CHAPTER 6 – TRY TO BE HAPPY
M I L L I E
Aku lagi-lagi membelalak takjub. Nick memilih Apeiron Island Hotel sebagai tempat menginap untuk merayakan momen ‘bulan madu’ kami. Hotel ini berada di tengah laut dan kami harus menggunakan boat atau helicopter untuk mencapainya. Oh! Mungkin bukan Nick yang memilihnya, melainkan Kakek Ricthie.
Tapi aku tidak peduli siapa yang memilihkan hotel ini. Yang jelas, aku cukup merasa terhibur. Setidaknya, aku bisa menikmati keistimewaan yang ditawarkan oleh tempat ini selagi Nick bersenang-senang dengan Julia nanti.
Kamar tempat kami menginap beratapkan kaca tembus pandang. Atap kaca ini mencapai setengah dinding seluruh kamarnya, membuatku bisa menikmati keindahan pemandangan bawah laut berupa terumbu karang serta berbagai jenis ikan. Terdapat sebuah tempat tidur yang cukup besar di tengah ruangan dan jacuzzi terbuka di sisi lain ruangan yang kupikir dimaksudkan agar tamu dapat menikmati pemandangan sambil berendam air hangat di dalam kamar. Aku akan menganggap keindahan ini sebagai surga dunia yang nyata.
“Please call me if you need something, Mr. and Mrs. Darren,” ujar laki-laki berseragam yang mengantar kami sampai ke kamar dan membantu membawakan beberapa barang.
“Ok, thanks,” ucap kami bersamaan.
Aku sedang menikmati keindahan yang sempurna bak negeri dongeng dan berada di dalam sebuah kamar bawah laut. Aku bisa mengunjungi lantai 28 untuk melihat hutan kupu-kupu dan serangga lainnya. Hotel ini memiliki sebuah art gallery di mana aku bisa menikmati keindahan karya seni di galeri tersebut kapan pun aku mau. Atau bisa menonton film kapan saja saat aku merasa bosan, karena mereka memiliki sebuah gedung bioskop di lantai yang lainnya. Aku juga bisa berbelanja di toko-toko yang menawarkan merek-merek terkenal menggunakan kartu kredit pemberian Kakek Ritchie. Aku bisa memanjakan diri dengan melakukan relaksasi di underwater spa & gym atau makan di restoran bawah air. Aku yakin bisa menikmati waktu sendiriku dengan bersantai di private lagoons atau berenang di pantai. Walaupun aku tidak keluar dari hotel ini, kurasa aku bisa merasa puas hanya dengan mengeksplornya.
"Please call me if you need something Mr and Mrs Darren," ujar pegawai hotel tersebut dengan ramah.
"Ok, thanks!" sahut kami bersamaan
Petugas laki-laki berseragam itu pergi setelah meletakkan koper kami di sudut ruangan dan menerima sejumlah uang dari Nick. Kemudian Nick menelepon seseorang dan berbicara cukup lama dengannya. Orang itu mungkin Julia, karena kulihat dia berusaha menghindar dariku dan memilih untuk berdiri cukup jauh di seberang ruangan.
Julia. Hanya wanita itu yang ada di hati dan pikirannya saat ini.
Saat kami masih berada di dalam pesawat, kukatakan kepada Nick bahwa aku memahami keputusannya mengajak Julia dalam perjalanan bulan madu kami, padahal yang sebenarnya terjadi adalah aku sangat kecewa kepadanya.
Tidak bisakah dia hidup sementara tanpa Julia? Dia tidak akan hidup selamanya denganku, kan?
Ups, maaf, dia tidak akan hidup selamanya denganku karena dia tidak ingin menghabiskan sisa hidupnya bersamaku. Jadi, tidak bisakah Nick sebentar saja menjauh dari Julia dan selama beberapa hari mencoba membuatku senang? Lagi pula, kami hanya akan berada di Dubai selama beberapa hari saja. Setidaknya, dia harus membayar di muka untuk kehidupan menyedihkan yang akan kulalui selama menjadi istrinya dalam bayang-bayang Julia.
Oh Millie, ayolah! Berhenti memikirkan semua itu karena kau hanya akan menyakiti dirimu sendiri. Bersenang-senanglah. Nikmatilah kemewahan ini. Dan biarkan Julia memiliki Nick. Kau hanya perlu... sial! Aku tidak bisa.
Lihatlah, semua kemewahan ini tidak bisa membantuku menghapus bayangan tentang kebersamaan Nick dan Julia nanti.
"Hanya ada satu tempat tidur, tapi, aku rasa ini cukup besar," gumamku pelan, tapi sepertinya Nick mendengar.
"Aku bisa tidur di sofa….” Dia menunjuk sofa yang ada di kamar kami, “itu cukup besar dan terlihat nyaman," katanya.
“Ya tentu saja,” kataku.
Lalu ponselnya berdering lagi dan dia menjauh lagi untuk menjawab telepon tersebut. sementara aku kembali menikmati suasana kamar yang akan kutempati beberapa hari ke depan. Aku bahkan tersenyum padanya sambil berusaha sekuat tenaga menyembunyikan kekecewaan dan mungkin rasa sakit yang muncul begitu saja di hatiku. Ini adalah bulan maduku, tapi suamiku memilih menghabiskan waktu atau b******a dengan wanita lain. Ya Tuhan Millie! Sadar! Ini hanya bulan madu formalitas saja, bukan sungguhan! Batinku mengingatkanku lagi.
“Millie.”
Aku tersentak kaget. Berkali-kali aku memperingatkan diriku untuk mengabaikan apa pun yang akan dilakukan Nick bersama Julia, tetapi selalu gagal. Sekarang, laki-laki itu malah menangkap basah diriku yang sedang melamun. Tetapi, aku bersyukur dia tidak bisa membaca pikiran dan isi hati orang lain.
“Ada apa?” tanyaku.
“Aku harus pergi…,” ujarnya dengan mimik bersalah, “tapi jangan khawatir, kau tetap bisa menikmati fasilitas yang ada di hotel ini bersama Ryan, dia yang akan menemanimu ke mana pun kau mau pergi,” katanya, seakan-akan semua masalah selesai hanya karena dia telah menugaskan orang lain untuk menggantikannya menemaniku.
Tidak, semua ini tidak sempurna.
Aku menghela napas berat. “Baiklah,” sahutku pendek, kemudian memilih untuk berpura-pura membaca brosur tur yang diberikan oleh Nick tadi.
Aku tahu dia masih menatapku. Dan aku bisa merasakan matanya belum beralih dariku yang kini sedang duduk di sofa, melanjutkan kebohongan dengan terus berpura-pura membaca jadwal perjalanan yang ada dalam brosur tersebut, padahal sebenarnya sedang memikirkan tentang dirinya dan Julia.
Mulai hari ini, aku ingin menjalani hari yang sibuk dan menyenangkan. Akan ada banyak tempat yang kukunjungi, menikmati fasilitas hotel dan juga Dubai—walaupun tanpa Nick, suamiku—melainkan bersama Ryan. Itu jauh lebih baik daripada harus berjalan-jalan sendirian. Setidaknya, aku akan memiliki teman mengobrol. Benar, kan?
Aku melihat sekilas ke arah Nick yang masih sibuk memainkan ponselnya. Baiklah, kehidupanku yang penuh kejutan sudah dimulai ketika beberapa menit kemudian aku melihat Nick sudah berganti pakaian dan tampaknya siap untuk segera menemui Julia—kekasihnya. Aku berusaha sebisa mungkin untuk bersikap wajar dengan tidak bertanya macam-macam walaupun sebenarnya ada banyak hal yang ingin kuketahui. Aku ingin tahu apa saja rencana kegiatannya siang ini, ke mana dia dan Julia akan pergi, apa saja yang akan dilakukannya dengan Julia seharian, dan sebagainya.
“Aku harus pergi sekarang, Millie. Ryan akan menjemputmu lima belas menit lagi untuk menemanimu sarapan. Dan aku sudah memintanya untuk membawamu berkeliling hotel atau ke mana pun yang kau inginkan.”
Aku hanya melihatnya sekilas lewat cermin di hadapanku.
“Oh, ya, kau tahu Ryan, kan?” Nick memandangku sekilas. “Kau bertemu dengannya tadi malam, dia pilot pribadiku. Di luar hubungan profesional, kami juga berteman sangat baik. Jadi, kau tidak perlu khawatir karena dia sangat bisa dipercaya,” imbuhnya.
Nick mengatakan semua itu seakan-akan tanpa beban. Kupikir, tidak seorang laki-laki pun di dunia ini yang rela jika istrinya bersama laki-laki lain. Kenyataannya, Nick justru memercayakanku, istrinya, kepada laki-laki lain di saat kami seharusnya menikmati saat-saat berdua sebagai sepasang suami istri.
Tapi ini kan berbeda Millie!
“Oke,” jawabku datar. Aku tidak bisa menjelaskan apa yang kurasakan sekarang. Yang jelas, aku merasa momen ini tidak akan menjadi momen yang indah untuk kukenang.
“Semoga harimu menyenangkan,” ucap Nick. Senyumnya tersungging tulus.
Tulus. Bisa kaubayangkan itu?
Dia tersenyum tulus kepada istrinya yang sepanjang hari ini akan ditemani oleh laki-laki lain, lalu pergi meninggalkanku tanpa menoleh sekalipun. Dia bahkan tidak meminta maaf karena memilih bersama wanita lain dan meninggalkanku seperti ini.
Astaga! Aku tidak tahu jika rasanya akan sesakit ini. Air mataku yang menggenang pada akhirnya pun luruh saat Nick keluar dan menutup pintu. Aku meninggalkan kursiku di depan cermin dan meringkuk di sofa. Aku merasa bodoh karena menangisi rasa sakit hatiku. Tidak seharusnya aku bersedih sebab kenyataannya inilah perjanjian yang sejak awal kami sepakati.
Aku terus menangis sampai saat aku mendengar bunyi bel pintu. Aku yakin itu Ryan—utusan Nick. Dan aku sengaja membiarkannya menunggu selagi aku mencoba menenangkan diri. Aku berjalan ke cermin untuk memastikan sudah tidak ada bekas air mata di wajahku sebelum akhirnya berjalan menuju pintu dan membukanya.
“Selamat pagi, Mrs. Darren,” sapa laki-laki tampan yang berdiri tegak di hadapanku sambil tersenyum. “Perkenalkan, nama saya Ryan. Mr. Darren meminta saya untuk menemani Anda sarapan dan ke mana pun Anda mau pergi.”
“Selamat pagi,” balasku lalu tersenyum singkat. “Aku tahu. Nick sudah memberitahuku bahwa kau yang akan menemaniku hari ini.”
“Anda sudah siap?” tanyanya. “Bagaimana kalau kita turun sekarang untuk sarapan?”
“Beri aku waktu lima menit,” kataku. “Aku tidak mungkin pergi seperti ini,” kataku sambil menunjuk diriku sendiri.
Ryan mengamatiku sesaat, kemudian tersenyum lebar. Dia tidak sadar bahwa aku belum berganti pakaian yang kupakai dari tadi malam masih melekat di tubuhku. Ryan mempersilakanku untuk menggantinya. Kubiarkan dia menungguku di luar selagi aku berdandan memperbaiki penampilan, memoleskan bedak tipis di wajahku dan mengolesi bibirku dengan lipstick berwarna pink. Sesuai janjiku kepada Ryan, aku muncul di hadapannya tepat lima menit kemudian.
“Silakan, Mrs. Darren,” katanya, mempersilakanku untuk melewatinya.
Aku mengangguk sebagai ucapan terima kasih. “Nick bilang, kau dan dia berteman baik.”
Ryan tersenyum tipis. “Di luar hubungan profesional… ya,” jawabnya sopan.
“Kalau begitu, kau tidak perlu bersikap formal kepadaku.” Aku menatapnya sekilas. “Dia memintamu untuk menemaniku, bukan mengawalku.”
Ryan terlihat bingung selama beberapa detik. Kemudian, saat dia memahami maksud ucapanku, dia tersenyum. “Baiklah, aku akan bersikap sebagai temanmu, Mrs. Darren.”
“Teman-temanku tidak memanggilku Mrs. Darren,” tukasku. “Mereka memanggilku Millie.”
***
Aku dan Ryan sedang berada di Marina Dhow Cruise untuk makan malam setelah menikmati waktu sepanjang hari dengan berjalan-jalan di beberapa tempat wisata. Marina Dhow Cruise ini merupakan sebuah restoran yang berada di atas kapal yang mengitari marina kurang lebih selama dua jam. Restoran ini menyajikan makanan khas Timur Tengah dan membuatku sangat antusias karena aku yakin ini akan menjadi pengalaman pertama yang mengesankan..
Sebelumnya, Ryan mengajakku mengunjungi Burj Khalifa, sebuah menara tertinggi di dunia. Menara yang dibangun di tengah padang pasir ini adalah tempat yang paling cocok bagi wisatawan yang ingin melihat pemandangan Dubai dari ketinggian. Setelah itu kami mengunjungi Dubai Fountain, masih di Burj Khalifa. Dubai Fountain adalah air mancur terbesar di dunia, bisa meluncurkan air setinggi lima ratus kaki. Aku tidak henti-hentinya berdecak kagum saat menyaksikan semuanya.
Ryan adalah teman yang menyenangkan, Aku tidak bisa memungkiri kenyataan bahwa dia adalah laki-laki yang tampan dan menarik. Beberapa wanita sempat terlihat mencuri pandang ke arahnya. Dengan tubuhnya yang atletis, pembawaannya yang selalu riang, penuh humor, berwawasan luas, dan merupakan seorang pendengar yang baik. Dia bukan tipe orang yang membosankan dan aku senang karena telah memutuskan menikmati Dubai hari ini, bukan fasilitas hotel. Walaupun seharusnya kegiatan ini kulakukan bersama Nick, tapi menerima tawaran Ryan untuk berjalan-jalan keluar hotel bersamanya, ternyata lebih menyenangkan.
Ryan melakukan ‘tugasnya’ dengan baik. Dia menemaniku, menjagaku, dan dia bersikap melindungiku. Aku memintanya untuk menganggapku sebagai teman dan dia bertindak sebagai seorang teman. Hari ini merupakan pertemuan pertama kami, tetapi aku merasa nyaman berada di dekatnya seolah-olah kami sudah saling mengenal sejak lama.
“Sejak kapan kau menjadi pilot pribadi Nick, Ryan?” tanyaku kepada Ryan yang kini duduk di hadapanku, terpisah oleh sebuah meja bundar yang di tengah-tengahnya terdapat sebatang lilin berwarna merah yang menyala.
“Sekitar tiga tahun,” jawab Ryan. “Aku lulus dari sekolah penerbangan lima tahun yang lalu, kemudian setelah tandem selama kurang lebih dua tahun, Nick memintaku menjadi pilot pribadinya.”
Aku mengangguk-angguk mengerti. “Kau sangat dekat dengan Nick?”
“Cukup dekat sehingga bisa tahu semua hal tentang dirinya,” jawabnya, ambigu.
“Kalau begitu,” aku melihat Ryan sekilas, “kau pasti tahu tentang Julia.”
“Mm, ya.” Ryan terlihat ragu. “Aku tahu sedikit tentangnya.”
“Kau mengenalnya?”
“Tidak mengenalnya dengan begitu baik.”
Mendengar jawaban Ryan, mendadak aku merasa tidak nyaman. Itu artinya, semua orang mengenal Julia, kecuali aku. “Kenapa kau membiarkan Nick pergi menemui Julia?” cetus Ryan, tiba-tiba.
Aku melihat kedua matanya menatapku dengan cara yang aneh. Oh, aku tidak berharap dia mengasihani diriku. “Sepertinya, dia sangat mencintai Julia,” kataku, berusaha agar terlihat tak peduli. “Apakah menurutmu Julia juga mencintainya?”
Ryan menatapku ragu. Aku tahu, dia sedang berpikir tentang apakah dia seharusnya berkata jujur atau berbohong kepadaku untuk menjawab pertanyaan itu. Entah Julia sungguh-sungguh mencintai Nick atau tidak, tetap tidak akan ada bedanya, karena kenyataannya Nick mencintainya.
“Aku tahu Nick menikah denganmu karena keinginan kakeknya,” ujar Ryan. Aku tidak tahu apakah dia tahu mengenai pernikahan kontrak yang kujalani bersama Nick atau tidak, aku juga tidak berani bertanya.
“Benar,” sahutku, tersenyum getir. “Sudah jelas bahwa dia menikahiku bukan karena dia mencintaiku.”
“Apakah aku boleh memberimu saran?” Ryan tersenyum.
“Tentu.”
“Lupakan tentang Nick dan Julia. Sekarang adalah saatnya untukmu bersenang-senang. Nikmatilah perjalananmu, Millie. Bersenang-senanglah.” Senyum Ryan semakin lebar dan memperlihatkan deretan giginya yang putih.
“Itulah yang kuinginkan,” sahutku, tersenyum. “Aku mendapatkan kesempatan ini pertama kali dalam hidupku. Kenapa aku harus menyia-nyiakannya? Benar, kan?”
Ryan menjentikkan jarinya. “Gadis pintar!” serunya.
Aku tersenyum. “Katakan kepadaku,” ucapku, “apa kau punya kekasih?”
Ryan tertawa mendengar pertanyaan yang kuajukan kepadanya, kemudian menggeleng. “Aku termasuk pria pemilih dan tidak semenarik Nick, Millie.”
“Oh, jangan konyol, Ryan!” sergahku, tidak percaya dengan apa yang baru saja kudengar darinya. “Kau orang yang sangat menyenangkan. Hanya gadis bodoh yang tidak tertarik kepadamu.”
“Itu cukup menghiburku,” katanya sambil terkekeh. “Kalau begitu, aku akan menganggap semua gadis di dunia ini bodoh. Terima kasih.”
“Kecuali aku,” tukasku.
Kedua alisnya meninggi sambil menatapku. “Kalau begitu, apakah kau tertarik kepadaku?”
“Apakah aku harus menjawab jujur?”
“Tentu saja.”
“Baiklah, aku akan berkata jujur,” ujarku. “Menurutku, kau pria yang baik dan menyenangkan. Kau bukan tipe membosankan yang akan membuat para gadis menghindarimu.”
“Kau baik sekali,” balas Ryan, tulus.
“Kau hanya perlu menunggu waktu yang tepat,” ucapku. “Suatu hari nanti, kau akan menemukan seseorang yang tepat untukmu.”
Ryan tersenyum.
Kami sedang membicarakan tentang sosok wanita idaman Ryan saat ponselnya yang diletakkan di atas meja berbunyi.
“Nick,” katanya, memberitahuku setelah membaca nama yang muncul di layar ponselnya. Aku memberikan isyarat kepada Ryan, mempersilakannya untuk menjawab telepon.
Dia berbicara dengan Nick di telepon selama beberapa saat dengan sesekali melihat ke arahku. Sementara itu, aku tidak melakukan apa-apa selain mengaduk-aduk makanan di piringku karena dalam sekejap selera makanku hilang. Setelah beberapa saat berlalu, Ryan memutus sambungan telepon dan kembali meletakkan ponselnya di atas meja.
“Ada apa?” Aku bertanya setelah menangkap keanehan di dalam caranya menatapku.
“Aku tidak tahu bagaimana caranya untuk mengatakannya kepadamu,” kata Ryan, pelan.
“Tentang apa?”
“Nick.”
“Dia baik-baik saja, kan?” tanyaku, sedikit cemas.
Ryan mengangguk. “Ya, dia baik-baik saja,” jawabnya. Ryan terlihat tidak nyaman. Aku menatapnya tanpa berkedip karena aku merasa dia masih memiliki sesuatu untuk dikatakan. “Millie, Nick tidak akan kembali ke hotel malam ini.”
***