Kunci USB itu terasa dingin dan kecil di telapak tangan Janella Vanya, tetapi bebannya terasa seberat rantai baja. Ia tahu Elias mungkin saja berdiri di balik pintu marmer, mata-mata Julian yang tak terlihat. Tetapi ancaman Elias, bahwa kepolosan Vanya adalah kelemahan yang akan dihancurkan telah menghapus keraguannya. Untuk bertahan hidup, ia harus melihat ke dalam jurang yang ia nikahi.
Vanya keluar dari bathtub, mengeringkan dirinya dengan tergesa-gesa. Ia mengenakan jubah mandi sutra tebal dan melangkah keluar dari kamar mandi. Suite itu begitu besar hingga ia bisa merasakan keheningan yang menyesakkan di antara dindingnya. Elias tidak terlihat, tetapi Vanya yakin ia ada di suatu tempat.
"Aku harus menemukannya," gumamnya.
Ia bergerak ke area kerja yang mewah, tersembunyi di balik rak buku kayu eboni yang diukir rumit. Di sana terdapat meja kaca hitam yang menampung layar melengkung ultra-modern, sebuah perwujudan sempurna dari citra publik Julian sebagai maestro teknologi.
Jantungnya berdebar kencang saat ia memasukkan kunci USB ‘Crimson Hand’ itu ke port tersembunyi di laptop. Apakah ini akan mengirimkan alarm ke Julian? Apakah ini adalah jebakan untuk menguji kepatuhannya?
Monitor menyala tanpa meminta kata sandi. Sebuah folder bernama PROJECT_ALISTAIR_K_001 terbuka secara otomatis. Vanya menarik napas dalam-dalam, mengklik folder itu. Konten di dalamnya bukan berupa dokumen keuangan atau rencana bisnis korporat. Isinya adalah cetak biru arsitektur, peta termal, dan data enkripsi yang sangat kompleks.
Ia mulai membaca cepat, otaknya yang cepat mencoba menghubungkan titik-titik samar. Ada nama-nama yang diulang: Zona Lima, yang ia dengar dari Julian; Blackwood, dan yang paling mengganggu, Operasi Nightingale.
Salah satu dokumen adalah log komunikasi yang sangat singkat. Vanya menyaring nama-nama kode. Sebagian besar merujuk pada pengiriman kargo dan pergerakan personel. Tetapi satu baris membuatnya menegang:
[Elias, 02:00] Target Nightingale terancam. Lokasi diperkirakan C. Perlu tindakan pencegahan.
[Julian, 02:05] Pertahankan. Jika C terkonfirmasi, bersihkan jalur. Jangan biarkan Nightingale bersuara.
Vanya merasa bingung. 'Membersihkan jalur,' batinnya.
Itu jelas bukan merujuk pada pembersihan korporat. Ini adalah bahasa pembunuhan, rahasia brutal yang ia cari. Julian memberinya senjata ini, tetapi juga memberinya pandangan ke dalam jiwanya yang gelap.
Ia menatap peta termal yang menunjukkan sebuah kompleks bangunan industri di pinggiran kota. Lokasi ‘C’ diidentifikasi sebagai kamar aman di basement kompleks tersebut.
"Apakah ini tempat Julian berada sekarang? Berurusan dengan Operasi Nightingale?" mnolognya.
Vanya buru-buru menutup semua folder dan mencabut USB itu. Ia harus berpura-pura tidak terjadi apa-apa. Ia telah melihat cukup banyak. Julian tidak hanya menjalankan sindikat, tapi ia adalah algojo yang tanpa ampun.
Sadar bahwa setiap detik yang ia habiskan untuk terjaga adalah risiko, Vanya memutuskan untuk kembali ke tempat tidur. Ia meninggalkan jubah sutra dan mencari pakaian yang ia temukan di lemari. Semuanya mewah, semuanya baru. Tangannya menyentuh selembar kain sutra, berwarna merah gelap, merah seperti darah kering.
Lingerie. Julian pasti menyiapkannya. Ada motif mawar hitam yang dijahit rumit di korsetnya. Vanya ragu, tetapi dorongan anehbuntuk menantang Julian, atau mungkin hanya untuk memainkan peran aset yang sempurn, membuatnya mengenakannya. Itu pas dengannya dan sempurna, memeluk setiap lekuk tubuhnya, dan warna merahnya kontras tajam dengan kulit porselennya.
"Cantik," gumamnya saat dia melihat dirinya di cermin.
Ia mematikan lampu, hanya menyisakan cahaya rembulan yang masuk melalui jendela setinggi langit-langit. Vanya berbaring di tengah kasur, mencoba menenangkan jantungnya yang masih berdebar kencang karena rahasia yang baru ia temukan. Kelelahan dari hari yang panjang dan emosi yang meluap-luap akhirnya menyelimutinya. Ia jatuh tertidur, tampak seperti bunga terlarang di lautan linen putih.
*****
Suara kunci elektronik yang berdesis lembut memecah keheningan. Julian Alistair masuk ke kamar, aura dinginnya menyelimuti udara mewah itu. Pakaiannya sedikit kusut, dan ada noda samar seperti minyak mesin di pergelangan tangannya. Matanya yang tajam dan gelap menyapu ruangan, mencari Elias yang sudah menunggu di ruang depan.
“Selesai?” Julian bertanya, suaranya serak karena kelelahan.
“Blackwood terkendali. Nightingale dibungkam,” jawab Elias dengan nada robotik. “Semua berjalan sesuai rencana, Tuan Julian.”
Julian mengangguk singkat. “Istriku?”
“Tertidur. Tidak ada masalah. Ia sempat mencoba memprotes saat saya mengantarkan teh dan mengklarifikasi aturan. Sedikit perlawanan yang wajar dari pengantin baru yang manja,” lapor Elias, nada menghina dalam suaranya jelas terdengar.
“Keluar, Elias,” perintah Julian. “Dan jangan biarkan siapa pun mengganggu. Bahkan bayangan.”
Elias membungkuk formal dan menghilang, menutup pintu dengan keheningan yang sempurna. Julian melepaskan jasnya, melemparkannya ke sofa kulit di dekat jendela. Pikirannya dipenuhi data, strategi, dan keputusan hidup-mati yang baru saja ia buat.
Namun, ketika pandangannya jatuh pada kasur besar itu, semua pemikiran tentang 'The Crimson Hand' lenyap, digantikan oleh gelombang panas yang tak terduga dan kuat.
"Vanya?" gumamnya.
Vanya terbaring di sana, terbungkus sutra merah yang nyaris tidak menutupi apa pun. Warna itu sangat berani, sangat dilarang, berteriak-teriak di atas latar belakang putih gading. Rambut gelapnya menyebar di bantal, dan wajahnya yang polos dan damai kontras dengan api dari pakaiannya.
Julian mendekat perlahan, langkah kakinya tidak terdengar di karpet tebal. Ia berdiri di sisi tempat tidur, menatapnya. Ini adalah Janella Vanya. Istrinya. Aset politiknya.
"Dia memakai lingerie yang ku pilih?"
Di bawah cahaya rembulan, Julian bisa melihat setiap inci kulitnya yang terekspos, setiap lekukan yang dibingkai oleh renda hitam dan sutra merah. Keinginan itu datang seperti pukulan fisik, menenggelamkannya dalam kebutuhan mendesak untuk mengklaim, untuk memiliki. Ini bukan sekadar hasrat. Ini adalah naluri posesif yang brutal, naluri Raja Hantu yang melihat harta karunnya yang paling rentan.
Ia mengulurkan tangan. Jari-jarinya melayang di atas bahu Vanya, merasakan kehangatan yang lembut dari kulitnya. Ia ingin merobek kain merah itu, menorehkan cap kepemilikan di setiap bagian tubuhnya. Dia adalah miliknya. Dan ia telah menunggu lama untuk klaim ini.
"Tidak. Aku tidak akan melakukan itu," gumamnya.
Julian berhenti. Ia ingat mengapa ia meninggalkannya. Ia adalah Raja Hantu. Kontrol adalah napasnya. Jika ia menyerah pada emosi dan hasrat ini sekarang, ia akan kehilangan kendali atas dirinya sendiri, dan yang lebih penting, ia akan merusak asetnya. Vanya harus dipertahankan. Vanya harus beradaptasi, bukan dihancurkan.
Julian menarik tangannya. Itu adalah perjuangan terberat yang pernah ia hadapi, menahan naluri yang biasanya ia biarkan bebas dalam dunia kejahatannya. Ia membungkuk, wajahnya sangat dekat dengan Vanya hingga ia bisa mencium aroma lavender dan sedikit garam laut yang tersisa di kulitnya.
Julian menyentuhkan bibirnya ke bibir Vanya, singkat, cepat, dan dingin. Hanya sebuah cap kepemilikan, bukan ciuman gairah. Bibir Vanya lembut dan sedikit terbuka dalam tidurnya, rasa manisnya menghantui Julian.
Ia mundur, menatap wajah damai Vanya sekali lagi. Ia melihat kepolosan yang ia tahu kini memegang rahasia tentang 'Nightingale' dan 'Zona Lima.'
Julian tersenyum tipis, senyum yang tidak mencapai matanya. "Kau mulai belajar, Vanya,” bisiknya, suaranya rendah dan penuh janji yang mengerikan. “Kau akan menjadi Ratu yang sempurna. Dan ketika kau bangun, kita akan mulai pelajaranmu yang sebenarnya.”
Julian bergerak menjauh dari tempat tidur. Ia berjalan ke meja kerjanya. Tempat Vanya baru saja membaca rahasia terbesarnya. Julian mengambil sebuah amplop cokelat tebal yang tertinggal di atas keyboard. Itu adalah dokumen yang sangat pribadi, diikat dengan pita hitam. Ia menatapnya sejenak, lalu meletakkannya di samping tempat tidur Vanya.
Di atas amplop itu, Julian menaruh sebuah kartu kecil, bertuliskan tangannya sendiri: “Hadiah pernikahan. Pelajari hukumnya.”
Dokumen itu berisi perjanjian pernikahan yang dipaksakan. Tetapi yang paling mengganggu, Julian tahu, dokumen itu juga berisi daftar nama-nama dan aset keluarga Vanya yang kini sepenuhnya berada di bawah kendali 'The Crimson Hand.' Janella tidak hanya menikahinya, ia telah menyerahkan seluruh garis keturunannya.
Julian berganti pakaian di kamar mandi terpisah, lalu kembali. Ia berbaring di sisi lain kasur, punggungnya menghadap Vanya, menjaga jarak fisik yang terpaksa ia pertahankan. Namun, matanya tetap terbuka, menatap langit-langit yang gelap.
Ia tidak bisa tidur. Bukan karena Blackwood, tetapi karena aroma sutra merah di sebelahnya. Ia telah memberi Vanya senjata (USB) dan sekarang ia memberinya rantai (dokumen hukum).
Ia menunggu. Ia tahu ketika Vanya bangun dan melihat dokumen itu, keputusasaan akan kembali. Setelah itu, Julian ingin tahu, apakah Vanya akan menggunakan pengetahuan yang ia dapatkan dari USB untuk melawannya, atau untuk belajar bagaimana menjadi Ratu di dunia kejam ini?
Julian melihat Vanya yang tertidur pulas, terbungkus warna organisasinya, untuk menyadari: ia telah menciptakan sesuatu yang lebih berbahaya daripada musuhnya. Ia telah menciptakan kerentanan. Dan kerentanan itu. Istrinya yang lugu, kini memegang kunci untuk menghancurkan, atau menguasainya.
"Aku tunggu, dirimu menjalankan peranmu, Vanya," ucapnya dengan mengusap lembut pipi Vanya.