CHAPTER 9 - DECISION

1462 Kata
CHAPTER 9 - DECISION R Y AN Aku senang bisa membuatnya tersenyum. Millie dan aku memang belum pernah bertemu sebelumnya, tetapi aku pernah mendengar tentangnya sekilas dari Nick. Aku mengagumi prinsipnya. Sebagai anak angkat Kakek Ricthie, dia tidak pernah mengandalkan hartanya sedikitpun. Nick mengatakan bahwa Millie adalah anak dari pengawal pribadi ayahnya yang meninggal saat berusaha menyelamatkannya dari perampok yang membobol rumah peristirahatan keluarganya saat mereka sedang berlibur belasan tahun lalu. Karena peristiwa tersebut, Mr. Ritchie merasa berutang budi pada ayah Millie sehingga memutuskan untuk merawatnya dan sudah menganggapnya sebagai bagian dari keluarga. Yang membuatku heran, bagaimana bisa Nick sama sekali tidak tertarik kepadanya?  Wanita itu begitu cantik, mandiri, menyenangkan, dan memiliki senyum yang manis. Dia juga memiliki sepasang mata almond yang indah. Aku ingin menyalahkan Nick yang telah bersikap bodoh dengan mengabaikan wanita secantik dan sebaik Millie, tetapi aku sadar bahwa kita tidak pernah bisa memaksakan perasaan orang lain. Kita tidak bisa mengatur siapa akan jatuh cinta kepada siapa, begitu juga sebaliknya. “Ryan?” Suara Millie menyentakkanku dari lamunan. “Eh? Ya, Millie?” “Apakah kau tahu sebuah tempat yang menarik untuk dikunjungi saat malam hari?” Aku terdiam sejenak, berpikir. “Kau sekadar ingin jalan-jalan atau belanja? “Aku tidak suka belanja, tapi mungkin aku bisa beli sedikit oleh-oleh untuk Kakek Ritchie dan beberapa temanku.” “Kalau begitu, setelah ini kita ke Naif Market. Kau bisa jalan-jalan sekaligus belanja oleh-oleh di sana.” Millie mengangguk. Dia begitu bersemangat menghabiskan makanannya, tampak tidak sabar untuk segera pergi ke Naif Market. Terkadang, aku heran pada orang-orang yang bisa merasa bahagia hanya karena sesuatu yang sederhana, seperti Millie. Dua hari menghabiskan waktu bersamanya, aku selalu melihatnya bahagia untuk hal-hal kecil yang sering kali kuanggap remeh. Dia selalu menghargai hal-hal kecil yang ditemuinya. Kemarin, saat kami mengunjungi Dubai Fountain, dia terlihat begitu bahagia melihat air mancur yang meluncurkan air setinggi ratusan kaki. Bagiku, itu bukan sesuatu yang istimewa karena air mancur seperti itu bisa ditemukan di mana saja. Tetapi, baginya, Dubai Fountain merupakan sesuatu yang istimewa. Dia tertawa bahagia saat mengamati air yang meluncur tinggi di hadapannya. Dia tak henti-hentinya memekik histeris mengagumi pemandangan di hadapannya saat itu. Saat aku menegur tingkahnya yang kuanggap terlalu kekanak-kanakan, Millie dengan santai membalas, “Kau akan lebih mudah merasa bahagia kalau kau bisa menghargai hal-hal kecil yang menurut orang lain adalah sesuatu yang remeh, Ryan.” “Kau sudah selesai?” tanya Millie kemudian mengusap sudut bibirnya menggunakan serbet. “Bagaimana kalau kita pergi sekarang?” “Dengan senang hati, Millie. Ayo.” Kami meninggalkan restoran menuju ke dermaga untuk menyewa sebuah boat sebagai satu-satunya transportasi menuju ke Naif Market yang berada di daratan seberang—apakah aku sudah menjelaskan bahwa hotel tempat kami menginap berada di tengah laut? Kami berdua berdiri di dek dan aku melihat Millie menikmati pemandangan taburan bintang di langit yang membentang di atas kami. Rambutnya yang digerai tertiup angin. Beberapa helai dengan nakal menutupi pandangannya sampai membuat Millie sesekali harus menyibaknya. Aku bahkan tidak sadar sudah memperhatikannya terus sejak tadi. Sesampainya kami di daratan, aku mendengar Millie tak henti-hentinya berdecak kagum melihat pemandangan Dubai di malam hari. “Dari yang kudengar, tempat ini menjual barang-barang branded dengan harga miring,” bisikku ketika kami tiba di Naif Market. Millie menganggukkan kepalanya seraya mengedarkan pandangannya.Tempatnya cukup ramai sehingga aku memutuskan untuk semakin mendekat padanya agar lebih mudah mengawasinya. “Ada apa?” tanyanya, bingung. “Tempat ini terlalu ramai,” sahutku. Aku bicara serius, tetapi Millie malah tertawa. “Aku tidak akan hilang, Ryan... jadi kau tenang saja,” cetusnya. “Aku, kan, bukan anak kecil.” Aku mendengkus. “Kalau ternyata nanti kau menghilang, apa yang harus kukatakan pada Nick? Aku tidak mau mati di tangannya,” tukasku, asal. “Itu tidak mungkin terjadi,” Millie membalas tak acuh dengan tampang sinis. “Tapi, kalau Julia yang hilang, itu mungkin saja.” Aku baru saja hendak membalasnya saat seorang pria berbadan besar menabrak tubuh wanita itu sampai-sampai membuatnya terhuyung dan nyaris terjerembap. Untung saja, Millie secara refleks menahan dirinya ke dinding di sampingnya sehingga dia tidak sampai tersungkur di lantai. “I’m sorry,” ucap pria yang menabraknya. Dia meminta maaf, tetapi tidak sedikitpun kulihat raut penyesalan di wajahnya. “It’s okay.” Millie mengangguk. “Kau tidak apa-apa?” tanyaku, cemas. “Aku baik-baik saja.” Millie tersenyum. “Kemarilah.” Aku meraih tangan Millie dan menggenggamnya. “Sudah kubilang, di sini terlalu ramai. Begini lebih aman.” Millie tertegun. Dia memandangi tangannya yang kini berada dalam genggamanku selama beberapa saat. Dia tidak protes, tetapi juga tidak terlihat menerima perlakuanku yang mungkin dinilainya posesif tidak pada tempatnya. Kami berjalan menyusuri lorong pasar yang penuh wisatawan. Sesekali kami berhenti di beberapa toko berbeda untuk melihat-lihat. Millie belum menentukan akan membeli apa untuk dijadikan sebagai oleh-oleh, jadi kami melihat-lihat dari satu toko ke toko lainnya. Setelah selama hampir satu jam menjelajahi beberapa toko, Millie memutuskan untuk membeli beberapa barang-barang unik khas Dubai untuk diberikan kepada teman-temannya sebagai oleh-oleh. Dia membeli cokelat berbentuk unta, beberapa pashmina, juga Arabicattars, wewangian khas arab. “Apakah kau sudah mendapatkan semua yang kaubutuhkan, Nyonya?” tanyaku, terkekeh. Millie ikut tertawa. “Kurasa, semua ini sudah cukup, Tuan. Sepertinya, koperku akan penuh dengan barang-barang ini,” ujarnya. “Tempat apalagi yang ingin kaukunjungi besok, Millie?” tanyaku. “Aku akan mengantarmu.” “Aku akan memikirkannya dan aku akan mengabarimu nanti.” Millie tersenyum. “Kalau kau ingin pergi ke suatu tempat atau butuh teman mengobrol, telepon saja aku,” ucapku. “Baiklah, Ryan.” Millie tersenyum. “Terima kasih.” Aku memperhatikannya. Tidak tahu apakah saat ini perasaannya sudah lebih baik atau dia hanya berpura-pura untuk menutupi yang sebenarnya. Aku tahu sesuatu telah terjadi saat melihatnya menangis tadi. Aku tidak bertanya secara langsung kepadanya, tetapi entah mengapa aku sangat yakin alasan dia menangis tadi ada hubungannya dengan Nick Darren br3ngsek itu. Kami mendengar suara dering ponsel yang berasal dari dalam tas Millie. Dia merogoh ke dalam tas untuk mengeluarkan telepon selularnya lalu melihat sekilas pada layar, kemudian dengan sikap tak acuh menunjukkannya kepadaku. Nick yang meneleponnya. Aku mengangguk padanya, memberi isyarat agar dia segera menjawab panggilan suaminya itu. Namun, Millie malah menggelengkan kepalanya dan membiarkan ponsel tersebut tetap berdering tanpa berniat untuk menjawabnya. Dia malah kembali memasukkan ponselnya itu ke dalam tas. Kemudian kami kembali mendengar ponselnya beberapa kali berdering lagi setelah dering pertama yang diabaikan Millie tadi. Kali ini pun dia tetap tak mengacuhkannya. Tak berapa lama, ponselku juga berbunyi. Aku melihat ke arah Millie secara refleks karena kami sudah bisa menebak siapa yang menelepon ke ponselku sekarang dan dia hanya mengedikkan bahunya dengan tak acuh. Millie meninggalkanku dan memilih untuk melihat-lihat ke dalam salah satu toko sementara aku menjawab telepon dari suaminya itu—Nick. Aku menghela napas berat di akhir pembicaraanku dengan Nick. Dan, ketika aku berpaling pada Millie lagi setelah beberapa saat, aku melihatnya sedang berjalan ke arahku sambil menenteng kantong belanjaannya . “Nick bilang, malam ini dia akan menemani Julia,” kataku sungkan. Millie mengangguk. “Seperti yang sudah kita duga. Benar, kan?” sahutnya datar. “Ryan, aku agak lelah. Bisakah kita kembali ke hotel sekarang?” “Tentu saja.” Aku mengambil alih beberapa kantong belanjaan Millie dan menjinjingnya dengan satu tangan sementara tanganku yang lain kembali menggandeng tangannya. Kami berusaha cukup keras untuk bisa membelah lautan manusia di Naif Market. Aku tidak tahu Millie menyadarinya atau tidak, tetapi tangannya tetap berada dalam genggamanku hingga kami sampai di dermaga dua puluh menit kemudian. *** “Terima kasih banyak sudah menemaniku seharian ini, Ryan,” ucap Millie sesampainya kami di depan pintu kamar hotelnya. “Dengan senang hati, Millie. Kau istirahatlah.” Aku tersenyum. “Aku akan meneleponmu besok.” Millie mengangguk. “Sampai besok, Ryan.” “Sampai besok, Millie.” Aku melambai padanya. “Selamat malam.” “Selamat malam.” Pintu di hadapanku tertutup. Aku segera berbalik, hendak meninggalkan tempat itu dan kembali ke kamarku sendiri. Baru beberapa langkah aku berjalan, ponselku berbunyi. Aku melihat sebuah notifikasi pesan masuk dari Nick. [Bagaimana Millie? Apakah dia bersenang-senang?] [Kelihatannya begitu. Semoga saja bukan sekadar pura-pura.] Balasku cepat. [Kita akan pulang besok, Ryan dan cari jadwal tercepat. Kau persiapkan segala sesuatunya untuk besok untuk penerbangan kita ke Indonesia] [Bukankah kalian masih punya dua hari lagi di sini?] [Aku meminta perubahan jadwal penerbangannya  ke esok hari. Kau cari waktu terbangnya. Saat ini aku dalam perjalanan ke bandara untuk mengantar Julia kembali lebih dulu.] Aku menghela napas berat sambil berdecak. Jadi karena Julia maka Nick mengubah jadwal kepulangannya. Aku tidak habis pikir dengan tindakannya yang tergesa-gesa seperti sekarang ini. Seharusnya dia bisa menggunakan waktunya untuk menyenangkan Millie setelah Julia tidak ada di Dubai. Tapi tidak ada yang bisa kulakukan untuk menolak permintaannya sekarang. You are the bos, Nick. ***  
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN