Kenyamanan yang Kejam

1391 Kata
Julian menarik tangannya, ekspresinya menjadi kaku dan dingin, jauh dari gairah palsu yang ia tunjukkan di pesta tadi. “Kau ingin kembali ke kehidupan lamamu yang sederhana? Aku bisa mengaturnya,” katanya, suaranya kini terdengar seperti janji dan ancaman sekaligus. "Aku bisa mengirimmu pulang besok pagi. Tetapi kau akan pulang sebagai seorang janda. Dan orang tuamu? Mereka akan menemukan diri mereka di bawah tumpukan hutang yang tak terbayangkan, saudaramu akan kehilangan beasiswa, dan seluruh citra keluargamu akan hancur dalam semalam. Kau akan melihat mereka menderita perlahan, Janella, dan kau akan tahu bahwa itu semua karena kau menolak peran yang kutawarkan.” Vanya menelan salivanya. Ancaman ini lebih buruk daripada ciuman brutal. Ini adalah perhitungan matematis tentang kehancuran orang-orang yang ia cintai. Vanya masih menatap Julian. 'Dia benar-benar raja kejahatan seperti iblis,' batinnya. “Apa yang kau inginkan dariku?” tanya Vanya, suaranya serak. Baja yang ia temukan di pesta itu kini telah mengeras, melindungi hatinya yang rapuh. Julian tersenyum, senyum yang hanya sedikit mencapai matanya. “Aku ingin kau memahami posisimu. Kau bukan sandera biasa. Kau adalah pilar. Malam ini kau membuktikan bahwa kau bisa menjadi aset paling berbahaya yang kumiliki. Dan yang berbahaya harus tetap dekat. Sangat dekat.” Ia mendekat lagi, begitu dekat hingga Vanya bisa merasakan napasnya. “Lupakan tentang pulang. Rumahmu sekarang adalah di sini. Di sampingku. Di takhta 'The Crimson Hand'. Dan jika kau ingin bertahan, jika kau ingin memastikan orang-orangmu aman, kau harus berhenti bertindak seperti seorang korban.” Julian mengangkat dagu Vanya dengan jari-jarinya yang kuat, memaksanya menatap mata biru es itu. “Malam ini kau adalah ratu di depan publik. Sekarang, kau harus belajar menjadi ratu di balik layar,” bisik Julian. “Kau telah mendapatkan rasa hormat Elias. Itu berarti kau tidak bisa lagi bersembunyi di balik kepolosan. Mereka akan menuntut lebih darimu. Dan aku akan memastikan kau bisa memberikannya.” Saat Vanya mencoba memproses kata-kata itu, Julian tiba-tiba menutup jarak. Dia tidak mencengkeramnya seperti di pesta, juga tidak memaksanya. Kali ini, ia hanya menempelkan bibirnya ke bibir Vanya, singkat namun menguasai. Kecupan itu adalah penutup, bukan dari sebuah momen romantis, tetapi dari sebuah transaksi yang baru saja mereka lakukan. Itu adalah segel kepemilikan yang kejam. Ketika Julian menarik diri, matanya tetap terpaku pada Vanya. “Selamat datang di kehidupan yang sesungguhnya, Nyonya Alistair. Besok, aku akan memperkenalkanmu pada arsitek keuanganku. Kau harus mulai belajar bagaimana membersihkan jejak kami. Mulai sekarang, kau akan menjadi bankir pribadi 'The Crimson Hand'.” Vanya menatapnya, rasa terkejut, ketakutan, dan penerimaan yang dingin bercampur menjadi satu. Bankir? Dia harus mencuci uang, mengelola kekayaan yang dibangun di atas kejahatan? Julian benar. Tangannya kini benar-benar kotor. Ia telah melangkah melewati garis yang tidak bisa ia kembalikan. “Ini bukan rumah, Julian,” bisik Vanya, suaranya kini tegas, bukan lagi memohon. “Ini adalah neraka.” Julian hanya menyeringai, sebuah ekspresi yang jauh lebih menakutkan daripada kemarahan terbukanya. "Neraka adalah rumah bagi kami, Vanya,” Julian berkata, memutar cincin di jari Vanya sekali lagi. “Dan kau baru saja ditunjuk sebagai penguasanya.” Vanya tidak menangis. Air mata terasa terlalu mewah, terlalu lemah untuk situasi barunya. Jika neraka adalah rumahnya, dan Julian adalah penguasanya, maka ia harus mulai bertindak seperti seseorang yang siap untuk bertahan hidup dalam panasnya api. Ia bangkit dari sofa beludru, kakinya yang telanjang tidak lagi terasa sakit, hanya mati rasa. Gaun safir yang tadi membuatnya terlihat seperti putri kini terasa seperti seragam militer, berat dan menjebak. Berjalan tanpa ragu menuju kamar tidur utama, sebuah suite yang luasnya hampir sama dengan apartemen lamanya. Begitu mencapai ruang ganti, Vanya menarik ritsleting gaunnya dengan gerakan kasar, membiarkannya merosot ke lantai marmer. Ia berdiri sejenak di tengah tumpukan kain mahal itu, merasakan dinginnya udara di kulitnya yang panas. Ia hanya mengenakan pakaian dalam sutra tipis dan cincin 'The Crimson Hand' yang berat di jari manisnya, sebuah belenggu emas yang tak bisa dilepas. 'Karena hari ini aku sangat kotor. Ku rasa mandi dengan sabun mahal sekalipun tidak akan membuatku bersih seperti dulu,' batinnya. Kamar mandi utamanya adalah sebuah karya seni minimalis yang brutal, dipenuhi onyx hitam dan dinding kaca yang memisahkan area mandi dari pemandangan kota. Vanya mengisi bak mandi, menuangkan minyak beraroma lavender, mencari aroma yang bisa menutupi bau bubuk mesiu dan kekejaman yang melekat di ingatannya. Ketika ia akhirnya merendam dirinya di air hangat, rasa sakit fisik mulai mereda, namun rasa sakit mentalnya masih menggerogoti. Ia memejamkan mata. Untuk sesaat, ia membiarkan dirinya percaya bahwa ia hanyalah Janella Vanya yang lama, yang sedang mandi setelah hari yang panjang di perpustakaan. Bukan Nyonya Alistair, calon bankir kriminal. Keheningan itu terlalu tebal. Di dalam penthouse Julian, keheningan bukanlah kedamaian. Itu adalah jeda sebelum tembakan berikutnya. Vanya membuka matanya perlahan, merasakan uap air membelai wajahnya. Ia bersandar, mencoba menarik napas yang lebih dalam. Saat itulah ia mendengar suara gesekan pelan yang memecah kesunyian. Pintu kamar mandi, yang ia yakini tertutup, kini terbuka. Sedikit demi sedikit, bayangan tinggi memenuhi ambang pintu. "Hah? Apa ada orang yang masuk? Bukankah aku sudah menguncinya," gumamnya. Jantung Vanya melompat ke tenggorokannya. Ia otomatis merosot lebih dalam ke dalam air, mencoba menutupi dirinya. Ia tidak tahu siapa yang masuk. Mungkin salah satu pengawal atau pelayan, meskipun itu tidak mungkin terjadi tanpa pengumuman. “Jangan kaget,” suara Julian terdengar tenang, seolah-olah ia baru saja masuk ke dapur, bukan ke tempat Vanya yang sedang setengah tanpa pakaian. Vanya menoleh, matanya melebar karena terkejut. Itu benar-benar Julian. Dia tidak mengenakan tuksedo lagi. Punggungnya yang lebar dan berotot terpampang jelas, ditutupi hanya oleh handuk putih yang melilit pinggulnya, basah di beberapa bagian. Rambutnya masih sedikit acak-acakan dari malam yang panjang, dan matanya yang biru memantulkan cahaya redup dari lilin aromaterapi yang dinyalakan Vanya. Dia berdiri di sana, membiarkan tatapannya menyelusuri Vanya tanpa tergesa-gesa. Ini adalah pertama kalinya Vanya melihat Julian dalam kondisi yang begitu minim, dan pemandangan itu, meskipun mengancam, juga sangat menarik. Tubuhnya adalah monumen disiplin yang keras, dibangun bukan hanya untuk setelan mahal, tetapi untuk kekuasaan fisik yang kejam. Julian berjalan pelan, kakinya yang jenjang tidak mengeluarkan suara di atas lantai onyx. Ia berhenti di tepi bak mandi, mencondongkan tubuh sedikit. Uap air yang mengepul tampak menyelimuti aura gelapnya. “Kau tahu, Vanya,” Julian memulai, suaranya serak, penuh insinuasi. “Di rumah ini, setiap detail diperhatikan. Setiap tindakan adalah sinyal.” Vanya menahan napas. Air di sekitarnya terasa sangat panas. “Aku tidak mengerti maksudmu.” Julian tersenyum, senyum yang mencapai matanya kali ini, namun bukan dengan kehangatan. Itu adalah senyum predator yang telah menangkap mangsanya. Dia mengulurkan satu tangan ke tepi bak mandi, jari-jarinya yang panjang bermain-main dengan gelembung sabun. “Kau meninggalkan pintu kamar mandi tidak terkunci,” katanya, nadanya datar, seolah menyatakan fakta alam semesta. "Kau sengaja memancingku, hingga tidak mengunci pintu?” Darah mengalir ke wajah Vanya. Ia ingin berteriak bahwa ia tidak senekat itu, tidak seputus asa itu. Namun, ia telah berjanji untuk tidak lagi bertindak sebagai korban. “Maaf,” Vanya menjawab, suaranya rendah dan terkontrol, meskipun jantungnya berdebar kencang. “Aku lupa. Aku hanya lelah.” “Lupa?” Julian mengangkat alis, ekspresi meremehkan terpancar jelas. “Di sinilah kau membuat kesalahan fatal, Nyonya Alistair. Lupa berarti rentan. Dan rentan berarti mati. Kecuali, tentu saja, kau ingin rentan di hadapanku.” Ia mendekat lagi, begitu dekat hingga lututnya menyentuh tepi bak mandi. Vanya bisa mencium aroma sabun mandi mahal dari tubuhnya, dicampur dengan bau maskulin yang kuat. Tiba-tiba, ia menyadari bahwa di balik pintu itu, Julian juga baru saja menyelesaikan urusannya di kantor dan mungkin sedang mencari cara untuk melonggarkan ketegangan yang sama yang mencekiknya. “Aku tidak ingin rentan di hadapan siapa pun,” balas Vanya, kini menatapnya lurus. Sedikit kekerasan dalam suaranya mengejutkan Julian, dan Vanya melihat sedikit kilatan di mata birunya. “Bagus,” Julian mendesis, suaranya berubah menjadi bisikan berbahaya. “Karena jika kau ingin bermain dengan kekuasaan. Kau harus menguasai setiap inci dari dirimu. Termasuk pintu yang terkunci. Dan terutama, hatimu.” Dia meraih sepotong sabun dari tepi bak dan memainkannya di antara jari-jarinya. “Besok. Damian, Arsitek keuangan kita akan datang. Kau harus mempelajari setiap transaksi, setiap kode, setiap celah. Aku tidak memberimu tugas ini agar kau bisa menjadi boneka cantik. Aku memberikannya agar kau bisa menjadi penjaga harta karunku.” “Harta karun yang dibangun di atas darah,” koreksi Vanya, suaranya tanpa emosi. Rasa takut telah digantikan oleh rasa lelah yang dingin.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN