Bab 2 : 'Balas Dendam' di Timezone

1591 Kata
Akselerasi motor sport Yena tidak pernah terdengar seputus asa ini. Jalanan malam kota terasa dingin, namun kemarahan yang membakar di dadanya jauh lebih panas daripada mesin motor yang ia pacu. Angin kencang menerpa wajahnya, mengeringkan jejak air mata, tetapi tidak menghilangkan rasa sakitnya. Setiap kali ia menarik gas, ia berharap bisa meninggalkan semua kekacauan Scott dan Luna di belakangnya—pengkhianatan Scott, kepalsuan Luna, dan rasa bodohnya sendiri yang memaafkan mereka selama ini. Ia berhenti mendadak di parkiran yang familier. Timezone. Tentu saja. Tempat ini. Ini adalah tempat kencan bodoh dan kekanak-kanakan Scott, si playboy sok dewasa yang ternyata suka menghabiskan uangnya di mesin arcade. Yena pernah menertawakannya, dan Scott pernah membalas, “Aku hanya serius dengan score tinggiku, bukan dengan pacarku.” Ironisnya, Yena masih datang ke sini, ke tempat yang penuh kenangan palsu, mencari pelampiasan atas perpisahan yang terasa seperti kematian. Yena melepas helmnya dengan kasar, rambutnya yang berantakan terurai jatuh menutupi matanya. Ia menyambar jaket kulitnya, lalu melangkah ke dalam. Bau gula kapas, plastik baru, dan listrik menyengat hidungnya. Lampu neon yang berkedip-kedip dan suara berisik dari ratusan mesin arcade langsung menyambutnya. Atmosfer yang riuh ini—benar-benar Timezone—adalah tempat yang sempurna untuk membuat keributan. Ia berjalan ke sudut tempat mesin lempar bola basket berderet. Jantungnya mencelos. Di sana, di depan mesin yang selalu diklaim Scott sebagai ‘miliknya’, berdiri Hao. Hao, dengan punggung tegap dalam hoodie hitam, sedang memasukkan koin. Ekspresinya yang selalu tenang kini tampak lebih tegang di bawah lampu tembak mesin. Dia hanya menembak bola, satu per satu, tanpa emosi, tanpa tergesa-gesa, seolah sedang menghukum dirinya sendiri. Rasa sakit dan amarah Yena langsung berubah menjadi adrenalin. Daripada lari, naluri Yena menyuruhnya untuk menyerang. Ia berjalan mendekat, tumit sepatu botnya berdentum keras di lantai berkarpet. "Aku tidak percaya," kata Yena, suaranya terdengar sangat keras di tengah bising. "Pahlawan kesiangan itu ada di sini juga. Mencari terapi setelah kehilangan 'pacar perempuan' yang ternyata adalah ular berwajah malaikat?" Hao berhenti. Bola basket itu terhenti di tangannya. Ia berbalik, dan tatapan matanya sama kosongnya seperti saat di pesta tadi—dingin dan memotong. "Pergi, Yena," ucap Hao pelan. Ia kembali menghadap mesin, mengambil pose menembak. "Oh, wow." Yena mendengus. "Aku baru tahu kamu bisa mengeluarkan lebih dari tiga kata sekaligus. Sungguh sebuah perkembangan. Apa? Kamu marah? Kamu merasa dikhianati? Kasihan. Rasanya sakit, ya? Selamat datang di klub, Hao. Kami punya kaus member Hao sayang, tapi aku baru saja membakarnya." Hao melempar bola. Swish. Sempurna. "Aku bilang, pergi. Cewek bau oli." ulang Hao, suaranya kali ini sedikit bergetar, menunjukkan ada amarah yang tertahan di balik ketenangannya. Yena menyeringai, senyumnya sama kacaunya dengan eyeliner-nya yang luntur. "Tidak mau. Aku menantangmu. Mesin ini. Dua ronde. Siapa pun yang kalah, bayar tagihan minum kita selama seminggu." Hao menoleh perlahan, matanya menyipit. "Aku tidak minum alkohol, dan aku tidak berhutang apapun padamu. Aku juga nggak butuh drama." "Tentu saja kamu nggak butuh drama, ‘Tuan Sok Sempurna’!" Yena menjentikkan jari di depan wajah Hao. "Kamu terlalu sibuk jadi bayangan sempurna Scott, kan? Terlalu sibuk menasehati Luna untuk jauhin Scott, sementara kalian berdua... oh, lupakan." Emosinya terlalu besar untuk diuraikan. Ia menyambar bola dari keranjang di samping Hao. "Ayo. Tunjukkan padaku seberapa baik si 'Mata Es' ini dalam melempar bola. Atau kamu terlalu plin-plan untuk menerima tantanganku?" Hao menghela napas, panjang dan lelah. Dia melihat sorot mata Yena yang putus asa di balik kenekatannya. Dia tahu Yena tidak mencari kemenangan, dia mencari kerusakan. "Baik," kata Hao, memasukkan beberapa koin lagi. "Aturannya: dua ronde, siapa yang mencapai skor tertinggi, menang." Mereka memulai. Ronde 1 adalah bencana total bagi Yena. Yena menembak dengan marah, tubuhnya bergerak terlalu cepat, terlalu berantakan. Bola-bolanya memantul di ring, meleset jauh, atau mengenai bingkai. Sementara itu, Hao menembak dengan ritme seperti robot, tenang, presisi, dan mematikan. Swish. Swish. Swish. Skor akhir: Hao 350. Yena 180. Ronde 2. Yena memejamkan mata sejenak, mengambil napas. Ia ingat saat Scott pernah memeluknya di sini, tertawa saat ia merengek karena kalah. Kenangan itu seperti asam di lidahnya. "Aku nggak akan kalah!" raung Yena. Ia mulai menembak lebih baik, fokus pada amarah alih-alih kesedihan. Namun, Hao jauh di depannya. Saat hitungan mundur mencapai lima detik terakhir, Hao meluncurkan bola terakhirnya. Swish. Lampu mesinnya berteriak dengan skor 400. Yena tahu dia kalah, tetapi ia masih punya satu bola di tangan. Hitungan mundur mencapai nol. Yena tidak menembak ke ring. Dengan kekuatan penuh yang lahir dari rasa malu, pengkhianatan, dan kepedasan yang luar biasa, Yena melempar bola basket itu—sekencang-kencangnya—ke dinding mesin di sebelah kirinya. Braaaakk! Suara benturan keras itu menarik perhatian. Bola itu memantul liar ke langit-langit, hampir mengenai lampu, lalu jatuh ke lantai dengan suara menyedihkan. Yena terengah-engah, dadanya naik turun dengan cepat. Dia tidak menangis. Dia hanya—kosong. Amarahnya telah habis, meninggalkannya seperti abu. "Kamu puas?" bisik Yena, wajahnya tertunduk. "Aku kalah. Aku tahu aku kalah. Aku selalu kalah dalam segala hal yang berhubungan dengan Scott." Hao mematikan mesinnya. Ia mengambil bola yang tergeletak di lantai, berjalan ke arah Yena, dan memasukkannya ke dalam keranjang. "Nggak ada yang menang hari ini, Yena. Aku juga kalah." kata Hao, suaranya kini kembali datar, tetapi sedikit lebih lembut. Yena mendongak, matanya yang marah bertemu dengan matanya yang dingin. "Terus? Kita duduk di sini dan merayakan betapa Scott dan Luna telah mencampakkan dan mempermalukan kita seperti sampah?" Hao bersandar di mesin, kedua tangannya terlipat di depan perut. Ia menatap lampu neon Timezone yang berkelip. "Nggak," kata Hao. "Kita akan bikin mereka menyesal." Yena mengerutkan kening. "Gimana caranya? Kamu mau mukul Scott? Aku dengan senang hati ikut bantu. Atau kita kerjain Luna?" Hao memiringkan kepalanya sedikit. Ekspresinya yang tenang membuat Yena semakin frustasi. "Kita pacaran," kata Hao. Yena terdiam. Otaknya berputar-putar. "Hah?" Hao mengulangi, tenang, seolah dia baru saja menyarankan mereka memesan kopi. "Kita pacaran. Pura-pura, tentu saja. Kamu dan aku. Semua orang tahu Scott dan aku sahabat, dan kamu adalah pacar Scott. Semua orang tahu Luna adalah pacarku. Bayangkan reaksinya ketika si playboy dan si angel face itu melihat kita, berdua, bersama." Yena menatapnya, lalu tertawa kecil, tawa yang tidak histeris kali ini, hanya geli. "Kamu pasti gila, Hao. Kamu—kamu menyarankan sebuah drama? Padahal kau benci drama! Ini ide paling ceroboh, paling kekanak-kanakan, paling... Seru yang pernah aku dengar!" "Itu karena aku sakit hati, Yena," potong Hao, dengan nada yang begitu tulus sehingga Yena tersentak. "Sakit hati bikin orang melakukan hal-hal gila. Luna mengkhianatiku. Scott mengkhianati persahabatan kami. Aku cuma mau mereka tahu rasanya jadi kita." Yena menyilangkan tangan. "Oke, mari kita tinjau ide gila ini. Hao. Dengarkan. Kita. Berdua. Pacaran. Pura-pura." "Ya," jawab Hao. "Kamu tahu kita nggak cocok sama sekali, kan?" Yena mulai menghitung dengan jarinya. "Satu, aku berisik. Aku ngoceh melulu. Aku suka balap liar, main pukul, dan cari ribut. Aku anti-duduk tenang." "Aku tenang. Aku pendiam. Aku nggak suka menunjukkan emosi. Aku suka duduk meditasi," balas Hao, mengangguk. "Dua, aku tomboy. Bajuku robek-robek. Aku bisa ngalahin kamu panco kapan aja. Aku impulsif banget." "Aku kaku. Bajuku selalu disetrika. Aku membaca buku ekonomi di waktu luang. Aku terlalu banyak menganalisis," potong Hao lagi. "Tiga!" Yena meninggikan suaranya. "Kamu plin-plan. Kamu terlalu baik! Kamu akan mati karena terlalu banyak menganalisis kencan pura-pura ini! Sementara aku? Aku adalah bom waktu yang berjalan! Aku nggak segan-segan memukul Scott di depan umum." Hao menatapnya, dan untuk pertama kalinya sejak pesta, ada sedikit kilau, sedikit percikan humor gelap di matanya. "Dan kamu terlalu impulsif. Terlalu Gegabah. Kamu akan menghancurkan rencana ini di hari pertama karena kamu akan marah dan meninju wajah Scott dan Luna." "Aku nggak janji nggak akan meninju wajahnya kedua orang itu!" sergah Yena, senyum kecil akhirnya muncul di wajahnya. "Intinya, kita adalah bencana yang sempurna," simpul Hao. "Tepat," kata Yena. "Jadi, kenapa aku harus setuju?" Hao melangkah maju, sangat dekat sehingga Yena bisa mencium aroma samar sabun dan buku dari tubuhnya. "Karena kita punya satu kesamaan, Yena," bisik Hao, matanya terkunci pada mata Yena. "Kita berdua ingin lihat Scott dan Luna merasakan kekalahan. Dan cuma kita berdua—si api dan si es—yang bisa bikin itu terjadi. Kita tunjukkan pada mereka betapa buruknya pilihan mereka mengorbankan kita." Yena menatap Hao lama, mencari keraguan. Tidak ada. Hanya resolusi dingin. "Balas dendam," gumam Yena. Kata itu terasa begitu manis dan kotor di lidahnya. "Tentu. Aku akan jadi pacar palsumu, Hao." Ia menjulurkan tangan, dan Hao menyambutnya. "Selamat datang di neraka, Tuan Sempurna," kata Yena, mencengkram tangan Hao kuat-kuat. "Selamat datang kembali ke realitas, Nona Badai," balas Hao, dan cengkraman tangannya sama kuatnya. "Kita mulai besok. Dan kita mulai dengan satu aturan: Jangan jatuh cinta." Yena menarik tangannya, tawa kecil, gila, dan penuh janji keluar dari tenggorokannya. "Aku lebih baik menjilat oli motor dan balap liar dengan mata tertutup daripada jatuh cinta sama pria yang terlalu tenang. Aku berjanji." Ia tahu itu bohong. Ia baru saja jatuh cinta pada drama ini. Dan ia tahu, di lubuk hati terdalam, Hao berbohong. Mereka berdua mencari obat untuk racun yang sama. Dan obatnya mungkin saja lebih mematikan dari penyakitnya. Pria yang dipanggil Hao itu tersenyum miring, “Singkirkan energi berlebihanmu Yena. Besok kita semua masuk kuliah. Fokus saja pada nilai-nilaimu yang pasti akan hancur pada semester ini.” Yena memukul bahu Hao, “Nilaiku di semester ini memang sudah pasti hancur. Tapi rencana balas dendamku harus berjalan mulus. Balas dendam kita.” Yena memberikan gesture tos dengan kepalan tangan. Hao dengan tersenyum dingin menerima tawaran itu. Mereka berdua berjalan keluar dari Timezone. Di bawah lampu jalan yang berkelip, Hao, si kutu buku pendiam, berdiri di samping Yena, si wanita badai. Rencana gila mereka telah dimulai.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN