio tidak berpikir apa yang akan terjadi jika Selena mendengarnya? Grace bahkan tidak tahu apa alasan Gio tidak mau mengakuinya. Apa mungkin dulu Grace melakukan kesalahan sehingga Gio membencinya? Atau mungkin Gio malu mengakuinya karena lelaki itu sedang berada di puncak karir? Namun, kesalahan seberapa besar yang akan dilakukan oleh balita sepertinya? Grace menghembuskan napasnya lelah. Kalau boleh jujur, dirinya sudah malas bertemu Gio lagi. Baginya kalau memang tidak mau mengakuinya ya sudah, toh selama ini hidupnya tanpa Gio baik-baik saja. Dia tidak mau munafik, kalau hatinya merasa sakit mendengar kalimat yang Gio lontarkan padanya. Tidak masalah jika Gio tidak mau bertemu dengannya karena yang terpenting adalah bagaimana caranya mewujudkan keinginan Selena. Ia harus mengesampingkan egonya demi Selena. Kakinya terus melangkah menyusuri jalanan menuju rumah karena Selena tidak mengizinkannya untuk menginap di rumah sakit. Rupanya hujan turun sore tadi hingga membuat udara sedikit memaksa untuk masuk ke tulang. Ia mengusap kedua tangannya berharap dapat mengantarkan kehangatan. Sepanjang jalan kepalanya hanya berpikir bagaimana caranya ia bisa bertemu Gio lagi walaupun pemuda berusia dua puluh satu tahun itu bersikap tak acuh. Jika Selena sangat ingin bertemu Gio, maka Grace akan mewujudkannya bagaimana pun caranya. Yang terpenting bagi Grace saat ini adalah kebahagiaan Selena. Apalagi mendengar penjelasan dokter tentang penyakit Selena yang semakin parah membuat Grace dilanda ketakutan. Sore tadi ketika bertemu dengan dokter yang menangani Selena, dokter itu mengatakan sudah tidak ada harapan lagi. Maka Grace harus mewujudkan keinginan Selena untuk bertemu Gio sebelum terlambat. “Manis, sendirian aja? Mau abang antar?” sapaan sarat godaan itu mampu menghentikan langkah Grace. Beberapa preman terlihat menghadangnya dengan seringai mereka. “Boleh juga bodynya.” ucap salah satu preman. Salah satu dari mereka mendekati Grace dengan gontai. “Ayolah kita senang-senang dulu.” Grace mulai melangkah pelan menjauh dari mereka seraya berusaha mengabaikan. Semakin cepat, cepat, dan hendak berlari ketika salah satu dari mereka mencekal tangannya. Aroma alkohol langsung menguar. Gadis berambut sebahu itu berusaha meronta karena cekalan preman berambut gondrong itu begitu kencang. “Lepasin!! Lepasin gue!!!” Preman itu tertawa kecil. “Ayo ikut abang, kita main sebentar, baru boleh pergi, hehehe.” racaunya kemudian menarik Grace ke arah teman-temannya. “Lepasin gue!!! Tolong!! Tolong!!!” Grace terus meronta agar dilepaskan. Namun, mereka menatapnya seolah melihat sesuatu yang menggiurkan. “Jangan teriak!! Di sini nggak ada orang yang bantuin lo!!!” teriakan geram preman lainnya dengan bekas luka di wajahnya. Ketakutan semakin menggerogoti Grace, perlahan air matanya turun. “Tolong!! Tolong!!! Siapa pun please tolongin gue!! Please.” Grace sudah pasrah saat ketiga preman itu menyeringai. Hatinya tak henti merapalkan doa kepada Tuhan berharap agar dilindungi. Ketika si preman yang sedari tadi diam bergerak hendak menyentuhnya, tiba-tiba ia jatuh terkapar setelah seseorang dari belakang Grace melayangkan tendangannya. Perhatian mereka teralih pada seorang pria yang sedang berdiri di sana. Salah satu dari mereka tersenyum sinis. “Wah wah, ada pahlawan kesiangan!” “Mau ngapain lo ke sini? Anak kemarin sore aja belagu, hehehe.” si preman mabuk terus saja meracau. Ekspresi wajahnya terlihat begitu menggelikan di mata Grace. Pria itu tersenyum miring. “Setidaknya gue yang baru kemarin sore ini masih punya otak. Gak kayak kalian yang pas pembagian otak nggak dateng makanya nggak kebagian.” “Kurang ajar lo!!” maki salah satu preman dengan memberikan sebuah pukulan di pipi si pria. Bugh Bugh Bugh Tak dapat terhindarkan, perkelahian pun terjadi antara si pria melawan para preman itu. Suara teriakan beberapa kali terdengar. Grace meringis ketika mendapati si lelaki penolong itu juga terkena pukulan. Karena ketiganya dalam pengaruh alkohol sehingga si lelaki bertopi yang tidak Grace ketahui namanya berhasil dengan mudah melawan mereka. Grace menarik napas lega tatkala melihat preman-preman itu berlari terbirit-b***t menjauhi mereka. Pria yang menggunakan topi baseball itu berjalan mendekati Grace dengan napas terengah. Agaknya perkelahian tadi menguras tenaganya. “Lo nggak apa-apa?” tanyanya seraya membuka topinya. Melihat wajah pria itu membuat Grace merasa di dampingi dewi fortuna. *** Dante menggaruk tengkuknya bingung memandang gadis yang ditolongnya tadi. Semua berawal ketika Dante baru saja membeli pizza karena di dorm tidak ada makanan sama sekali. Namun, dalam perjalanan pulang dari sebuah minimarket ia mendegar teriakan minta tolong di sbuah gang. Setelah ditelusuri Dante melihat seorang gadis sedang dikelilingi oleh beberapa preman. Melihat tangan mereka melunjak, Dante langsung bergerak. Saat Dante pamit pulang setelah melumpuhkan para b******n itu, gadis yang belum ia ketahui namanya menahannya dan di sinilah dia. Di sebuah tenda bakso pinggir jalan bersama seorang gadis yang bahkan masih diam hingga membuat Dante bingung. Lelaki membenarkan posisi duduknya kemudian berdehem mengurai keheningan. “Eum, permisi. Manfaat lo minta gue ikut lo kesini apa kalau lo cuma diam? Gue nggak bisa lama-lama karena bahaya kalau ketahuan fans” Grace tampak tersenyum canggung, di bawah sana jemarinya saling terkait memilin satu sama lain. “Maaf, Kak. Sebelumnya makasih udah tolongin aku tadi. Aku nggak tahu apa yang akan terjadi kalau Kak Dante gak datang. Makasih.” Dante mengangkat kedua alisnya. “Sama-sama. Lo cuma mau ngomong itu? Dari tadi kita diem-dieman dan lo cuma ngomong itu?” Grace menggeleng cepat. “Enggak! Sebenarnya aku mau minta tolong sama kakak. Ini penting banget buat aku, dan mami.” Grace mencicit diakhir kalimatnya. Lagi-lagi Dante mengangkat kedua alisnya menunggu perkataan Grace selanjutnya. Apa maksudnya? Di bawah sana Grace meremas tangannya yang mendingin. “Eum, aku.... Aku....” “Aku?” ulang Dante. “Aku.... Boleh minta nomor Kak Gio?” *** Selama perjalanan pulang Dante hanya mengikuti jalanan dengan pikiran yang menjalar ke mana-mana. Ia masih berusaha mencerna cerita dari gadis yang mengakusebagai adik temannya itu. Jujur Dante tidak tahu apakah cerita tadi itu benar atau justru sebaliknya. Namun, melihat bagaimana sorot mata Grace yang sendu seolah memaksa Dante untuk percaya. Apalagi dengan bukti-bukti yang diberikan Grace membuat Dante tidak punya alasan untuk menolak percaya. Hingga tiba di dorm, Dante masih berpikir. Ia berjalan pelan memasuki rumah bergaya minimalis itu. “Dan, lo beli pizza di Amerika apa gimana? Lama amat elah.” suara Edwin langsung menyapa Dante ketika lelaki itu membuka pintu dorm. Tanpa berminat menjawab, setelah melepas sepatu kemudian menaruhnya di rak dengan segera Dante berjalan menghampiri member lain yang kebetulan tengah bermain PS di ruang tv. Lelaki bertopi itu meletakan tiga kotak pizza hut di meja sambil matanya mencari keberadaan Gio yang tampak tidak terlihat batang hidungnya. “Nyari apaan sih, lo?” tanya Cleon penasaran dengan tingkah aneh rekannya. Bukannya menjawab pertanyaan Cleon, Dante justru bertanya, “Gio ke mana?” Bagas menyahut, “Gue nggak tahu, lagi semedi kali di kamarnya. Atau lagi ke rumah bokap kali. Kenapa dah, Te? Sok misterius anjing!” Sekali lagi menengok memastikan tidak ada Gio di rumah itu, Dante mengisyaratkan agar ketiga temannya medekat. “Gue tadi habis tolongin anak orang hampir diperkosa anjir!” tuturnya dengan suara kecil agar tidak menggema yang kemudian disambut dengan ekspresi shock ketiga temannya. “Hah?” “Kok bisa?” “Beneran?” Dante mengangguk. “Beneran anjir. Gue tadi lagi jalan habis dari minimarket, terus dengar suara cewek minta tolong. Gue tolongin dong, dan lo tahu, cewek itu adiknya Gio.” suaranya hampir berbisik di akhir kalimat. Bagas melongo, terkejut mendengar fakta bahwa Gio memiliki seorang adik perempuan dan hampir diperkosa jika Dante tidak datang tadi. Pun sama halnya dengan Cleon dan Edwin. “Anjing demi apa lo?” “b*****t, itu kalau Gio tahu bakal kayak gimana, tuh!” Dante menggeleng. “Justru itu, ini poin yang mau gue ceritain. Setelah gue tolongin cewek yang ngaku adiknya Gio itu, dia ngajak gue makan bakso. Gue nggak ngerasa aneh dong, mungkin dia mau berterima kasih sama gue gitu ‘kan. Ternyata kagak anjir, dia malahan cerita tentang Gio dan minta kontaknya.” “Terus lo kasih?” sela Cleon. “Iya. Tadinya gue nggak percaya tuh, tapi dia ngomongin hal-hal tentang Gio yang juga cuma kita doang yang tahu. Itu cewek namanya Grace. Si Grace ini bilang kalau nyokap Gio yang sekarang itu mama tirinya, terus dia punya foto mereka sama nyokapnya yang tinggal sama Grace itu. Coba deh dipikir, fans mana sih yang tahu cerita itu? Kita juga baru tahu belakangan ini.” lanjut Dante membeberkan kisah yang baru dialaminya tadi. Ketiga temannya terlihat berpikir hingga pizza yang sejak tadi ditunggu terlupakan begitu saja. Melihat ketiga temannya yang justru diam, Dante memilih untuk membuka lebih dulu kotak pizza yang sudah mendingin. Cleon berdehem setelah terdiam beberapa saat. “Gue belum dapat poin yang lo maksud deh, Dan.” Gerakan Dante membuka kotak pizza terhenti lalu menatap Cleon diikuti Bagas dan Edwin. “Memang gue belum ngomong.” “Ah, anying!” “Tau, tuh!” Dante tertawa seraya menyuapkan satu slice pizza. “Nah, lo pada ngerasa aneh nggak sih pas gue bilang si Grace minta kontaknya Gio? Masa kakak adik tapi nggak punya kontaknya?” “Hubungan mereka nggak baik?” Edwin langsung menarik kesimpulan. “Exactly.” “Kenapa tuh?” Bagas bertanya. Dante mengangkat bahunya tidak peduli. “Kalau itu gue nggak tahu. Bukan kapasitas gue buat tanya soalnya.” “Kenapa ini kita jadi gibahin Gio, dah?” “Ya elu tadi tanya kenapa gue lama belinya, Gas!” Tanpa diketahui ketiganya, diam-diam Dante telah menyiapkan sebuah rencana. Ia memang diceritakan secara lengkap oleh Grace, tetapi Dante tidak mau membaginya dengan Bagas, Cleon dan Edwin. Cukup ia saja yang tahu. ***
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN