Melahirkan tanpa Suami!

1888 Kata
Uek! Uek! Tangisan lantang dari seorang bayi laki-laki bermata sipit dan memiliki kulit putih bersih. Terdengar jelas memenuhi ruangan dingin berpendingin dengan warna hijau yang menentramkan. Di atas tempat tidur dengan alas berwarna hitam, terbaring seorang wanita dengan tubuh mungil dan senyum getirnya. Wajahnya tampak ayu dibanjiri keringat. Dia adalah Davona. Wanita yang harusnya masih duduk di bangku sekolah menengah atas, akan tetapi impian dari kedua orang tuanya harus terkubur tatkala Davona diberhentikan dari sekolah dikarenakan ketahuan sedang mengandung 8 bulan. Beberapa waktu yang lalu. Dan mirisnya pria yang menghamilinya, menghilang dari peradaban. Tanpa jejak. “Selamat Dek Davona. Anaknya sudah lahir, jenis kelaminnya laki-laki. Tampan sekali,” ungkap Bidan Iis orang yang baru saja menolong Davona beberapa saat yang lalu. “Terima kasih Bu Bidan. Syukurlah anak saya selamat,” sahut Davona masih dengan wajah pucat dan napas yang terengah-engah. “Dek Davona kalau ada apa-apa langsung saja hubungi saya, jangan sungkan. Apa lagi seperti tadi itu, bahaya loh kalau sampai Dek Bona melahirkan sendiri.” “Saya malu Bu. Uang tabungan persalinan saya belum cukup, hanya ada 800 ribu rupiah.” “Nyawa tidak bisa dibayar oleh berapa banyak pun jumlah uangnya, Dek.” Davona hanya tertunduk malu mendengar pernyataan dari orang yang baru saja membantu dirinya menunda kematian. Sebagai seorang buruh cuci dan setrika pakaian, gaji Davona tidaklah banyak. Hanya cukup untuk menyambung hidupnya dan terkadang uangnya pun diambil sang suami. Pernikahan Davona dan suaminya, Derek baru berlangsung 2 bulan. Namun sayangnya, selama itu pula belum pernah Davona merasakan kehidupan rumah tangga. Status pada buku nikah saja yang ia terima. Akan tetapi Derek nyaris tak pernah ada untuknya. Hanya sesekali suaminya pulang. Itu pun hanya untuk makan dan berganti pakaian. “Dek, maaf ini loh, ya. Sebenarnya suaminya ke mana kok enggak pernah ada di rumah,” tanya Bidan Iis yang akhirnya bertanya secara langsung kepada Davona. Karena yang Beliau perhatikan semejak Davona dan Derek pindah ke wilayah mereka beberapa bulan yang lalu. Kehadiran Derek memang jarang sekali terlihat. “Suami saya dia berusaha cari kerja Bu Bidan, maklum kalau buruh harian lepas kadang sulit untuk pulang, kalau sedang dapat pekerjaan di tempat yang jauh,” sahut Davona selalu mencoba menutupi keburukan dari suaminya. “Oh begitu. Saya soalnya jarang banget lihat dia ada di rumah.” “Iya Bu Bidan. Dia memang jarang di rumah.” Setelah dirasa keadaan Davona baik-baik saja sang bidan pun pergi keluar ruangan bersalin. Davona meneteskan air matanya setelah pintu ruangan tertutup. Wanita dengan rona wajah pucatnya itu kini menangis tanpa suara. Begitu pedih derita yang harus dirasakan olehnya. Melaghirkan seorang diri tanpa sosok suami di sisinya. Sementara itu di tempat lain. Pada sebuah rumah sederhana dengan banyak tanaman yang tumbuh di halamannya. Terparkir sebuah sepeda motor dengan warna hitam. Dan pemiliknya sedang asyik b******u-rayu dengan sang pemilik rumah. Derek terlihat terbuai saat jari jemari wanita dengan rambut panjang, dan kulit sawo matang itu terlihat lincah menari di atas tubuh bagian atas perut Derek. “Abang apa enggak takut sama istrinya main ke sini terus?” ujar manja si wanita seraya bersandar pada d**a bidang Derek. “Untuk apa takut. Aku menikahi dia hanya demi ibuku yang meminta. Lagian kalau bukan karena aku mau menikah sama dia. Mana ada cowok yang mau menikahi dia!” sahut Derek dengan alis kiri terangkat ke atas. “Berarti Abang enggak cinta sama istri Abang itu?” “Boro-boro cinta! Lihat dia aja aku mau muntah!” Tawa si wanita terdengar sangat lantang. Davona tentunya sadar bahwa perlakuan suaminya sama sekali tidak mencerminkan gambaran seorang suaminya. Namun bagaimanapun ia masih terus berharap suatu saat suaminya akan menerima dirinya. Meski sulit baginya mencintai seorang pria yang teramat kejam. Namun Davona merasa bersyukur masih bisa menikah dengan sosok Derek. Bagaimana pun memang sudah lama dia mendambakan Derek. Semasa ia masih belum dekat dan dikenalkan dengan Derek. Davona sudah mengagumi Derek. Pertama kali ia melihat Derek pada saat, Davona ingin mengerjakan pekerjaan rumah dari sekolahnya. Dan di depan sebuah rumah ia melihat seorang pemuda tampan yang sedang bernyanyi sambil memetik gitar cokelat. Sejak saat itu Davona sudah menaruh hati pada Derek. Akan tetapi karena Davona memiliki cukup jauh jarak usia. Maka dia tidak berani berkenalan dengan pemuda itu, dan Davona memang sudah banyak mendengar akan latar belakang Derek yang cukup nakal. Derek juga sudah memiliki kekasih yang terkenal sangat cantik di desa mereka. “Ra, jangan tinggalkan aku,” ungkap Derek saat dia tengah terlelap dalam tidurnya di atas tempat tidur wanita yang sejak tadi menemaninya. “Gila, Bang Derek masih ngigau tentang Rania. Secinta itu, ya dia sama itu cewek. Tapi sayang banget kisah cinta mereka harus berakhir tragis. Dan kini, aku yang dulunya ditolak berkali-kali malah jadi tempat dia pulang,” ujar wanita yang bernama Ilmi. Merupakan seorang janda dengan anak satu. “Ra, Ra ....” “Abang kenapa?” “Kamu Mi. Aku mimpi Rania.” “Secinta itu, ya sama dia?” “Banget Mi. Dia satu-satunya cewek yang bisa bikin aku bertekuk lutut. Aku bahkan bisa stop make kemarin pas sama dia.” Ilmi hanya terdiam mendengar Derek berkata demikian. Seolah Derek tidak menghargai dirinya yang ada di sana dengan memuji sosok mantan kekasinya di depan Ilmi. Yang mana saat ini Ilmilah yang katanya menjadi pacar dari Derek, meski pria itu sudah menikah dengan Davona. Baik Davona maupun Ilmi tidak ada yang berhasil mendapatkan hati Derek. “Dia pasti lagi sama si janda muda itu, kapan kamu bisa melihat aku Bang Derek?” gumam Davona seraya memerhatikan layar telepon genggamnya. Tampaknya dia berharap sang suami menghubunginya. “Kenapa dia mau nikah sama aku kalau dia masih mau pacaran sama janda itu.” “Mama sama Papa kayaknya juga enggak akan jenguk aku. Meski gimana pun ini tetap cucu mereka juga.” Davona dengan cepat menghapus air matanya saat sang bidan kembali masuk ke dalam kamar persalinannya untuk memeriksa kondisi dia dan bayinya. Davona tidak ingin menunjukkan kesedihan yang dia rasakan. Namun, dari raut wajahnya sang bidan pun tahu apa yang dirasakan Davona saat ini. Ada kesedihan dan rasa empati yang teramat sangat terlukis pada wajah bidan yang saat ini duduk di samping Davona yang terbaring. “Bagaimana keadaan Dek Vona?” tanya Bidan dengan tersenyum pada Davona. “Saya merasa sudah jauh lebih baik dari sebelumnya Bu Bidan,” sahut Davona mencoba menjelaskan kepada Bidan yang tampaknya memang sayang kepada Davona. “Syukurlah kalau benar begitu. Oh, iya sebentar lagi akan ada perawat yang masuk membawakan s**u dan camilan untuk menambah tenaga Dek Vona.” “Oh, iya terima kasih banyak Bu Bidan. Oh, iya kalau saya boleh tahu. Kapan saya boleh pulang ke rumah?” “Apakah suami Dek Vona sudah pulang?” “Sepertinya belum Bu Bidan. Tapi, saya merasa lebih nyaman kalau di rumah saja.” “Saya cek dulu kondisi Dek Vonanya, ya. Kalau sudah memungkinkan. Dek Vona boleh pulang.” Bidan pun memeriksa kondisi Davona dengan sebenarnya. Setelah itu Beliau meninggalkan Davona kembali. Setelah beberapa saat, ada seorang perawat muda yang masuk dengan membawa s**u dna camilan. Perawat magang itu pun bercakap-cakap dengan Davona. Dan dia sangat mengagumi sosok bayi Davona yang tampak sangat lucu. Perawat itu sempat berkata pasti ayah dari anak itu akan sangat senang setelah bertemu anaknya nanti. Hal itu membuat Davona tersenyum getir. Ia tahu betul apa yang saat ini ia rasakan tidaklah seindah yang dikatakan gadis itu. Namun, Davona akan terus menyembunyikan kepedihan yang dia rasakan. Agar semuanya akan baik-baik saja. “Bu, ini total biaya yang harus dibayar oleh pasien kamar nomor 3,” ujar bagian administrasi kepada Bu Bidan yang memang meminta total biaya untuk Davona. “Oke. Tulis 800.000 saja. Dan jangan banyak bicara tentang perkara ini,” ujar Bu Bidan yang mencoret nota yang diperlihatkan sang Adimin. Tidak lupa Bu Bidan juga memaraf dan memberikan tanggal. Hal itu dilakukan sebagai bukti bahwa memang perubahan harga itu sudah atas persetujuan Beliau. Admin yang melihat kelakuan atasannya itu hanya bisa menggeleng-gelengkan kepala. Ini bukan kali pertama sang Bidan melakukan biaya persalinan pada pasiennya. Semua pasien yang kurang biaya akan dilakukan pemotongan harga. Dan hal itulah yang membuat klinik yang beliau jalankan selalu menjadi pilihan bagi semua warga. Di jaman seperti sekarang ini memang sudah jarang ditemui orang baik seperti Beliau ini. “Permisi Bu,” ujar Admin yang saat ini menemui Davona di kamarnya. Di mana Davona tampak sedang membereskan perlengkapannya. “Oh, iya Mbak,” sahut Davona dengan senyuman cerah di wajahnya. “Maaf Bu, saya bagian administrasi.” “OH, iya Mbak berapa total semuanya, mbak?” “Ini Bu.” Admin menunjukkan nota pembayaran yang dibawanya. Raut wajah Davona langsung berubah menjadi tegang. Dengan mata yang terbelalak melihat total yang harus dibayarnya. Tampaknya Davona tidak yakin dengan apa yang harus dibayarkannya. Sang Admin hanya tersenyum sekilas. Dan berusaha seolah tidak mengetahui apa-apa. “Mbak apa ini tidak salah?” tanya Davona seraya kembali memperlihatkan kertas yang ada dalam genggamannya. “Tidak Bu. Memang segitu total yang harus dibayar,” sahutnya dengan wajah tersenyum ceria. “Bolehkah saya bertemu dengan Bu Bidan terlebih dulu, Mbak?” “Iya boleh saja Bu. Saya akan meminta Ibu untuk datang ke sini. Ibu tunggu di sini saja dulu.” Davona menganggukkan kepalanya. Sedangkan sang Admin berjalan ke luar ruangan. Setelah beberapa saat. Bidan yang ditunggu pun tiba. Davona berbicara dengan beliau perkara biaya yang harus ditanggungnya. Sang Bidan menjelaskan semuanya dengan baik. Tanpa harus membuat Davona merasa terhina karena sudah dibantu oleh Beliau. Setelah semuanya selesai. Davona di minta untuk pulang bersama Beliau. Mesi jarak rumah keduanya tidak terlalu jauh. Dikarenakan kondisi Davona yang baru saja melahirkan. Bidan tetap mengantarkan Davona menggunakan mobil pribadinya. Sesampainya di kediamannya. Davona hanya terdiam karena benar saja Derek suaminya tidak ada di tempat. “Dia belum ulang juga,” gumam Davona membuka kunci rumah kontrakannya yang terlihat gelap dan sepi. “Nak, kamu tunggu di sini, ya. Mama mau ambil perlengkapan kita tadi.” Davona meletakkan buah hatinya yang sedang tertidur di atas kasur usang miliknya. Setelah itu dia kembali keluar untuk mengambil perlengkapannya. Saat itu dia bertemu tetangga sebelah kontrakannya. Yang langsung mengucapkan selamat atas kelahiran anak Davona. Si tetangga pun mengatakan akan datang berkunjung setelah urusannya selesai. “Ternyata meski aku sama sekali tidak dipedulikan oleh suami dan juga orang tuaku. Masih ada tetangga yang prihatin akan keadaanku ini,” gumam Davona sehabis dia kembali masuk ke dalam kontrakannya. “Coba aku telepon dia. Siapa tahu dia mau pulang.” Tut! Tut! Davona benar-benar mencoba untuk menghubungi Derek. Namun yang tidak diketahuinya adalah Derek yang memang dengan sengaja tidak mau menerima panggilan dari Davona. Derek hanya berdiam diri melihat layar telepon genggamnya yang kedap-kedip. Ilmi yang ada di sana pun melihat semua itu, dan tampaknya ada berbagai pertanyaan di benak wanita itu akan sikap Derek kepada istrinya itu. “Bang, itu istri kamu telepon. Kenapa enggak coba diangkat?” tanya Ilmi yang saat itu berbaring di sebelah Derek dengan tubuh yang polos. “Alah! Biarin aja perempuan itu!” sentak Derek yang terlihat emosi mendengar perkataan Ilmi sang wanita simpanan. “Tapi kalian ‘kan memang suami-istri secara sah. Apa abang enggak ada sedikit pun tergerak di hati abang untuk suka sama dia?” “Mi, stop! Aku enggak mau bahas perempuan itu! Kalau kamu masih mau membicarakan dia, lebih baik aku keluar dai sini!” “Iya Bang, maaf.”

Cerita bagus bermula dari sini

Unduh dengan memindai kode QR untuk membaca banyak cerita gratis dan buku yang diperbarui setiap hari

Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN