Bab 7 : Ketua Hima vs Brother Complex

1635 Kata
Yena berdiri di depan papan pengumuman Fakultas Teknik, selembar kertas yang berisi denda parkir ilegal di tangannya terasa dingin. Pikirannya tidak fokus, terdistraksi oleh sensasi yang bahkan aroma tajam spidol permanen pun tak bisa hilangkan—aroma tiner dan cat minyak yang masih menempel, dicampur dengan sensasi menyengat dari ciuman Hao kemarin malam. Rasanya seperti ada jarum listrik yang baru dicabut dari tenggorokannya. Hao sudah kembali ke mode ‘Mr. Analyst’ yang dingin setelahnya, membahas denda kopi sebulan penuh seolah-olah dia baru saja menghitung pajak properti, bukan menghancurkan batasan fisik Yena. Tapi bagi Yena, itu bukan hanya dramatisasi. Itu nyata. Dan itu menakutkan. “Astaga, aku harus fokus,” gumam Yena, mengusap lehernya yang terasa panas. Sebagai Ketua Himpunan Mahasiswa (Hima) Fakultas Teknik, Yena punya tanggung jawab yang harus dipenuhi. Di tengah upaya balas dendamnya pada Scott dan Luna melalui Project IceStorm, peraturan kampus tetaplah prioritas utamanya. Ia harus terlihat berwibawa, jauh dari gadis yang baru saja terkejut hingga nyaris pingsan karena sebuah ciuman. Saat Yena melangkah menuju Gedung Pusat Mahasiswa, matanya menangkap sesuatu yang terasa asing sekaligus familier. Di dekat area parkir khusus dosen, ada motor cruiser hitam yang diparkir sembarangan, menghadang jalur utama. Di samping motor itu, seorang pria sedang berbicara santai di telepon, punggungnya bersandar ke kap mobil sedan abu-abu yang jelas bukan miliknya. Pria itu tinggi, dengan bahu lebar yang terlapis kaus putih polos dan jaket denim yang diikatkan di pinggang. Rambutnya lebih pendek dari Hao, tapi memiliki tekstur gelombang yang sama persis, dan di telinga kirinya tersemat anting kecil perak yang memantulkan cahaya matahari. Yena membeku. Itu adalah Yosua. Yosua Omara. Kakak kandung Hao. Terakhir kali Yena melihat Yosua adalah tiga tahun lalu, dalam sebuah pertemuan tertutup di kantor rektorat yang berakhir dengan Yosua diberhentikan sementara. Dan Yena tahu, ia adalah pusat dari kekacauan itu. Menarik napas dalam, Yena mengencangkan cengkeramannya pada berkas denda. Yena si Ketua Hima harus mengambil alih. Bukan Yena si gadis yang punya trauma masa lalu. “Permisi, Omara,” panggil Yena, menggunakan sapaan formal, meskipun bibirnya terasa getir. Yosua membalikkan badan dengan gerakan luwes, dan Yena sekali lagi terpukul oleh kemiripan wajahnya dengan Hao—hanya saja, garis wajah Yosua lebih santai, tatapannya lebih langsung, dan senyumnya... jauh lebih manis. Senyum yang terasa tidak jujur. “Oh, hallo cantik,” balas Yosua, suaranya dalam dan bergetar, terdengar seperti melodi yang disetel terlalu rendah. Ia menyimpan ponselnya ke saku, sorot matanya yang cerdas menyapu Yena dari ujung rambut pendek hingga sepatu bootsnya. “Ketua Hima yang manis ini. Sudah lama, ya.” “Saya di sini bukan sebagai Yena, tapi sebagai perwakilan Hima,” ucap Yena dingin, menjaga jarak. “Motor kamu diparkir sembarangan. Area ini cuma buat dosen dan staff, dan kamu nggak punya ID kampus yang valid lagi. Saya minta tolong pindahin motormu sekarang.” Yosua tertawa kecil, suara tawa yang ringan dan menawan, tapi bagi Yena terdengar seperti dering bel alarm. “Santai aja adek sayang. Peraturan itu cuma buat yang nggak tahu cara bermain.” “Dan area ini bukan tempat bermain,” balas Yena tajam. “Kamu melanggar Pasal 8 Ayat C. Pindah, atau motormu akan digembok.” Yosua mendengus pelan, tapi senyumnya tidak pudar. Ia melangkah mendekat, perlahan, seperti predator yang tahu mangsanya tidak bisa lari ke mana-mana. Yena, yang biasanya tak kenal takut, merasakan hawa dingin merayap di punggungnya. Jarak mereka terlalu dekat. “Kamu kok kaku banget, sih sayang? Nggak capek jadi Ketua Hima yang lurus-lurus gini?” bisik Yosua, jaraknya kini hanya sejengkal. Aroma parfumnya lembut, tapi intens. Yena dengan sengaja mencondongkan badan ke depan, menyodorkan berkas denda. “Tanda tangan di sini, Omara. Sekarang.” Yosua tidak mengambil berkas itu. Sebaliknya, tangannya yang panjang dan halus—Yena tahu tangan itu lebih sering memegang stang motor daripada kuas cat—bergerak cepat. Ia tidak menyentuh Yena, tapi tangannya menyenggol tumpukan buku yang Yena pegang di lengan kirinya. Bruk! Buku-buku itu jatuh ke lantai, salah satunya terbuka dengan halaman tertekuk. Yena merasakan kekesalan yang mendidih. Itu buku-buku referensi yang mahal. Ia otomatis menunduk, hendak memungutnya. Saat itulah Yosua membungkuk bersamanya, sangat dekat hingga Yena bisa merasakan napasnya yang hangat di telinganya. Yosua berbisik pelan, tapi menusuk jauh ke memori yang sudah lama Yena kubur. “Halo, Yena sayang. Penyebab diusirnya aku.” Yena tersentak, tegak berdiri. Semua udara terasa hilang dari paru-parunya. Kata-kata itu, diucapkan dengan nada manis seolah sedang menyapa kekasih lama, langsung merobek persona Ketua Hima-nya. Yosua bukan hanya tahu, dia menikmatinya. “Aku nggak ngerti apa yang kakak maksud,” dusta Yena, suaranya bergetar. “Oh, kamu pasti ngerti,” Yosua menegakkan tubuh, mengambil buku Yena yang jatuh, dan mengembalikannya dengan gerakan yang sangat lembut. “Kita kan punya masa lalu yang panjang. Kenapa nggak bilang-bilang ke Hao kalau kita pernah se-intim itu? Atau kamu nggak mau dia tahu, pacar kesayangannya ini punya sejarah buruk sama kakaknya?” “Jangan gila,” Yena mencengkeram buku-bukunya erat. Tiba-tiba, sebuah suara dingin yang menusuk memotong ketegangan mereka. “Yena. Balik. Sekarang.” Hao berdiri di belakang Yosua. Wajah Hao, yang biasanya hanya menunjukkan ekspresi analitis atau jengkel, kini gelap. Ia tidak terlihat seperti Mr. Analyst; ia terlihat seperti singa yang baru saja menemukan predator lain mengincar mangsanya. Yosua berbalik, senyum manisnya melebar. “Wah, ada si adik bungsu. Tumben nggak lagi main cat di studio?” “Jangan panggil aku adik bungsu,” balas Hao, langkahnya maju cepat, menarik Yosua menjauh dari Yena dengan cengkeraman kuat di lengan kakaknya. “Kamu nggak punya urusan di sini.” “Oh, aku rasa aku punya,” Yosua menatap Yena dari balik bahunya Hao. “Dia kelihatan lebih menarik sekarang. Rambut pendek, lebih liar. Kamu harusnya berterima kasih, Hao. Aku yang bikin dia punya nyali.” Hao mengabaikan Yosua. Matanya lurus menatap Yena. Ada peringatan, kekecewaan, dan bahkan ketakutan di dalamnya. “Jauhin kakakku, Yena,” perintah Hao, nadanya datar dan mengancam. “Dia nggak berhak ada di list kontak kamu. Dia pernah bikin kamu celaka. Kamu lupa, hah?” Yosua tertawa terbahak-bahak. “Celaka? Kedengarannya kayak drama di TV. Aku cuma mencoba membuat dia lebih terbuka, Hao. Dan aku rasa, aku berhasil.” “Pergi, Yosua,” geram Hao. Kali ini, Yosua mengangkat bahu. Ia melirik jam tangannya, lalu kembali tersenyum pada Yena, seolah Hao hanyalah gangguan kecil. “Sampai jumpa, Ketua Hima cantik. Aku tunggu kamu hubungi aku. Kamu tahu nomor aku. Dan jangan lupa tanya Hao, kenapa dia ‘begitu’ protektif sama kamu,” kata Yosua, menekankan kata ‘begitu’. Ia melompat naik ke motor cruiser hitamnya dan pergi tanpa menoleh lagi, meninggalkan asap knalpot dan kebisuan yang berat. Yena masih berdiri kaku, detak jantungnya menggila. Ia merasa Hao baru saja menariknya keluar dari tepi jurang. “Apa yang kamu lakuin?” Hao menuntut, kini berbalik penuh padanya. Matanya menyiratkan kemarahan. “Kenapa ngomong sama dia? Kamu nggak boleh berada di dekat dia.” “Dia melanggar peraturan,” Yena mencoba meredakan situasi, tapi gagal. “Bullshit!” Hao membentak. “Kamu bisa suruh orang lain! Kamu tahu siapa Yosua! Kamu tahu apa yang dia lakuin. Kamu seharusnya menghindarinya!” “Stop!” Yena balas membentak, tangannya mengepal di sisi tubuhnya. “Kamu nggak ada hak ngatur-ngatur aku, Hao. Kita pacaran palsu. Kamu cuma partner aku di Project IceStorm, bukan pacar beneran. Jangan bertingkah kayak kamu adalah pacarku, pengganti Scott yang baru.” Wajah Hao mengeras. “Aku nggak bertingkah, aku cuma profesional! Aku nggak mau proyek ini gagal! Dan kamu itu Ketua Hima, jangan lupa image kamu. Kamu nggak lihat dia mencoba mancing kamu? Dia mencoba kaburin fokus kamu. Sama kayak ciuman sialan semalam itu!” Suara Hao meninggi. “Aku nggak suka! Aku takut kamu lupa tujuan utama kita. Aku takut kamu terlalu sibuk merasakan perasaan baru sampai kamu lupa sama dendam kamu.” “Image? Kamu bicara soal image setelah kamu hampir bikin aku pingsan semalam?!” Yena maju satu langkah, menatap Hao tajam. “Aku yang minta kita pura-pura ciuman. Aku cuma minta ciuman sentuhan bibir biasa untuk dramatisasi di kamera. Tapi kamu yang lakuin french kiss tanpa tanya aku dulu! Aku nggak minta ciuman se-intens itu. Kamu bahkan nggak minta izin aku pas ngelakuinnya!” Hao terkejut sesaat, tapi dengan cepat menguasai dirinya. Matanya berkilat menantang. “Aku memperbaiki, Yena! Foto kamu jelek, kaku, kayak anak SMP. Kalau kamu mau Project IceStorm berhasil, kamu harus all-in. Aku cuma memastikan kamu punya materi yang meyakinkan!” “Aku nggak marah,” ucap Yena datar, memaksa dirinya terdengar sedingin mungkin. Dia meletakkan buku-bukunya di bangku terdekat. “Aku profesional. Tugas kamu berhasil, videonya bagus. Click. Selesai.” Yena membalikkan badan, bergerak menjauh dari Hao, menuju gedung Hima. Langkahnya cepat. “Kamu tahu batasan kita kabur karena kamu sendiri, Hao!” serunya tanpa menoleh. Lalu, Yena mengucapkan kalimat terakhir, menusuk dengan perhitungan dingin yang selalu ia kagumi dari Hao, kini ia gunakan untuk menyerang balik. “Lagian, ciuman kamu juga biasa aja. Nggak membuat hatiku bergetar sama sekali.” Langkah Yena terhenti. Ia menunggu. Ia tahu kalimat itu pasti akan menyakiti ego Mr. Analyst. Hao berdiri kaku di tempatnya, terkejut dan marah. Ekspresinya yang selalu terukur kini runtuh, digantikan oleh amarah yang membara. “Apa kamu bilang?” desis Hao, suaranya pelan dan mengancam, jauh lebih berbahaya daripada bentakan tadi. Yena akhirnya menoleh, senyum tipis tapi provokatif menghiasi bibirnya. “Kamu dengar aku. Ciumanmu itu biasa aja. Mungkin kamu harus lebih sering melukis daripada melatih teknik ciumanmu yang payah itu. Sekarang, aku mau rapat. Dan kamu jangan lupa, yang harus bayar denda kopi sebulan itu kamu. Jangan menghindar.” Yena berbalik sepenuhnya dan berjalan masuk, meninggalkan Hao yang masih berdiri membeku di tengah halaman, tatapan matanya mengisyaratkan bahwa dia tidak akan pernah membiarkan Yena melupakan ciuman itu, atau kata-kata Yena yang meremehkannya. Yena baru saja menyulut api yang jauh lebih besar daripada Project IceStorm.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN