Tespek

1002 Kata
'Alhamdulilah, setelah sekian lama akhirnya kami diberi momongan juga, suatu kebanggaan bagi seorang wanita saat mengandung anak suaminya, sebagai seorang wanita belum sempurna kalau belum melahirkan anak' Status Kirana muncul di beranda efbe-ku pagi ini, aku menelan ludah, padahal sejak dulu mengandung adalah impian terbesar dalam hidup ini, tapi kenapa Kirana yang terlebih dulu dianugerahi? Aku merasa ini tidak adil, tapi bagaimana lagi ini sudah menjadi kehendaknya. Kenapa Kirana bisa hamil sedangkan aku belum? atau jangan-jangan benar kata Mas Hanif waktu itu kalau aku yang mandul? Mengingat itu rasanya semakin putus harapan saja. "Hasil pemeriksaan menyatakan kalau kamu itu ga bisa berikan keturunan, sangat kecil kemungkinannya,". ucap Mas Hanif tempo hari saat aku masih menjadi istrinya. Dahulu kami pernah mengecek kesuburan masing-masing ke dokter, tapi saat mengambil hasilnya aku tak ikut sebab harus pulang kampung. Saat itu jelas saja Mas Hanif kecewa, bisa jadi karena itu juga ia selingkuh dengan Kirana. Ah menyebalkan kalau ingat masa kelam itu. Kolom komentar Kirana dibanjiri ucapan selamat. Aku menengadah minta pada Tuhan agar menjauhkan hati ini dari sifat iri dan dengki. "Si Kirana hamil?" tanya Mas Lutfi, lelaki itu entah kapan datangnya tahu-tahu sudah ada di sebelah nengok layar ponselku, padahal aku sedang khusyuk berdoa, eh dia malah muncul seenaknya sambil makan kuaci. "Iya, nih dia bikin status plus unggah poto hasil tespeknya," jawabku sedikit bete, semua manusia pasti mempunyai rasa iri kan? Asal jangan diiringi dengan dengki saja. Aku juga ingin hamil seperti Kirana. Kenapa wanita seperti dia bisa diberikan amanah sedangkan aku tidak? Dari penampilannya saja perempuan itu sangat tidak cocok menjadi ibu. Astaghfirullah, padahal itu kehendak Allah. Ia maha mengetahui dan tahu yang terbaik untuk hambanya, aku tak boleh iri, tak boleh! "Kamu juga tespek, Yang, gimana kalau hasilnya positif, semalam 'kan kamu mual-mual," sahut Mas Lutfi. Jujur aku tak percaya diri, gimana kalau hasilnya negatif? Mungkin seumur hidup aku akan trauma menggunakan benda itu. "Dicoba 'kan ga ada salahnya, kalau negatif juga ga apa-apa, mungkin belum rezeki." Mas Lutfi nyerocos lagi sambil mengumpulkan cangkang kuaci, dia tidak tahu saja bagaimana perasaanku ketika melihat alat tes kehamilan, jangankan dipakai melihatnya saja sudah takut duluan. * Setelah mandi aku menstarter motor hendak ke minimarket beli alat tes kehamilan, sepanjang jalan aku deg-degan padahal di tes saja belum, beginilah mentalku. Sementara Mas Lutfi sedang keluar mengurus pabrik cabang barunya, kali ini ia lebih banyak turun tangan karena belum menemukan orang yang bisa diandalkan, jadi terpaksa aku selalu sendirian. "Kamu ngapain beli tespek?" Ada seorang lelaki bertanya dari arah belakang. Sial, dia Mas Hanif ternyata, tapi untung tidak sama Kirana, setidaknya mentalku yang sedang lemah kali ini sedikit aman jika tidak ada perempuan itu. "Ya ... emang kenapa? masalah?" jawabku jutek. Abisnya sebel kalau lihat wajah dia, ingin kulempar saja pakai sendal kalau ingat semua kelakuannya hingga membuatku trauma. Mas Hanif terbahak lalu menggelengkan kepalanya, dasar orang gila, ketawa ga jelas. "Kamu ingat 'kan hasil pemeriksaan beberapa tahun lalu hasilnya apa?" tanya Mas Hanif, kali ini tawanya sudah mereda, hanya seringainya yang nampak. Iya aku sangat ingat, dia bilang kalau aku mandul dan kecil kemungkinan punya anak, duh aku jadi minder, jadi tidak ya beli tespeknya? Ternyata Mas Hanif dan Kirana sama saja. "Ga ada yang ga mungkin bagi Allah!" tegasku lalu jemari ini memasukkan alat tes kehamilan yang semula kugenggam ke dalam keranjang, ingat kata Mas Lutfi saja, dicoba dulu kalau hasilnya negatif ya coba lagi. "Tapi tes itu bener loh, Ris. Lihat aja Kirana sekarang sudah hamil, padahal ia baru beberapa bulan lepas KB. Lah kamu, selama lima tahun kita nikah buktinya ga hamil juga, padahal 'kan kamu ga pernah KB." Jujur perkataan lelaki itu nyelekit sekali, mataku sudah menghangat ingin menangis, tapi kutahan takut dikira lemah oleh b*j*ngan ini, dia akan semakin puas jika melihatku menangis. "Kaya juga percuma kalau ga punya keturunan," lanjutnya lalu ia jalan dengan congkaknya di hadapanku, oh Tuhan rasanya sakit sekali hatiku mendengar kata-kata itu, tidak bisakah sekarang kita berdamai saja seperti seorang teman? Hati ini menjerit pada yang Maha Kuasa, meminta keadilan agar bisa membungkam kesombongannya. Di rumah kupandangi alat tes kehamilan seharga lima ribu rupiah itu, dengan tatapan kosong dan fikiran melayang-layang. Ucapan Mas Hanif barusan seakan menerorku, membuatku jadi ragu untuk menggunakan benda itu. "Kok dilihatin aja tespeknya?" tanya Mas Lutfi, ia baru pulang dari pabrik. "Ah engga kok." Aku mengulurkan tangan ingin salaman. "Terus kenapa ga dipake tespeknya? emang kalau dilihatin aja bisa kelihatan hasilnya?" tanya Mas Lutfi ngeselin, aku yang sedang bete jadi tersenyum karenanya. "Ya besok di tesnya, Mas, pagi-pagi pas kencing pertama." Aku mendelikkan mata. "Oohh." "Mas, aku belum masak, ga apa-apa 'kan?" tanyaku dengan perasaan tak enak. "Ini pasti dari tadi ngeliatin tespek terus nih, makanya ga masak." Mas Lutfi terkekeh. Kok dia tahu sih, dasar nyebelin! Tapi untungnya dia baik hati dan tidak sombong. "Ah siapa bilang." "Kamu kenapa sih kok bete?" tanya Mas Lutfi sambil meletakkan wajahnya di pundakku, embusan napasnya tercium dan membuatku kembali merasa mual. Hoekk! "Ih sana, Mas, jangan deket-deket bau." Aku menjauhkan diri sambil memencet hidung. "Yaelah, Mas 'kan udah sikat gigi, Yang, gigi Mas udah bersih kok," sanggahnya "Tapi masih bau!" umpatku sambil cemberut. "Ya sudah besok Mas sikat giginya pake sikat kamar mandi, biar bersih, biar ga bau." Ia terkekeh, aku pun jadi ikutan tertawa. Candaan recehnya mampu menghilangkan bete yang semula kurasa. "Sekalian siram karbol, Mas, biar wangi," timpalku sambil tertawa pula. "Buset dah, dikira mulut mas ini kloset apa." Kami pun tertawa bersama. Keesokan harinya. Sebelum salat subuh aku ke kamar mandi, menampung urine dalam wadah kecil, sedangkan Mas Lutfi menunggu di luar tak sabar ingin melihat hasilnya segera. Dengan d**a deg-degan aku mencelupkan benda kecil itu ke dalam wadah, menunggunya beberapa saat. Beberapa detik kemudian, urine dalam wadah kubuang ke kloset, pandangan ini fokus pada benda kecil nan pipih yang kugenggam. "Gimana hasilnya, Yang?" tanya suamiku, maen masuk aja padahal sudah kusuruh nunggu di luar. Pandanganku kini tertuju lagi pada benda pipih itu, ternyata hasilnya? "Garis satu," ucap Mas Lutfi, aku menengadah merasa kecewa. "Tapi kok ini ...."
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN