Bab 1 - Pacar Pura-Pura

1500 Kata
“Dira, ada tugas tambahan untukmu.” “Siap, Tuan. Apa itu?” tanya Dira penasaran. “Malam ini kamu ikut aku ke pesta dan berpura-puralah menjadi kekasihku.” “Hah? Apa Tuan bilang?” tanya Dira yang mendadak merasa salah dengar. “Jadi kekasih Tuan?” “Hanya berpura-pura, Dira. Akting... Nggak sungguhan,” jelas Regas gemas. “Hmmm...” gadis itu mengatupkan bibirnya dengan dahi berkerut. “Satu jam lagi Wisnu akan datang membawakan beberapa gaun. Akan ada make up artist juga yang ikut bersamanya. Kamu harus segera bersiap-siap.” “Eh, sebentar... Tuan, ini kenapa saya harus pura-pura jadi kekasih Tuan?” tanya Dira yang masih bingung. “Lakukan saja, ini perintahku. Cepat cuci tangan dan masuk. Kita harus latihan menjadi pasangan untuk tampil malam ini.” “Tuan...” Dira masih menatapnya bingung. “Saya nggak berani main-main sama perasaan seperti ini.” “Ini kan hanya pura-pura, Diraaa...” ujar Regas mencoba bersabar. “Tapi meski pura-pura, saya....” gadis itu tampak ragu. “Saya seperti mengkhianati Bang Akbar.” “Hah?” Kini Regas yang tampak bingung. “Siapa itu Akbar? Pacarmu?” Dira mendadak tampak malu. “D-dia... Pria yang saya suka.” “Kalian pacaran?” tanya Regas. “Belum. Tapi saya suka dia,” ujar Dira malu-malu. Regas menarik napas dalam-dalam. “Lalu di mana dia sekarang? Kenapa kamu merasa seperti mengkhianati dia?” Kenapa kali ini Dira jadi sulit sekali diajak kerjasama? Regas benar-benar tak habis pikir. Padahal semula ia pikir ini akan mudah. Lagi pula cuma Dira yang bisa ia percaya untuk melakukan ini. “Bang Akbar sedang bekerja di luar kota. Tapi saat cuti, dia biasanya pulang.” “Bagus,” ujar Regas. “Kok bagus sih, Tuan?” tanya Dira tak terima. “Ya, bagus. Kamu belum pacaran sama dia, cuma baru sebatas suka. Dan dia juga sedang bekerja di luar kota, bukan sedang menunggu kamu pulang. Saat ini ada tugas penting yang kamu harus lakukan untuk membantuku.” “Tapi kalau pura-pura jadi kekasih, saya nggak bisa, Tuan. Saya benar-benar merasa seperti mengkhianati dia.” “Dira... Hanya berpura-pura jadi pasanganku nggak akan bikin kamu mengkhianati si Akbar-Akbar itu. Kamu kan kerja denganku. Kamu bilang ingin membantuku. Kali ini aku benar-benar butuh bantuan kamu karena cuma kamu yang bisa aku percaya untuk melakukannya.” “Tapi...” “Ini hanya akting, Dira. Akting... Kamu bilang pernah bercita-cita jadi artis kan? Anggap aja sekarang kamu sedang latihan jadi pemain film.” Dira menggigit bibirnya. “Tapi... saya nggak minat lagi jadi artis, Tuan. Saya sudah berubah pikiran.” “Hah?” Regas benar-benar selalu berhasil dibuat terkejut dengan ucapan gadis di hadapannya ini. “Jadi cita-cita kamu sekarang sudah berubah lagi? Cepat amat.” Dira mengangguk. “Iya, Tuan. Saya nggak berani bermimpi jadi artis. Saya sadar saya jelek. Wajah saya nggak bakalan laku.” Regas sebenarnya ingin tertawa, namun ia mencoba menahannya supaya tidak kehilangan wibawa. “Siapa yang bilang kamu jelek? Kalau kamu jelek, aku nggak akan minta kamu untuk jadi pacar pura-puraku.” “Wah, Tuan barusan muji saya cantik ya?” tanya Dira dengan mata berbinar. “Kamu lihat saja nanti diri kamu setelah di-make over. Sekarang ayo masuk, cuci tangan kamu, terus kita latihan sebagai pasangan.” “Tuan, saya kan belum bilang bersedia,” kata Dira, enggan beranjak dari tempatnya berdiri. “Kamu penyelamatku, Dira. Aku yakin kali ini kamu juga bisa menyelamatkanku dengan bersedia berpura-pura jadi pasanganku.” “Hubungannya jadi pasangan dan menyelamatkan Tuan apa?” Regas menarik napas. “Selama aku menghilang, pacarku malah bertunangan dengan sepupuku yang bernama Ramon.” “Ya ampun, nggak setia banget,” kata Dira terkejut. Regas mengangguk. “Nggak cuma itu, Dira. Ramon sangat membenci aku. Kamu tahu sendiri apa yang aku alami saat kamu menyelamatkanku bulan lalu kan? Itu kemungkinan besar adalah ulah Ramon dan ayahnya. Karena itu, aku nggak mau membuat Ramon merasa menang. Setelah berusaha membunuhku, dia juga merebut pacarku.” Dira mengangguk. “Jadi Tuan ingin membalas mereka dan memperlihatkan bahwa Tuan baik-baik saja ya?” “Ya, kamu bisa mengerti dengan cepat ya,” puji Regas. “Ayo, Tuan. Kita balas mereka. Ayo tunjukkan ke mereka kalau Tuan bisa move on dengan cepat!” Regas terkekeh. “Aku suka semangat kamu.” *** “Gini ya, Tuan?” tanya Dira cemas. Kini mereka sedang berada di depan cermin besar yang ada di mini gym penthouse Regas. Tangannya mengamit lengan pria itu, sementara mata mereka terpaku pada bayangan yang ada di hadapan mereka. “Iya, begitu,” Regas mengangguk. “Tapi jangan panggil Tuang dong, Dir. Panggil namaku aja.” “Nggak berani, Tuan. Kesannya kayak saya kurang ajar banget,” kata Dira menggeleng. “Regas. Ayo coba sebut namaku,” pinta Regas. Dira kembali menggeleng. “Nggak berani, Tuan.” “Dira, nggak ada orang pacaran manggilnya Tuan dan semacamnya. Kamu kalau mau akting harus totalitas dong.” “Tapi rasanya saya kayak kurang ajar banget, Tuan.” “Oke, kalau gitu kita ganti,” kata Regas. “Panggil sayang aja.” “Hah?” Dira terkejut dan langsung melepaskan gandengan tangan mereka. “Jangan kaget begitu, biasa aja,” kata Regas. “T-tapi, ya ampun....” Dira merasa malu dan langsung menggeleng. “Dira, ini cuma akting. Kapan lagi kamu bisa manggil pria tampan seperti aku dengan panggilan sayang,” kata Regas sekenanya. Ia sudah benar-benar lelah dengan segala penolakan Dira sejak tadi. Gadis itu terdiam, lalu tiba-tiba ia kembali meraih lengan Regas. “Iya ya, benar juga. Kapan lagi saya bisa pura-pura punya pacar ganteng.” “Hah?” lagi-lagi Regas dibuat terkejut dengan tingkah ajaib gadis ini. “Setelah saya pikir-pikir, ucapan Tuan ada benarnya. Kapan lagi saya bisa gandeng pria tampan dan manggil dia sayang,” ulang Dira. “Kamu nggak lagi merasa mengkhianati siapa itu namanya tadi, pria yang kamu taksir itu?” tanya Regas memastikan. “Nggak apa-apa, Tuan. Anggap aja saya lagi latihan sama Tuan sekarang. Praktik yang sebenarnya bisa saya lakukan sama Bang Akbar saat kami akhirnya bertemu lagi nantinya.” “Bagus, saya setuju dengan itu,” kata Regas senang. “Ayo kita coba lagi.” “Oke, Sayang,” kata Dira sambil mengeratkan pelukannya di lengan Regas. Bibirnya menyunggingkan senyum manis dengan mata berkedip-kedip genit. Kali ini, Regas yang kembali dibuat melongo. *** Cantik. Itu adalah kata pertama yang terlintas di benak Regas begitu Dira melangkah keluar dari kamarnya. Kinerja Wisnu, asistennya, memang benar-benar patut diacungi jempol. Entah dari mana dia mendapatkan make up artist dan gaun yang pas untuk Dira hanya dalam waktu kurang dari satu hari, namun berhasil mengubah gadis itu menjadi perempuan super cantik seperti saat ini. “Gimana, Tu-Sayang?” tanya Dira malu-malu. Perjanjiannya, mereka sudah harus mulai berakting seperti pasangan kekasih di hadapan siapa pun sejak siang tadi. Kecuali di hadapan Wisnu yang mengetahui semua rencana mereka. “Cantik banget kan, Bos?” ujar seorang pria kemayu yang sudah membuat Dira jadi super cantik malam ini. Namanya Edwin. Dira mengenakan gaun pesta sepanjang mata kaki berwarna peach berpotongan off shoulder. Potongan gaun itu tampak sangat pas di tubuhnya, membuat Dira tampak sangat elegan dalam balutannya. Rambut panjangnya juga digelung rapi di belakang kepala, membuat tengkuknya terekspos. Ia juga mengenakan heels setinggi tujuh centimeter untuk mengimbangi tinggi Regas. Dan dalam hati berdoa semoga tidak jatuh terjerembab karenanya. “Kerja bagus,” ujar Regas sambil mengangguk puas. “Oke, kalau begitu kita pergi sekarang ya. Sisanya Wisnu yang akan urus.” Regas mengulurkan tangan, sementara Dira meraihnya ragu-ragu. Setelah tangan mereka bersentuhan, Regas langsung menggenggamnya dan membawa Dira pergi. “Selamat berpesta. Semoga malam kalian menyenangkan,” seru Edwin dari belakang. “T-tuan, apa nggak apa-apa ninggalin Edwin dan asistennya sama Wisnu gitu aja?” bisik Dira saat mereka sudah berdiri di dalam lift. Regas menekan tombol lift, lalu menoleh pada Dira. “Jangan khawatir, Wisnu akan urus semuanya untuk kita. Saat ini yang harus kamu pikirkan adalah sikap kamu malam ini. Jangan sampai keceplosan. Ingat, kamu adalah kekasihku, jadi jangan panggil ‘Tuan’ lagi. Jangan kaku banget saat aku gandeng.” “O-oke...” ujar Dira yang mendadak gugup. “Rileks, Dira. Rileks... Pokoknya malam ini kamu cuma harus senyum dan terus gandeng tanganku. Kalau ditanya sudah berapa lama kita menjalin hubungan, kamu sudah tahu jawabannya kan?” tanya Regas untuk kembali memastikan. Dira mengangguk. “Sudah satu bulan. Seperti latihan kita tadi siang, kan?” “Iya,” Regas pun juga mengangguk. “T-tapi, sepatu ini rasanya tinggi sekali. Gimana kalau say-aku jatuh?” Dira masih sulit mengubah gaya bicaranya. “Perhatikan langkah kamu. Melangkahlah dengan pelan, jangan terburu-buru. Aku akan tuntun kamu,” kata Regas. “Oke...” Dira menarik napas. “Bagus, tarik napas dan embuskan. Kamu masih punya waktu beberapa menit untuk menyiapkan diri sebelum kita tiba di pesta tersebut.” Ucapan Regas barusan malah membuat Dira semakin cemas. Dalam hati ia berdoa, semoga saja dirinya tidak membuat kekacauan saat mereka tiba di pesta nanti. *** Bersambung....
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN