Chapter 2 : Mommy Tiri

2174 Kata
Sisi tersentak saat mendengar suara ketukan pintu. Wanita itu pun menghentikan kegiatan memindahkan baju-bajunya ke dalam lemari di kamar. Lalu berjalan ke arah pintu dan membukanya setelah sebelumnya melirik Ali yang tidur menelungkup di ranjang. "Nyonya Wanda?" ucap Sisi saat melihat Mama Ali berdiri di depan pintu kamarnya sembari membawa handuk bergambar kartun winnie the pooh. "Sisi! Kenapa masih manggil Nyonya sih? Panggil Mama dong!" omel mama Ali pada Sisi. Sisi meringis, merasa tak enak pada mama Ali. "Maaf, Ma," balasnya. "Ya udah gapapa. Tapi dibiasakan ya! Eh... Ali ada kan?" Sisi mengangguk. "Ada, Ma. Tapi Mas Ali masih tidur," jawabnya. "Masih tidur? Emangnya semalem tidur jam berapa, Si?" "Em... Sisi juga nggak tau pasti, Ma. Soalnya Sisi-" "Udah. Jangan diterusin. Mama maklum kok. Kan pengantin baru. Apalagi Ali udah lama menduda," godanya sembari mengedip genit pada Sisi. Sisi mengernyit, tak mengerti dengan maksud ucapan mama Ali. "Oh iya. Tolong kamu bangunin Ali ya! Suruh mandiin Aisha! Anak itu lagi ngambek. Nggak mau dimandiin sama siapapun." "Kalau gitu biar Sisi bujuk, Ma. Siapa tau Aisha mau," ujar Sisi. Mama Ali tersenyum senang. "Iya boleh. Ini handuknya. Aisha masih di kamar. Biar Mama anter kesana!" Sisi mengangguk. Kemudian berjalan mengikuti langkah mama Ali setelah menutup pintu kamar. Mereka turun ke bawah melewati dapur. Terlihat di ujung ruangan ada sebuah pintu yang ditempeli stiker minnie mouse. Sisi tersenyum tipis, dia yakin itu adalah kamar Aisha. Benar saja, begitu sampai disana, mama Ali langsung membuka pintu itu. Sisi bisa melihat sosok mungil sedang menelungkup di atas ranjang dengan punggung bergetar. Sepertinya bocah itu sedang menangis. "Aisha! Ini ada Mommy Sisi! Liat deh! Mommy Sisi dateng!" ucap mama Ali pada anak kecil itu. Aisha tetap menelungkup di atas ranjang. Menangis terisak tanpa mempedulikan ucapan sang nenek. Mama Ali menghela nafas panjang. "Ai... ada Mommy Sisi, loh!" "Biar Sisi coba bujuk ya, Ma?" Mama Ali mengangguk. "Iya deh. Kamu bujuk Ai ya? Mama mau ke dapur dulu. Bantu Bik Mumun siapin sarapan." Sisi mengangguk pelan. Setelah mama Ali pergi, barulah wanita itu masuk ke kamar Aisha. Menutup pintunya dengan pelan. Sisi berjalan menghampiri Aisha. Lalu duduk di pinggiran ranjang. "Aisha, mandi yuk!" ucapnya lembut. Aisha masih menangis sesenggukan. Memanggil-manggil Daddynya. Sisi mencoba mengelus lembut rambutnya. "Aisha, mandi sama bunda yuk! Biar seger, biar wangi juga. Mandi yuk!" "Nggak mau! Ai nggak mau mandi sama Mommy tiri! Ai maunya sama Daddy aja!" jerit bocah itu. Sisi menahan senyumnya saat nendengar dirinya dipanggil 'Mommy tiri' oleh Aisha. Gadis itu kembali menyentuh bahu Aisha. "Ini Bunda Sisi, bukan Mommy tiri. Mulai sekarang, Aisha panggil Bunda ya?" Aisha berhenti menangis. Bocah itu menatap marah kepada Sisi. Aisha menggeleng kencang. "Nggak! Ai nggak mau sama Mommy tiri! Mommy tiri jahat! Ai benci!" Sisi menghela nafas pelan. "Nggak, Ai. Bunda nggak jahat. Bunda sayang sama Ai." Gadis itu mencoba maju mendekati Aisha. Tapi bocah itu malah menangis semakin kencang sembari menjerit kuat. "Mommy tiri pergi! Ai nggak mau sama Mommy tiri! Pergi sana! Pergi!" jeritnya. "Ai-" "Daddy!" Aisha langsung turun dari ranjang. Berlari ke pelukan Ali. Bocah itu menangis di dalam gendongan daddynya. "Ai kenapa, Sayang?" tanya Ali padanya. Aisha menggeleng. Anak itu menyembunyikan wajahnya di d**a Ali sembari terus menangis. Ali menghela nafas panjang. "Kata Oma, Ai nggak mau mandi lagi?" tanyanya. Aisha mengangguk pelan. Jari-jari mungilnya memeluk erat leher Ali. "Kenapa nggak mau mandi?" "Mau mandi sama Daddy," ujar Aisha begitu lirih. "Ehm.. tadi aku bujuk Ai buat mandi. Tapi dia nggak mau, Mas." Sisi menyela pembicaraan Aisha dan Ali. Ali menoleh sekilas. Hanya sedetik, kemudian pria itu kembali menatap putrinya yang sedang menangis di dadanya. "Ai nggak mau mandi sama Mommy Sisi?" Aisha menggeleng kencang. "Nggak! Mommy tiri jahat! Ai benci sama Mommy tiri! Ai nggak mau mandi sama Mommy tiri!" ucap Aisha dengan suara seraknya. "Ai! Kamu nggak boleh ngomong kayak gitu! Itu Mommy Sisi! Bukan Mommy tiri!" Ali memarahi Aisha. Aisha pun makin menangis kencang saat Ali memarahinya. Ali menurunkan Aisha ke atas ranjang. Menatap tajam anak itu. "Ai harus minta maaf sama Mommy. Ayo minta maaf sana!" ucapnya. Aisha menggeleng, membuat Ali menghela nafas panjang. "Ai..." "Udah gapapa, Mas. Jangan dipaksa kalo emang nggak mau," sela Sisi. Ali menoleh pada gadis itu. Menatap mata hitamnya yang jernih dan indah. Namun itu tak berlangsung lama. Karena Ali buru-buru memalingkan wajahnya. "Aku balik ke kamar ya, Mas. Tadi aku belum selesai mindahin baju," pamit Sisi yang dibalas Ali dengan anggukan kaku. "Oh iya. Mas Ali mau dibikinin minum apa? Mau teh atau kopi?" tawarnya sebelum sempat menutup pintu. "Nggak usah repot-repot." "Nggak repot kok, Mas. Cuma minum aja. Itu kan tugas aku juga," balas Sisi. "Nggak usah." "Aku buatin teh ya Mas?" "Aku bilang nggak usah! Kamu denger nggak sih!" sentak Ali. Sisi terdiam. Wanita itu menunduk sejenak, kemudian tersenyum tipis pada Ali. "Ya udah. Aku balik ke kamar ya, Mas," ujarnya lirih. Kemudian Sisi menutup pintu dan kembali ke kamarnya. Membereskan sisa pakaiannya yang berada di koper miliknya. Semalam ayahnya yang mengantarkan koper berisi baju dan barang-barang pribadinya tepat setelah acara. "Baik-baik ya, Nduk! Yang nurut sama suamimu! Sayangi Non kecil seperti anakmu sendiri." "Iya, Yah. Insyaallah Sisi juga sayang sama Aisha." "Jangan bantah ucapan suamimu. Ayah percaya Tuan Ali itu baik. Meski kadang bicaranya suka ketus, tukang perintah, tapi hatinya baik." Sisi menarik nafas dalam-dalam. Dia terus mengingat nasihat ayahnya semalam. Ali memang seperti itu, tapi hatinya baik. Berkali-kali wanita itu merapalkannya dalam hati. *** "Daddy, Mommy tiri sekarang tinggal di rumah kita ya?" tanya Aisha saat berendam di bathup kamar mandi. Ali terdiam melamun. Tidak mendengarkan perkataan Aisha. Pria itu terus memikirkan Sisi, istri yang baru dia nikahi kurang dari duapuluh empat jam. Namun sudah bisa memenuhi pikirannya. "Daddy?" Aisha menghadap Ali yang masih diam melamun. Berjongkok di samping bathup tempatnya berendam. "Daddy!" Aisha mencembik setelah menyentakkan Ali dari lamunannya. "Hah? Ai udah mandinya?" tanya Ali yang masih kaget. "Daddy ngelamun?" Ali tersenyum pada bocah itu. Mengecup dahinya dengan sayang. Kemudian menarik shower dan mulai membilas tubuh Aisha. "Nggak, kok. Daddy nggak ngelamun. Ayo Ai mandinya udahan. Jangan main air terus!" Aisha bangkit untuk berdiri saat Ali menariknya dan membilas tubuhnya yang dipenuhi busa. "Ai itu bisa nggak sih kalo mandi nggak selalu sama Daddy? Kan bisa mandi sama Oma. Sama Bi Mumun. Atau sama Mommy Sisi," ucap Ali pada Aisha Bocah itu memanyunkan bibirnya. "Ai maunya mandi sama Daddy aja. Nggak mau sama orang lain. Apalagi sama Mommy tiri," jawabnya. "Ai... panggil Mommy Sisi. Bukan Mommy tiri! Nggak baik manggil kayak gitu!" Aisha hanya diam sambil cemberut saat Ali memarahinya. "Muter! Daddy bilas punggungnya!" Aisha menuruti kata-kata Ali. Membalik tubuhnya membelakangi Ali. "Nanti Ai ada les piano kan? Biar dianter sama Mommy Sisi mau?" Aisha menggeleng. "Nggak mau, Dad. Mau sama Daddy aja!" rengeknya. "Nanti itu Daddy ada urusan, Ai. Biar Mommy Sisi aja yang nganter Ai!" "Nggak mau, Dad. Mau sama Daddy..." Aisha kembali merengek. Ali melilitkan handuk ke tubuh mungil bocah itu. Kemudian membawanya keluar kamar mandi. Ali dengan telaten memakaikan baju juga mendandani Aisha. Setelah selesai, barulah pria itu menyuruh Aisha turun. Sedangkan dia sendiri kembali ke kamarnya. *** Sisi menghela nafas panjang. Selesai sudah pekerjaannya memindahkan baju dan barang-barangnya. Dan kini tubuhnya terasa lengket karena keringat. Padahal tadi subuh dia sudah mandi. Wanita itu pun memutuskan untuk kembali mandi. Sisi menyahut handuknya dengan asal. Kemudian masuk ke kamar mandi dengan terburu-buru. Ali mengernyit saat mendapati kamarnya kosong. Pria itu sempat melihat lemari yang tertutup setengah. Ali pun mencoba membukanya. Menilik pakaian Sisi yang jadi satu dengan bajunya. Pria itu tersenyum tipis melihat pakaian Sisi yang tertata rapi. Kebanyakan pakaian Sisi baju-baju gamis. Juga baju lengan panjang. Ali menutup lemari setelah mengambil handuk dari sana. Kemudian berjalan menuju kamar mandi. Ali mendorong pintu kamar mandi perlahan. Pria itu sempat berkaca di cermin wastafel sebentar. Baru saja Ali akan menyingkap tirai yang membatasi wastafel dengan bathup, dia mendengar suara air gemericik. Disingkapnya sedikit tirai itu. Alangkah terkejutnya saat dia mendapati punggung polos dan mulus seseorang yang dibasahi air shower. Ali terpaku melihat Sisi sedang mandi disana. Cukup lama pria itu mematung. Sampai gerakan Sisi mematikan shower menyadarkannya. Ali buru-buru keluar dari kamar mandi dengan d**a yang berdebar-debar. Pria itu duduk di sofa dengan kaki gemetar. Sisi keluar dari kamar mandi dengan memakai piyama handuk. Juga handuk kecil yang melilit di rambutnya. Gadis itu terkejut saat melihat Ali. "Mas Ali? U-udah mandiin Aisha nya?" tanyanya gugup. Pipinya bersemu merah. Malu karena bertemu Ali dengan badan hanya tertutup handuk. Sisi memegangi ujung piyama handuknya dengan erat. Tatapan tajam Ali membuat tubuhnya terasa panas. Wanita itu terus menunduk sambil berjalan ke arah lemari. Mengambil sebuah gamis polos dari sana. Juga jilbab panjang serta dalaman untuk dia pakai. Diam-diam Sisi mendesah karena dari sudut matanya dia bisa melihat Ali yang terus memperhatikannya. Ali berdiri secara tiba-tiba dan berjalan cepat menuju ke kamar mandi. Sebelum menutup pintu kamar mandi, pria itu sempat meluapkan kemarahanya pada Sisi. "Lain kali, kalau mandi itu pintunya dikunci! Jangan samakan rumah ini sama rumah kamu! Disini semua ada aturannya!" ucapnya menekankan pada Sisi. Sisi memegangi dadanya saat Ali menutup pintu kamar mandi dengan kencang. Gadis itu menunduk sendu. Dia tau rumahnya sangatlah berbeda dengan disini. Rumahnya begitu sederhana. Sedangkan disini begitu mewahnya. Sisi saja sempat terpukau saat semalam masuk ke kamarnya. Kamarnya sangat luas. Bahkan mungkin rumah lamanya tak seluas kamarnya sekarang. Tapi bukan berarti di rumahnya tidak ada aturan. Karena ayahnya begitu tegas dalam mendidiknya. Bahkan di rumahnya pun kalau mandi pintu selalu dikunci meski kamar mandinya ada di kamar Sisi sendiri. Sisi begitu menyesal tadi lupa mengunci pintu. Hingga Ali begitu marah. Wanita itu memutuskan untuk segera berganti pakaian. Lalu turun ke bawah. *** "Selamat pagi, Pa. Pagi, Ma." Sapa Sisi pada mama dan papa Ali. "Pagi juga, Sayang," balas Mama Ali. Papa Ali tersenyum lebar. Menepuk-nepuk kursi di sampingnya. "Sisi. Sini nak! Duduk di samping Papa!" ujarnya. Sisi menurut. Duduk di samping papa Ali. Wanita itu tersenyum pada Aisha yang menatapnya. "Pagi Aisha Sayang. Aisha cantik banget pagi ini." Aisha melengos dengan bibir mencembik. Memakan roti lapisnya dengan malas. Wanda menggeleng melihat kelakuan Aisha. "Ai! Diajak ngomong Mommy Sisi itu! Kok malah gitu sih?" omelnya. "Ai nggak mau ngomong sama Mommy tiri," balas Aisha. "Aisha! Jangan ngomong kayak gitu! Nggak sopan, Sayang!" Wanda berucap tegas. "Biarin!" Aisha menjulurkan lidahnya meledek Sisi. "Aisha!" kini Papa Ali yang membuka suara. Nadanya dingin dan berat. Membuat Aisha takut. Bocah itu menunduk tak berani menatap opanya. "Minta maaf sama Mommy Sisi!" perintahnya. Aisha menggeleng masih dengan menunduk. Papa Ali pun merasa jengkel. Dia sudah akan memarahi Aisha, namun suara Sisi menghentikannya. "Udah, Pa. Gapapa. Aisha kan masih kecil. Mungkin dia belum terbiasa sama kehadiran Sisi," ujarnya. "Tapi dia harus diajari sejak sekarang. Biar nanti besarnya nggak kurang ajar! Ini pasti karena Ali yang terus manjain dia." "Iya, Pa. Sisi ngerti. Nanti pelan-pelan biar Sisi yang kasih pengertian sama Aisha," balas Sisi. "Tapi Si-" "Kenapa Pa?" tiba-tiba Ali datang dengan berpakaian rapi sambil membawa jas dan tas. "Loh, Li? Kamu mau kemana?" tanya Wanda pada Ali. "Kerja, Ma. Ada pekerjaan penting di kantor," jawab Ali santai. "Tapi kamu kan baru menikah kemarin, Li! Apa kata orang nanti?" "Ali nggak peduli, Ma. Apapun kata orang, terserah mereka! Lagian siapa yang berani mengatai Ali?" Papa Ali geleng-geleng kepala melihat kekeraskepalaan putranya. Pria itu memberi isyarat pada istrinya agar tidak lagi berdebat dengan Ali. Ali mendekati Aisha yang berwajah sedih. Kemudian menggendongnya. "Ai kenapa, Nak? Kok mukanya ditekuk gitu?" tanyanya. "Tadi dia Mama omelin. Dia itu ngomongnya kasar loh, Li!" "Aisha kan masih kecil, Ma. Nggak perlu diomelin juga," balas Ali. "Ya justru karena dia masih kecil, makanya harus dididik yang bagus. Biar gedenya jadi anak yang santun." "Iya, Li. Bener kata Mama kamu! Aisha jangan dimanjain terus. Kamu sih, terlalu manjain Aisha. Dia jadi ngga tau mana yang bener mana ya-" "Udahlah, Pa, Ma. Ali tau kok cara didik anak Ali. Nggak perlu Mama sama Papa ikut campur!" sergahnya memotong ucapan papanya. Pria itu menyahut tas dan jasnya. Sembari menggendong Aisha. Ali berpamitan berangkat kerja. "Aisha ikut Ali aja! Nanti biar sekalian Ali antar ke tempat les piano," ujar Ali. Pria itu sempat melirik ke arah Sisi selama beberapa saat. Sebelum menghilang dari balik pintu. Sisi menghela nafas panjang. Wanita itu menoleh pada mama Ali yang melakukan hal yang sama dengan mereka. Papa Ali terlihat begitu sedih. Pandangannya masih terpaku pada pintu dimana Ali keluar. "Papa sama Mama nggak sarapan?" ujar Sisi memecah keheningan. Wanda mengangguk seraya memberikan senyum tipisnya pada Sisi. Wanita itu mengusap kepala Sisi yang tertutup jilbab panjang. "Maafkan kelakuan anak dan cucu Mama ya, Si." Sisi menggenggam tangan berkerut wanita itu. Memberikan senyuman hangatnya. "Sisi pasti maafkan, Ma. Mas Ali dan Aisha kan suami dan anak Sisi. Jadi pasti Sisi akan memaafkan mereka," balasnya. Wanda menatap haru menantunya itu. Segera dipeluknya tubuh Sisi dengan erat. Batinnya memuji kesabaran Sisi. Melihat begitu baiknya Sisi, membuat rasa bersalah Wanda makin menjadi. Bagaimana nanti jika Sisi mengetahui kenyataan sebenarnya? Sisi pasti akan sangat kecewa. Dia pasti akan sangat membenci Wanda dan suaminya. Maafkan Mama dan Papa ya, Si.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN