Bab 8 : Mimpi Buruk di Gudang Buku Lama

1536 Kata
Malam itu, pondok pesantren terasa sunyi berbeda dari biasanya. Lampu-lampu aula dan kamar belajar telah dimatikan, menyisakan hanya cahaya remang-remang dari lentera kecil di sepanjang koridor. Di balik keheningan, Syarifah berjalan pelan menuju gudang buku lama yang terletak di sayap paling pojok pondok pesantren, tempat dia biasa menyimpan koleksi kitab-kitab antik dan naskah-naskah langka. Hatinya agak gelisah malam ini, setelah beberapa hari terakhir menemukan petunjuk baru tentang rahasia nenek Tariqah yang masih menggantung dalam benaknya. Saat membersihkan debu pada rak-rak kayu tua, Syarifah secara tidak sengaja menemukan sebuah buku kecil berjilid kulit kusam yang tersembunyi di balik tumpukan kitab fiqh yang lama tak tersentuh. Namun saat membuka halaman pertama, suasana mendadak berubah tegang. Angin dingin tiba-tiba berhembus dari jendela yang terbuka sedikit, menimbulkan gemerisik daun kering di luar. Cahaya lentera bergoyang-goyang, membuat bayangan di dinding bergerak liar, seolah menyambut sesuatu yang tak kasat mata. Tiba-tiba, dalam kesunyian itu, Syarifah merasa seperti ada sosok yang mengawasinya dari sudut ruangan. Jantungnya berdetak lebih cepat, dia mencoba mengeraskan napas agar tetap tenang. Ia pun memutuskan untuk menutup buku itu sejenak dan duduk di lantai gudang, mencoba menenangkan diri. Di balik bayangan kelam itu, terlintas sebuah mimpi buruk yang tiba-tiba mengganggu pikirannya—mimpi tentang masa lalu nenek Tariqah yang penuh pergolakan dan rahasia kelam yang selama ini tersimpan di balik pustaka pondok. Ketika Syarifah membuka buku itu kembali, suara samar terdengar seperti bisikan, membawa kisah yang belum pernah terungkap sebelumnya. Gimana mungkin sebuah buku kecil menyimpan cerita yang mampu mengguncang ketenangan pondok pesantren? Syarifah sadar, mimpi buruk itu bukan sekadar bunga tidur, tapi pertanda penting untuk mengungkap rahasia yang bisa mengubah segalanya. *** Syarifah menarik napas dalam-dalam, menenangkan hatinya yang masih berdebar. Dengan tangan yang sedikit gemetar, ia membuka halaman pertama buku kecil itu. Tulisan tangan yang kuno dan penuh garis-garis tanda usang memenuhi lembaran halaman, seolah membawa pesan yang disembunyikan selama puluhan tahun. Isi buku itu menceritakan tentang pergolakan batin nenek Tariqah saat masa mudanya, tentang kepedihan yang tak pernah terungkap. Ada kisah tentang ketetapan hati untuk menjaga ajaran dan memperjuangkan ilmu meski menghadapi penolakan, bahkan pengucilan. Nenek Tariqah bukan hanya seorang hafizhah, tapi juga penjaga ilmu yang harus melawan kekuatan yang berusaha mengubur kebenaran. Tiba-tiba cahaya lentera sedikit meredup, dan bayangan-bayangan di sekitar seolah menari dalam kesunyian. Syarifah merasakan dingin merayap perlahan di tubuhnya, seperti janji mimpi buruk malam tadi mulai menjadi nyata. Dalam lembaran berikutnya terselip surat penuh rahasia yang menuliskan kode-kode yang harus dipecahkan agar warisan ilmu dan pesan nenek bisa tersampaikan kepada generasi selanjutnya. Dalam situasi genting itu, telepon genggam perpustakaan yang dipegang Syarifah bergetar. Sebuah pesan masuk dari Aira: “Perlu kehadiranmu segera di aula pondok. Ada sesuatu penting yang harus kita diskusikan terkait buku lama yang kau temukan.” Dengan cepat Syarifah menutup buku itu dan mengunci gudang. Ia tahu petualangan menemukan rahasia masa lalu nenek Tariqah baru saja memasuki babak yang lebih rumit. Mimpi buruk tadi malam bukan sekadar peringatan, tapi panggilan untuk menguak kebenaran yang selama ini terpendam. Saat melangkah ke aula, Syarifah teringat kata-kata Ustadzah Hamidah yang sering disampaikan, “Ilmu tanpa hikmah seperti air tanpa arah, dan rahasia adalah kunci membuka pintu hikmah itu.” Di aula, Aira, Nisa, Lina, dan Tariqah sudah menunggu dengan wajah serius. Mereka semua tahu, apa yang ditemukan Syarifah bisa menjadi titik balik bagi pondom pesantren dan bagi perjalanan spiritual Tariqah. Kisah yang terlewatkan bertahun-tahun kini mulai menampakkan diri—dan Syarifah bersiap menjadi saksi sekaligus penjaga misteri yang tidak boleh terbuka terlalu cepat. *** Di aula pondok pesantren, suasana serius menyelimuti pertemuan kecil itu. Syarifah memegang erat buku kuno yang baru saja ditemukannya, sementara Aira, Nisa, Lina, dan Tariqah duduk melingkar, siap mendengar dan memberi masukan terkait rahasia yang mulai terkuak. Aira membuka pembicaraan, “Kita harus berhati-hati. Buku ini bukan hanya berisi sejarah keluarga, tapi juga petunjuk tentang perjalanan spiritual dan amanah besar yang harus diteruskan.” Nisa menambahkan dengan tatapan tajam, “Ada kode-kode dan simbol yang perlu kita pahami dulu. Ini bukan sekadar naskah biasa, tapi seperti peta menuju kebenaran yang mungkin bisa mengubah semua pandangan kita.” Lina, sebagai guru muda yang karismatik, mulai memfasilitasi diskusi, “Apa langkah pertama yang harus kita ambil? Kita perlu membentuk tim kecil yang fokus mempelajari tulisan-tulisan ini sambil menjalankan aktivitas pondok.” Tariqah tampak tegang, namun bersikap tabah. “Aku merasa ini adalah bagian dari warisanku yang harus aku pahami. Nenekku menyimpan banyak cerita yang belum aku tahu, dan aku siap menerima apa pun konsekuensinya.” Syarifah mengangkat bagian yang penting dari buku itu, “Ada catatan tentang sebuah ruang rahasia di perpustakaan yang selama ini tersembunyi. Jika benar, ruang itu menyimpan dokumen dan artefak penting yang bisa membantu menjelaskan isi pesan ini.” Mereka pun mulai merencanakan pembagian tugas: Nisa dan Lina fokus pada decoding kode-kode dan simbol, Aira dan Tariqah menjaga komunikasi dengan pihak pondok pesantren agar rencana ini berjalan lancar, sementara Syarifah bertugas meneliti lebih dalam gudang perpustakaan dan mencari ruang rahasia itu. Sebagai penutup, Ustadzah Hamidah muncul dengan langkah mantap. “Hati-hati dengan apa yang akan kalian buka. Pengetahuan besar datang dengan tanggung jawab besar pula. Namun yakinlah, Allah selalu memberikan petunjuk kepada hamba-Nya yang bersungguh-sungguh.” Malam itu, mereka pulang dengan kepala penuh pemikiran dan hati yang penuh keyakinan. Mimpi buruk di gudang buku lama itu bukan hanya pengingat, tapi juga awal dari perjalanan yang akan menguak misteri masa lalu sekaligus menyinari masa depan pondok pesantren dan para santri. *** Hari-hari berikutnya di pondok pesantren dipenuhi oleh rasa penasaran dan semangat yang menggebu. Dipimpin oleh Syarifah, tim kecil itu mulai menggali lebih dalam rahasia ruang perpustakaan yang disebutkan dalam buku kuno tadi. Berbekal kunci-kunci petunjuk yang ada pada manuskrip, mereka mencari-cari celah tersembunyi yang selama ini luput dari perhatian. Pada suatu sore, ketika sinar matahari mulai meredup, Syarifah menemukan sebuah lempengan kayu yang tampak berbeda di sisi bawah rak kitab kuno. Dengan hati-hati, ia menekan tombol rahasia yang tersembunyi di balik ornamen sederhana itu. Terdengar bunyi klik halus, dan sebuah panel kayu perlahan terbuka memperlihatkan ruangan sempit berdebu dan gelap. Di dalam ruang rahasia itu, mereka menemukan berbagai tumpukan dokumen tua, gulungan kertas, serta sebuah peti kayu kecil yang terkunci rapat. Aira segera memimpin penyisiran dokumen tersebut dan menemukan catatan-catatan penting berisi tafsir dan amalan syariah yang selama ini dilupakan. Namun, kegembiraan mereka segera ternoda oleh perasaan was-was. Dari luar, suara langkah berat menggema mendekati perpustakaan. Para santri dan ustadzah pun segera bersembunyi, menyiapkan kemungkinan perlindungan. Siapakah yang datang malam itu, dan apakah mereka mengetahui rahasia yang mulai terbuka? Sementara itu, Tariqah memandang peti kayu kecil dengan campuran rasa penasaran dan ketakutan. Ia tahu bahwa apapun isi peti itu, akan mengubah perjalanan hidupnya dan pondok itu secara drastis. Ustadzah Hamidah yang tiba-tiba hadir memberi aba-aba agar semuanya tetap tenang dan bijak. “Rahasia ini adalah amanah yang harus kita jaga. Jangan sampai ilmu dan hikmah yang ada disalahgunakan,” ujar beliau penuh kewaspadaan. Malapetaka atau rahmat? Dilema itu sedang menunggu di ambang pintu malam, sementara mimpi buruk di gudang buku lama menjadi nyata lebih dari yang pernah mereka bayangkan. *** Suara langkah berat semakin mendekat ke perpustakaan. Aira dengan sigap memberi tanda kepada teman-temannya untuk tetap tenang dan bersembunyi di balik rak dan sudut ruangan. Jantung mereka berdetak cepat, siap siaga menghadapi siapa pun yang datang tiba-tiba tengah malam itu. Ketika pintu perpustakaan terbuka perlahan, seorang pria berpakaian serba hitam masuk dengan tatapan dingin. Ia menoleh, seolah mencari sesuatu. Syarifah menahan napas saat pria itu melangkah mendekat ke arah ruang rahasia yang baru saja ditemukan. “Apa kau yang memanggil kami ke sini?” suara pria itu dalam bahasa yang sulit dipahami, namun penuh ancaman. Aira, dengan ketegasan yang mengalir dari pengalaman memimpin, berdiri memperlihatkan keberanian. “Jika kau berniat mengganggu pondok dan rahasia kami, kau salah alamat. Kami akan melindungi ilmu dan amanah ini dengan sepenuh hati.” Pria itu tertawa dingin, lalu mengeluarkan sebuah surat yang mengandung peringatan agar tidak membuka rahasia nenek Tariqah. Namun sebelum ia sempat melanjutkan, Nisa tiba-tiba muncul di pintu dengan suara tegas menyatakan, “Pengetahuan dan kebenaran harus dibagikan, bukan disembunyikan dalam ketakutan.” Ketegangan meningkat ketika pria itu berusaha menakut-nakuti, tapi Ustadzah Hamidah datang dari belakang dengan sikap tegas dan tenang. “Hati-hati dengan apa yang kau lakukan. Kami berada di sini untuk menjaga kebenaran dan keadilan. Tidak ada ruang untuk ancaman di pondok ini.” Mendapati sikap bulat para santri dan ustadzah, pria misterius itu akhirnya mundur dan meninggalkan pesan terakhir, “Ini belum berakhir. Kebenaran yang kau cari bukan tanpa harga.” Setelah ketegangan berakhir, kelompok kecil itu duduk bersama di dalam ruang rahasia, membahas isi dokumen dan peti kayu yang berisi gulungan dan kitab berharga. Mereka menyadari bahwa rahasia nenek Tariqah tidak hanya berharga secara spiritual, tapi juga memiliki implikasi besar terhadap masa depan pondok pesantren. Tariqah memegang satu gulungan dan berkata pelan, “Ini bukan hanya tentangku atau nenek, ini tentang bagaimana kita menjaga amanah dan memperkuat iman bersama.” Ustadzah Hamidah menutup pertemuan itu dengan nasihat penuh makna, “Jalankan amanah dengan hati tulus. Hadapi tantangan dengan ilmu dan kesabaran. Karena kebesaran ilmu terbentuk dari keteguhan hati dan amal yang benar.” Mimpi buruk di gudang buku lama akhirnya membuka pintu menuju perjalanan baru, di mana rahasia, iman, dan pengorbanan akan terus diuji.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN