~Happy Reading~
“Pak, cepetan pak!”
Perempuan berkerudung coklat itu berkali-kali menepuk pundak si tukang ojek. Berulang kali juga ia melirik jam tangannya. Ia sudah terlambat, padahal hari ini adalah hari terakhir pengarahan kegiatan magang yang akan segera ia hadapi.
Di ujung langit terlihat awan abu-abu yang menggumpal, menambah kecemasan perempuan itu.
“Stop pak, stop!” pekiknya bahkan sebelum mereka benar-benar sampai di depan pagar sekolah.
“Iya neng, ini juga udah ---“ kalimat tukang ojek itu terputus ketika mendapati penumpangnya sudah tidak ada lagi.
“Hii.. manusia bukan sih yang gue bawa tadi?”
***
Alisa merutuki dirinya sendiri kenapa bisa-bisanya ia terlambat di hari yang sangat penting seperti ini? Untung saja ia masih bisa masuk tepat di hitungan ketiga satpam sekolahnya.
Langkahnya cepat namun sedikit getir ketika menuju aula, kepalanya celingukan berusaha mengintai apakah masih ada kesempatan untuk masuk.
“Kamu ngapain disana? Cepat masuk!” perintah Pak Farid, guru matematika menunjuk kearahnya.
“I-iya, pak.”
Tepat di depan pintu, matanya berkeliling mencari setidaknya satu sosok yang ia kenali.
“Lisa! Disini!!” teriak seseorang dari sudut ruangan dengan suara nyaring, yang akhirnya semua perhatian teralihkan pada Alisa.
“Kenapa nih anak selalu buat masalah.” Batin Alisa kesal. Ia terpaksa menyengir ria ketika berusaha menghampiri orang yang baru saja membuatnya malu setengah mati.
“Lo gila ya, Bren? Kira-kira dong kalo mau ngasih kode.”
“Ehehe sorry, Lis. Abisnya kan lo orangnya gak pekaan. Apalagi sama doi yang namanya siapa .. Iky? Iya itu tuh.”
“Apaan sih? Gak nyambung banget jadi orang.”
“Tuh kan gak peka.”
“Udah deh gak usah bahas dia. Gue lagi capek gara-gara marathon kesini.”
“Eh iya Lis, tumben banget lo telat. Untung acaranya belum mulai.”
“Biasa, perut gue gak bisa diajak kompromi.”
Tak lama setelah perbincangan mereka, acara pun dimulai. Diawali dengan sambutan dari kepala sekolah dan perwakilan prodi yang memberi nasihat-nasihat untuk bersikap sebagaimana seharusnya di tempat kerja. Tak lupa, pengarahan tentang pembuatan laporan selama magang.
Beberapa dari siswa ada yang terlihat mencatat hal-hal yang penting, sisanya hanya duduk bosan pura-pura mendengarkan.
“Lu gak nyatet, Bren?” tanya Alisa pada Brenda yang sedari tadi hanya asik dengan ponselnya.
“Kan gue bisa foto tulisan elu, hehe ..”
Lisa hanya bisa memutar bola matanya, memang sudah kebiasaan Brenda seperti itu.
“Demikian acara kita hari ini, siswa siswi bisa melihat nama beserta kantor dimana nantinya akan ditempatkan di papan pengumuman . Selain itu, harap menemui teman seanggota dan pembimbing kalian nantinya untuk diskusi lebih lanjut. Terima kasih, selamat siang.”
Begitu acara selesai semua murid berdesak-desakan untuk keluar dari ruangan dan bersegera menuju papan pengumuman. Termasuk Lisa dan Brenda yang berusaha menyelinap diantara kerumunan.
“Untung badan kita mungil ya, Sa.” Ujar Brenda menghela nafas lega.
“Iya yang mungil kan lo, gue yang kesiksa nih lo tarik-tarik paksa.”
“Ehehe sorry deh, yang penting kan kita bisa duluan liat papan pengumuman.”
“Iya deh iya.”
Mata Lisa terfokus mencari namanya, Alisa Giantara.
“Dapat!!” serunya ketika sudah menemukan apa yang ia cari.
“Adera Larassati, Alisa Giantara, Farah Kurnia, Nando Putra di kantor *** .”
“Lah jadi lo magang disana, Sa?”
“Jadi lah, emang kenapa?”
“Itu kan jauh, mana kota besar lagi. Nanti lo kenapa-kenapa, lagian lo juga gak biasa ngekos.”
“Biasa aja kali Bren, makanya gue cari pengalaman disana.”
“Iya sih, tapi kan ..”
“Tapi apa?”
“Gue gak bisa ketemu lo lagi..” rengek Brenda sambil memeluk Lisa ditengah keramaian.
“Eeh lepas-lepas, buat malu aja.”
Brenda terpaksa melepas pelukannya, “Tuh kan..”
Ditengah keributannya dengan Brenda, seseorang menepuk bahu Lisa beberapa kali yang membuatnya refleks menoleh. Ia melihat seorang perempuan dengan rambut pendek sebahu, mungil seperti Brenda sambil tersenyum kepadanya.
“Iya?”
“Kamu Alisa, kan?”
“Iya gue Alisa, ada apa ya?”
“Kenalin nama gue Adera Larassati jurusan perkantoran yang satu tempat magang sama lo,” ucapnya sambil mengulurkan tangan yang disambut oleh Lisa.
“Nama gue Alisa Giantara, lo bisa panggil Lisa.”
“Nama gue Brenda Alisya Kinanti,” sambung Brenda dibalas dengan lirikan maut Lisa, “Plis deh Bren, dia gak nanya.”
“Ehehe sorry deh sorry ..”
“Jadi gini, gue sama anggota yang lain udah ngumpul di kelasnya Farah. Cuma lo aja yang belum.”
“Oh gitu, yaudah gue ikut.”
***
Sesampainya dikelas yang ditunjukkan Dera, Alisa memasuki kelas tersebut dengan hati-hati. Matanya berkeliling melihat keadaan sekitar, kelas ini sepi hanya ada beberapa orang yang disinyalir teman seanggotanya.
“Lisa, sini duduk,” ajak Dera mempersilahkan sebuah kursi disampingnya. Tepat dihadapannya ada seorang perempuan dan laki-laki yang tengah sibuk dengan ponselnya.
“Far, Nan, kenalan dong sama Lisa. Dia kan anggota kita juga.”
Mereka berdua merespon kata-kata Dera, dan beralih menatap Lisa. Kemudian salah seorang diantaranya mengulurkan tangan.
“Kenalin nama gue Farah Kurnia, lo bisa panggil Farah.” Ucap perempuan bernama Farah itu dengan nada dingin serta wajah cueknya.
“Nama gue Alisa Giantara, panggil aja Lisa.”
Jabat tangan yang hanya sedetik itu membuat mereka terasa canggung.
“Maklum ya Lis, Farah itu orangnya memang cuek bebek nanti kalo kenal juga urat malunya putus didepan lo.”
“Enak aja!” sambung Farah.
“Tapi emang benerkan.. weekk.”
Lisa tersenyum simpul, “Kalian udah lama kenal ya?”
“Bukan lama lagi, udah dari orok kita sahabatan,” jawab Dera.
“Idih, ngaku-ngaku.”
Lisa tertawa melihat tingkah mereka berdua, ia yakin nantinya ia pasti bisa akrab dengan Farah dan Dera.
“Nah kalo dia namanya Nando Putra, lo bisa panggil Mput.”
“Mput?” tanya Lisa tak yakin.
“Iya, mput, imut-imut gimana gitu kan.”
“Ck, berisik banget lo. Diem napa, gue harus fokus maen ml.”
“Aelah game gitu doang ribet amat lu, anak tk juga bisa kali,” sahut Dera.
“Sok banget, kemarin aja lo kalah nangis.”
“Sorry ya gue gak ingat, weekk..”
Lisa merasa disini hanya ialah yang orang asing. Sepertinya mereka bertiga sudah saling kenal terlebih dahulu.
“Kita kan disini mau diskusi, kenapa jadi ribut?” protes Farah.
“Mau diskusi apa lagi sih Far? Semuanya udah diurus sama kanjeng mami gue.” Jawab Dera
“Maksudnya apa ya, Der?” tanya Lisa yang tidak tahu menahu.
“Semuanya udah diurus sama nyokap gue, mulai dari kos-kosan sampai kendaraan udah lengkap disana. Kita tinggal cus berangkat.”
“Oh ya? Kok bisa?”
“Ya bisalah, dia kan anak mami,” potong Nando.
“Berisik banget lu, masih untung lo juga diurusin.”
“Kalau gitu bagus deh.” Sahut Lisa.
“Iya, jadi besok kita tinggal berangkat aja. Ya kan, Far? Farah?”
Farah terdiam, tidak menyambut pertanyaan Dera. Tatapan matanya terlihat kosong mengarah pada sudut ruangan.
Dera menelan ludahnya getir, ia sepertinya tahu apa yang sedang terjadi.
“Farah kenapa?” tanya Lisa.
“I-itu, pasti dia lagi liat penampakan.” Jawab Dera.
“Penampakan? Maksudnya Farah sekarang lagi liat makhluk halus?”
“Iya, Lis. Aduh, udah dong Far, gue yang merinding nih jadinyaaa..”
Lisa mengikuti arah pandangan Farah, menatap sudut ruang kelas dengan seksama. Perlahan tapi pasti, Lisa mengangkat tangannya seperti mencoba untuk merasakan sesuatu.
“Lah kalian berdua kenapa? Lisa lo ngapain?” tanya Dera yang semakin panik.
“Gue coba ngerasainnya.” Balas Lisa.
“Ngerasain? Ngerasain apaan? Aduh gue makin gak ngerti.”
“Kalo Farah itu bisa ngeliat wujudnya, sedangkan gue bisa ngerasain keberadaan mereka.” Jelas Lisa.
“Sumpah sumpah, kalian gila ..”
“Lebay banget lo!” timpal Nando yang masih berkutat dengan ponselnya.
“Bacot lo, lo gak tau gimana rasanya nanti tinggal sama orang yang indigo kayak mereka. Bisa barabe, merinding tiap hari gue.”
“Yaudah kalau gitu gue aja yang sekamar sama mereka, hehe.” Sahut Nando menampilkan deret giginya, dibalas dengan desisan sinis dari Dera.
“Far, udahan dong liatnya. Gue takut nih.”
“Liat aja terus Far, sekalian kasih tau gue wujudnya gimana!” seru Nando mencoba menggoda Dera.
“Diem Nan! Far, lo gak usah kasih tau. Gue gak mau denger.” Kata Dera sambil menutup kedua telinganya.
“Wujudnya.. dia .. dia ..”
“Diemmm!!”
“Jadi dia itu ..”
“Diem Farah, gue gak mau denger!!”
Farah dan Nando saling bertatap tatapan yang berakhir dengan suara tawa yang pecah. Sedangkan Lisa hanya bisa menggeleng melihat kelakuan mereka berdua.
“Rese banget kalian,” rutuk Dera.
“Lisa.. gue mau temenan sama lo aja, gue gak mau kenal sama tuh jurig-jurig lagi.” Sambungnya.
“Iya boleh kok. Ngomong-ngomong tentang jurig, tadi kan kita sebenarnya liat jurig lho.”
“Aaaa!! Lo sama aja!” teriak Dera kesal kemudian memilih untuk keluar dari kelas.
“Dia gak apa-apa kan?” tanya Alisa memastikan.
“Aelah, paling cuma mau beli jajan. Perut karet tuh anak.” Sahut Nando. Lisa menganggukkan kepalanya, “Oh gitu.”
“Ehm Far, gue boleh ngomong sesuatu, gak?” tanya Lisa menatap kearah Farah dengan serius.
“Boleh, lo mau nanya apa?”
“Emang bener lo bisa ngeliat wujud mereka?”
“Iya, bisa.”
“Jadi tadi emang bener ada penampakan?”
“Loh bukannya lo bisa ngerasain kedatangan mereka?”
“Iya sih, tapi gue masih ragu-ragu dengan kemampuan gue. Soalnya selama ini gue cuma bisa tiba-tiba ngerasain tanpa tau kepastian wujudnya.”
“Oh kalau gitu bagus dong, karna lo gak harus menderita dengan bisa liat wujudnya.”
“Jadi lo menderita, Far?”
“Gak menderita segitunya sih. Cuma gue kadang masih gak tahan aja liat yang wujudnya mengerikan,” jelas Farah dibalas dengan anggukan pelan dari Lisa.
“Terus tadi, wujudnya gimana? gue cuma asal-asal aja bilang kalo itu jurig.”
“Tadi itu wujudnya gak mengerikan kok, cuma nenek-nenek biasa aja.”
“Beneran?”
“Iya.”
“Sekarang masih ada, gak?”
Farah melihat kebelakang sekali lagi untuk memastikan keberadaan makhluk yang sebelumnya ia lihat.
“Enggak.”
“Berarti bener.”
“Apaan yang bener?”
“Gue juga udah gak ngerasain auranya lagi. Jadi sekarang gue bisa percaya dengan kemampuan gue. Sebenarnya tabu sih ngomongin ini dihadapan orang lain, kecuali dengan orang yang kemampuannya sama dengan kita.”
Farah tersenyum kecil, “Gue ngerti kok gimana rasanya.”
“Eh, btw lo mput gak ada kemampuan apa gitu?”
Nando menyahut dengan wajah datarnya, dia paling tidak suka dipanggil dengan sebutan Mput, “Gak usah panggil gue Mput juga kali, panggil Nando kalo enggak Putra aja.”
“Iya deh iya, Mput –ehh Nan.. , jadi lo punya kemampuan juga gak?”
“Punya dong.”
“Beneran? Apa?”
“Ngepush rank ml sampe pagi. Ngoahahaha..”
Jangan lupa Like and Comment ^_^
-salam author