Saat makan malam tiba, Aluna mengajukan pertanyaan yang langsung menusuk ke inti persoalan.
"Aku kecelakaan kenapa?" tanya Aluna, suaranya tenang, namun penuh tuntutan tersembunyi.
Baskara tak menjawab. Ekspresinya mengeras sesaat, lalu ia segera menguasai diri, fokus menyuapi Aluna dengan sabar.
"Sudah habis makannya. Ini minumnya, ini obatnya," ucap Baskara, nadanya datar dan efisien.
Aluna menelan obat, lalu ia bersiap untuk tidur.
"Mas?" panggil Aluna lembut, sebelum Baskara beranjak.
"Hmm?" sahut Baskara.
"Aku suka dengar suara-suara aneh tiap malam," ucap Aluna, memiringkan kepala.
"Suara apa?" tanya Baskara, sedikit waspada.
"Kayak ada yang nangis, main, bahkan suara bayi," bisik Aluna.
Baskara terdiam. Ia menunduk, menghindari tatapan mata Aluna yang meski buta, terasa sangat menusuk. "Cuma halusinasi saja," ucapnya, mencoba meremehkan.
"Aku mau obat tidur," pinta Aluna.
"Jangan. Itu obat kamu sudah diturunkan dosisnya," Baskara menolak dengan cepat.
"Tapi aku takut," kata Aluna, memohon.
"Nggak usah manja. Tidur," balas Baskara ketus, aura kasarnya kembali muncul. Ia menyelimuti Aluna, lalu beranjak, ingin merokok.
"Aku mau merokok. Tidurlah," ujarnya sambil pergi.
Aluna terdiam. Ia memiringkan tubuhnya, memeluk bantal. Di dalam hati, ia terus bertanya-tanya, apakah benar lelaki yang bersikap kasar dan penuh rahasia ini adalah suaminya? Ia pun memejamkan mata dan tertidur malam itu.
Dalam tidurnya, Aluna bermimpi. Ia bersama seorang laki-laki yang sangat tampan, wajahnya asing namun kehangatannya terasa akrab. Ia tersenyum bahagia bersama laki-laki itu. Aluna berada di pantai, berdua, bersatu. Mereka berlarian, tertawa bersama, seolah dunia milik mereka berdua.
Hingga, laki-laki itu mencium bibir Aluna dengan lembut. Ciumannya terasa begitu nyata, bahkan menembus batas mimpi.
Saat itu, Baskara, yang duduk di sofa, diam-diam menghampiri ranjang. Ia menatap Aluna yang tertidur dengan ekspresi damai dan senyum tipis di bibirnya. Cemburu yang membakar membuat ia membungkuk, mendaratkan ciuman ringan di bibir istrinya.
"Tidurlah," bisiknya, suaranya mengandung kesedihan yang mendalam. Lalu, Baskara kembali ke sofa, tidur.
Pukul 02.00.
Aluna terbangun. Kali ini, ia jelas mendengar suara tangisan bayi yang samar.
Aluna meraba-raba tempat tidur. "Mas?" panggilnya. Baskara tertidur pulas di sofa, tak mendengar.
"Mas!" panggil Aluna lagi, lebih keras.
Tak ada jawaban.
Aluna turun perlahan dari kasurnya. Suara tangisan bayi itu terdengar begitu dekat, suaranya menggema misterius di ruang kamar VVIP yang sunyi.
"Ue... Ue..."
Suaranya semakin dekat, memanggilnya. Aluna berjalan perlahan, dipandu oleh suara tangisan itu.
"Aeng... Aeng..."
Bayi itu menangis seolah ingin menyusu, kehausan. "Kamu di mana?" Aluna meraba-raba, ingin menimang bayi itu.
Ia terus berjalan, melewati pintu, hingga ke luar ruangan. Lorong koridor rumah sakit sangat sepi, hanya diterangi lampu remang-remang. Aluna berjalan terus, mengikuti bisikan tangisan yang perlahan menghilang.
Tiba-tiba, ia mendengar bisikan-bisikan aneh di telinganya, membuatnya menoleh ke kanan dan kiri, meskipun matanya tak melihat apa pun.
Aluna terus berjalan, tersesat dalam kegelapan dan halusinasi. Ia sampai di pinggir tangga darurat.
Satu langkah lagi, Aluna akan terjatuh.
Namun, dengan kecepatan kilat, Baskara meraih tangannya. Ia ternyata sudah terbangun dan mengikuti Aluna.
"Apa yang kamu lakukan?!" bentaknya, suaranya menggelegar, memenuhi ruangan itu.
"Mas!" Aluna tersentak.
"Kenapa kamu ke sini?" tanya Baskara ketus, memegang lengan Aluna kuat-kuat.
"Aku tadi dengar suara tangisan bayi. Aku ikuti suaranya, tapi semakin aku jalan, aku nggak tahu lagi harus ke mana," jelas Aluna, suaranya penuh ketakutan.
"Aku bilang kamu halusinasi! Jangan dengarkan suara itu!" bentak Baskara penuh tekanan, rahangnya mengeras.
Baskara membawa Aluna kembali ke kamarnya. Aluna diam, tak berani banyak bicara. Keberaniannya menguap.
"Aku ingin tidur sama Mas," ucapnya ragu-ragu, saat Baskara hendak kembali ke sofa.
"Apa?" Baskara memastikan dia tidak salah dengar.
"Iya, aku takut," ucap Aluna sambil menunduk.
"Oke, baiklah," ucap Baskara, mengalah. Ia naik ke ranjang, memeluk istrinya dari belakang.
Aluna kini merasa lebih aman. Ia memiringkan tubuhnya, mencoba menatap wajah Baskara, walau tak terlihat olehnya.
"Aku tadi mimpi kita jalan dan lari-larian di pantai berdua. Kamu tampan, ya," ucap Aluna sambil tersenyum polos.
"Hmm," gumam Baskara, memejamkan matanya, menikmati kebohongan manis itu.
"Apa kamu benar suamiku?" tanya Aluna, tiba-tiba.
Baskara membuka matanya, menatap Aluna dengan tatapan aneh. "Kenapa nanya kayak gitu?" ucapnya ketus.
"Apa kamu cinta aku?" tanya Aluna, mendesak.
Baskara diam, hanya menatap aneh pada Aluna yang lugu.
"Kenapa?" tanyanya setelah hening beberapa detik.
"Kok kamu kasar sama aku?" tanya Aluna, melunakkan hatinya.
Baskara kaget. Dulu, Aluna akan membentak atau melawan, bukan bertanya dengan lugu seperti ini. Sifat Aluna yang kini lugu, kalem, dan sopan membuatnya gugup.
"Aku cinta kamu. Sangat cinta," ucap Baskara, setengah tulus, setengah membohongi dirinya sendiri.
"Kalau gitu, bisa lebih lembut sama aku?" pinta Aluna.
"Aku sudah lembut ini, Sayang," bela Baskara.
"Berarti sebelumnya kamu jahat," simpul Aluna.
"Nggak, bukan gitu! Duh, gimana, ya?" Baskara benar-benar bingung menghadapi versi baru istrinya.
"Dulu kita gimana, Mas? Aku nggak ngantuk, cerita dong," pinta Aluna, menatap Baskara dengan penuh harap. Ia ingin mengingat lagi semua yang pernah ia alami.
Baskara diam. Ia menghela napas panjang. "Tidur, ya. Aku ngantuk. Besok harus kerja," elaknya.
Aluna merasa kecewa. Ia ingin mengingat, tetapi Baskara justru menutup diri. "Oke," ucap Aluna sambil memejamkan mata.
Baskara mengecup bibir Aluna. Aluna membuka mata lagi, ada perasaan asing di hatinya, sesuatu yang tak ia kenali.
Baskara tertidur sambil memeluk Aluna erat. Aluna pun mencoba tidur malam itu, dalam pelukan pria yang kini terasa seperti orang asing yang berusaha keras menjadi suaminya.