Mendengar azan subuh berkumandang, perempuan yang semula tidur begitu lelap, perlahan membuka mata. Gurat-gurat kecewa tercetak jelas di wajah Nao saat sang suami yang biasa membangunkan justru tak tampak di sekitarnya. Padahal, lelaki itu terbiasa menyambutnya dengan senyum manis pun kecupan singkat di dahi. Nao sangat menyukainya.
Tidak demikian hari ini. Pria tampan kesayangannya masih belum terlihat sampai sekarang. Padahal, semalam Nao dandan begitu cantik bahkan memberanikan diri mengenakan pakaian berbahan tipis hanya untuk membuat Orion terkesan dan mau menjamahnya. Namun, Nao harus menuai kecewa karena ternyata Orion tidak pulang. Bukan bernafsu. Nao hanya ingin cepat memiliki keturunan.
Sudah lama sekali, sejak terakhir kali mereka berhubungan, Orion tak pernah lagi menyentuhnya. Semula, Nao berpikir kalau Orion lelah dengan padatnya rutinitas. Jadi, setelah pulang memang membutuhkan lebih banyak istirahat. Namun, karena sudah terlalu lama, dengan sendirinya otak Nao menarik kesimpulan bahwa ada yang salah dengan dirinya. Apa yang harus Nao lakukan?
Seruan azan masih terdengar, dan seketika membuat Nao tersadar ada Allah sebaik-baiknya pemberi pertolongan. Perempuan itu bangkit dari posisinya, lantas bergegas mengambil wudu. Siapa tahu setelah salat hatinya bisa lebih damai.
Sementara jauh di sana, Orion pun baru terjaga. Namun, kali ini bukan Nao yang berbaring di sebelahnya. Ada perempuan lain yang rebah berbantal lengan kukuhnya. Pria itu tersenyum, lantas menghadiahkan sebuah ciuman selamat pagi di bibir mungil Yena.
"Bangun, yuk. Kita salat subuh dulu."
Yena tak langsung membuka mata, malah merengek kecil sembari membawa dirinya semakin tenggelam di d**a bidang Orion.
"Salat subuh dulu, nanti tidur lagi enggak apa-apa."
"Kak, aku masih ngantuk."
"Sebentar kok. Enggak akan makan waktu lebih dari sepuluh menit. Sebentar kalau dibandingkan semua waktu yang udah Allah kasih buat kamu."
Kali ini Yena tak menolak. Perempuan itu langsung bangkit dan duduk dengan mata yang masih terkantuk-kantuk.
Orion ikut bangkit, lalu menghadiahkan kecupan-kecupan kecil di beberapa bagian tubuh perempuan itu.
Tepat saat bibir Orion menyapu permukaan kulit lehernya, Yena refleks menghentikan kegiatan pria itu. "Jangan," katanya.
Dengan segera Orion berhenti. "Makanya ayo salat dulu."
Perempuan itu mengangguk. "Kakak udah baikan?" tanyanya sembari berjalan ke arah kamar mandi.
"Lumayan," singkat Orion.
"Kalau belum baikan juga, lebih baik kita ke--"
"Aku udah baikan. Sebentar lagi juga harus pulang karena Nao pasti nunggu aku di rumah." Cepat, Orion menyela. "Kamu enggak apa-apa, 'kan aku tinggal sendiri?"
"Enggak apa-apa. Aku ngerti kok."
Tangan kukuh Orion bergerak mengusap puncak kepala perempuan itu. Dalam diamnya ia bersyukur karena Yena tidak pernah banyak menuntut. Yena juga tergolong penurut karena selalu mematuhi apa pun yang Orion mau.
***
Sudahkah ia terlihat normal? Demikian yang Orion pertanyaan sesaat sebelum kaki jenjangnya terayun memasuki rumah. Ia berharap tak ada jejak sekecil apa pun yang Yena tinggalkan di tubuhnya.
Pria itu berusaha tersenyum saat mendapati Nao sudah menyambutnya di ambang pintu. Meski tersenyum, Orion bisa melihat dengan jelas bahwa Nao tidak seperti biasa. Mata sang istri tampak sembap, seperti habis menangis. Ah, atau mungkin Nao memang benar-benar menangis.
"Kamu nangis?" Orion langsung melempar tanya begitu posisinya tak lagi berjarak dengan Nao.
"Eng--enggak kok."
"Bohong itu bukan keahlian kamu, Nao," sahut Orion sembari mendudukkan dirinya di sofa.
Nao pun ikut duduk di sebelah Orion, tetapi memilih menyibukan diri dengan telepon genggamnya. Membahas masalah itu lagi sama sekali buka ide bagus. Nao tidak ingin berpikiran buruk lagi tentang suaminya.
"Lihat aku. Aku lagi bicara sama kamu."
Perempuan berambut pendek itu menatap suaminya takut-takut. "Apa?" tanyanya kemudian.
"Aku tanya, apa yang bikin kamu nangis? Karena aku enggak pulang? Aku udah jelasin alasannya, 'kan?"
"Aku enggak mau bahas itu, Ori."
"Kalau setiap permasalahan kita diamkan dan dianggap selesai begitu aja, suatu hari pasti ada meledaknya. Menurutku itu lebih berbahaya. Jadi, aku mohon kalau kamu emang merasakan sesuatu entah itu ketidaknyamanan atau apa pun, kamu bisa bilang sama aku."
Apa yang harus dikatakan? Nao terlalu malu mengakui kalau saat ini hatinya meragu.
"Hei?"
"Aku ... aku cuma merasa kalau kamu beda. Kamu emang di sini sama aku, tapi aku merasa kosong karena hati dan pikiran kamu sepertinya enggak di sini."
Apakah sedemikian jelas perubahannya? Orion tidak ingin Nao bergelut dengan perasaan semacam itu. Melukai apalagi sampai membuat Nao menangis pun tidak pernah terlintas dalam benaknya. "Maaf, aku sedikit sibuk akhir-akhir ini. Jadi, pikiran aku emang kadang ke mana-mana sekalipun sedang di rumah."
"Asal kamu enggak sibuk mikirin perempuan lain aku enggak apa-apa kok, Ori. Aku bisa maklum."
"Hm?"
Nao menunduk. "Aku takut di luar sana ada orang lain yang bisa bikin kamu bahagia selain aku. Aku sadar kalau aku bukan perempuan sempurna, tapi aku berani bertaruh kalau rasa sayangku ke kamu lebih besar dari perempuan mana pun."
Orion terkekeh, lantas membawa sang istri ke dalam pelukannya. "Kamu enggak perlu bilang sebanyak dan sebesar apa rasa sayang yang kamu punya, tanpa kamu bicara pun aku tahu kamu sesayang itu."
"Kamu sendiri sayang enggak sama aku?"
"Menurut kamu?"
"Harusnya, sih, sayang. Masa aku sayang sendirian."
Lagi, pria itu terkekeh. "Kalau udah tahu, kenapa tanya lagi?"
"Aku cuma mau memastikan kalau aku tetap satu-satunya perempuan yang kamu sayang."
Orion merasa lidahnya kelu, sampai menjawab pun tak sanggup. Nyatanya, sekarang bukan hanya Nao yang ia sayang. Ada perempuan lain yang beduduk anggun berdampingan dengan Nao di singgasana hatinya. Perempuan rapuh yang justru sanggup menjadi penguat saat Orion kepayahan.
"Ori?"
"Iya?"
"Aku mau punya bayi."
"Hah?"
"Iya, aku mau kita cepat-cepat punya bayi," sahut Nao lagi sembari melepas pelukan suaminya. "Kamu tahu? Semalam aku udah dandan cantik demi kamu, tapi kamu malah enggak pulang. Aku gondok banget dong. Mana otakku mikirnya jelek lagi. Nangis deh sampai tengah malam."
"Aku minta maaf, Nao."
"Enggak apa-apa kok. Yang penting sekarang kamu di sini, bikin aku yakin kalau aku tetap satu-satunya. Aku sayang kamu, Ori. Jangan pernah tinggalin aku untuk alasan apa pun. Kamu boleh melakukan apa aja yang bikin kamu bahagia, asal jangan pergi dari aku."
Bagi Nao, itu permintaan sederhana. Tak demikian untuk Orion. Tetap tinggal bersama semua orang yang ia sayangi adalah hal besar dan terlalu muluk. Apalagi, kontraknya Tuhan yang menentukan. Bersyukur andai Tuhan berbaik hati memberi perpanjangan. Namun, jika semua memang harus selesai, Orion tidak punya pilihan lain selain menyingkir.
|Bersambung|