Punggung Scott dan Luna terasa semakin mengecil di kejauhan, tetapi Yena masih merasakan panasnya adrenalin di telapak tangannya yang baru saja menggenggam Hao. Kemenangan. Itu adalah rasa yang memabukkan, rasa yang jauh lebih baik daripada manisnya es kopi s**u.
Mereka menuruni tangga rooftop tanpa bicara. Hao berjalan di depannya, jaket hitamnya terlihat berat di bawah sinar matahari.
"Kita sudah bikin mereka hancur, kan?" Yena akhirnya memecah keheningan saat mereka mencapai lahan parkir yang sepi. Suaranya sedikit serak, hasil dari berteriak dan berbohong dengan penuh emosi.
Hao berhenti, menoleh. Matanya yang gelap, yang baru saja memancarkan keseriusan yang menusuk saat berhadapan dengan Luna, kini kembali kosong dan lelah. "Mungkin. Tapi ini baru awal. Kalau mereka nggak percaya, mereka akan terus mencari cara untuk membuktikan kita bohong."
"Dan kamu mau mereka percaya dengan bikin scene lagi? Gue siap," tantang Yena, menarik jaket kulitnya agar terasa lebih pas di bahu.
"Nggak. Kita butuh dasar. Fondasi kebohongan kita harus kuat, Yena. Mereka harus yakin ini direncanakan, bukan cuma reaksi spontan saat sakit hati." Hao menyandarkan tubuhnya di mobil. "Gue butuh kontrak."
Yena tertawa keras. "Kontrak? Astaga, Hao, kamu beneran kutu buku yang kaku ya? Kita mau kencan palsu, bukan merger perusahaan. Mau pakai notaris sekalian?"
"Justru karena palsu, kita butuh batas yang jelas," balas Hao, suaranya datar. "Aku nggak mau ada kesalahpahaman. Apalagi setelah drama di atas tadi. Kita harus tentukan aturan mainnya."
Hao tidak mengajaknya ke kedai kopi atau warung makan. Hao membawanya ke dunianya: sebuah apartemen tua yang disulap menjadi studio sekaligus tempat tinggalnya. Bau tiner, cat minyak, dan kertas tua langsung menyambut Yena saat pintu itu terbuka.
Yena menatap sekeliling. Tiga sisi dinding penuh dengan rak buku yang tingginya mencapai langit-langit, di tengah ruangan ada kanvas besar yang ditutupi kain putih. Sisa ruangan dipenuhi sketsa, kuas, dan botol-botol cat.
"Kamu beneran tinggal di sini? Nggak ada kasur?" tanya Yena, menyentuh tepi bingkai kayu yang belum dicat.
"Ada, di balik partisi itu," jawab Hao sambil mengeluarkan dua botol air dingin dari kulkas mini. "Ini lebih nyaman buat aku daripada rumah Scott yang kayak pameran. Duduk, Yena. Kita bikin draft-nya."
Hao meletakkan air dan selembar kertas HVS tebal di meja kayu yang permukaannya penuh noda cat. Dia mengambil pulpen, lalu menyodorkannya ke Yena.
"Tulis. Judulnya: Perjanjian Kencan Palsu. Tanggal mulai hari ini," perintah Hao.
Yena menyambut pulpen itu dengan desahan malas, tetapi di dalam hatinya, ia merasakan sedikit rasa penasaran. Kontrak? Ini benar-benar konyol dan nge-feel pada saat yang sama.
"Oke, Your Majesty, sebutkan aturan pertamanya," kata Yena, tangannya siap menulis.
Hao bersandar di kursi, jarinya mengetuk-ngetuk meja. "Aturan pertama: Jarak Fisik Maksimum."
"Hah? Maksudnya?"
"Kita baru pacaran setahun, dan Scott nggak pernah skinship macam-macam sama kamu. Kita nggak bisa langsung pelukan atau ciuman di depan umum, itu terlalu mencurigakan. Batasan maksimum kontak fisik kita hanya... Merangkul bahu."
Yena mendengus. "Merangkul bahu? Seriously? Kamu pikir kita lagi main drama SMA? Kenapa nggak pegangan tangan aja kayak tadi? Itu cukup meyakinkan."
Hao menggeleng. "Tadi itu pengecualian, karena emosi. Sehari-hari, nggak. Kamu terlalu berisik, dan aku terlalu pendiam. Merangkul bahu itu cukup untuk menunjukkan kepemilikan tanpa terlihat berlebihan."
Yena mencoret-coret kata 'merangkul' dengan kesal, lalu menulis: Pasal 1: Batas Fisik. Maksimal hanya merangkul bahu. Pegangan tangan hanya diizinkan saat keadaan sangat darurat atau untuk tujuan konfrontasi (Balas Dendam).
"Lanjut," kata Yena.
"Aturan kedua: Waktu Pamer Publik." Hao menatap Yena. "Kita harus muncul minimal dua kali seminggu di tempat yang sering dikunjungi Scott dan Luna. Nggak boleh lebih dari satu jam. Setelah itu, kita bubar dan kembali ke hidup masing-masing."
Yena mengangkat alisnya. "Pelit banget sama waktu, Hao. Dua kali seminggu? Aku bisa bikin Scott jantungan tiap hari kalau kita nongkrong di kantin."
"Nggak. Kita nggak boleh terlihat terlalu gila. Pasangan yang stabil itu santai, bukan lebay. Dan kita butuh alibi kuat. Kita harus sering terlihat di rumah aku." Hao mengambil jeda. "Terutama buat Luna. Dia tahu aku nggak pernah bawa cewek ke rumah."
“Waduh, Hao. Selama ini kamu pacaran dimana hayo?”
Hao tidak bergeming, dengan datar dan kaku ia membalas lantang. “Hotel. Mau coba?”
Yena terdiam. Ia menelan ludah pahitnya dengan berat. Ini terasa lebih nyata daripada sekadar permainan.
Hao mendadak tertawa melihat ekspresi takut Yena, dirinya mengacak rambut Yena kasar. “Enggak lah. Bercanda. Jangan takut. Aku nggak b******k kayak Scott.”
"Pasal 2: Frekuensi Pertemuan," Yena menulis. Dua kali seminggu, publik. Wajib terlihat sering berkunjung ke rumah Hao.
"Aturan ketiga: Senyum Palsu 10 Detik," kata Hao, kali ini dia terlihat menahan tawa. Hanya mengeluarkan senyum dengan garis bibir sedikit.
Yena menatapnya, bingung. "Maksudnya?"
"Setiap kita berhadapan dengan Scott atau Luna, kita harus saling bertatapan dan memberikan senyuman palsu. Minimal 10 detik. Tujuannya untuk membuat mereka berpikir kita benar-benar bahagia dan yakin dengan pilihan kita. Senyum ini harus terlihat... terobsesi satu sama lain."
Yena meledak dalam tawa. Ini dia bagian konyol yang dia tunggu-tunggu. "Oh, God, kamu beneran drama! Senyum terobsesi? Oke, aku suka yang ini! Tapi kalau ketawa duluan, yang kalah harus beliin kopi?"
"Setuju," jawab Hao, senyum tipis di bibirnya, senyum yang mencapai matanya, dan itu membuat Yena sedikit terkejut. Itu adalah senyum yang tulus, bukan dingin.
Pasal 3: Senyum Obsesi. Ketika bertemu 'target', wajib saling tatap dan melempar senyum palsu minimal 10 detik (Senyum terobsesi).
"Aturan keempat dan yang paling penting," kata Hao, tatapannya kembali dingin. "Perasaan."
Yena sudah menduganya. "Jangan jatuh cinta."
"Ya. Jangan pernah ada perasaan yang muncul. Ini adalah aliansi, Yena. Jangan pernah lupa kenapa kita melakukan ini. Tujuan kita balas dendam, bukan mencari pengganti. Kalau salah satu mulai merasa, kontrak batal dan kita bubar. Segera."
Pasal 4: Jaga Jarak Emosional. Ini hanya kerjasama. Tidak ada perasaan romantis yang diizinkan. Jika satu pihak melanggar, kontrak batal.
Setelah menandatangani draft itu, Yena merasakan kelegaan yang aneh. Kontrak itu melindungi mereka dari Scott dan Luna, tetapi yang lebih penting, melindungi mereka dari diri mereka sendiri.
“Kamu, kalo pacaran sama Scott ngapain? Emang kamu nggak kepikiran ciuman gitu? Bohong banget.”
Yena menggeleng, “Gak mau, ciuman itu jorok. Gak masuk sama akal dan logika aku.”
Hal yang paling aneh adalah melihat Hao yang selama ini kaku tertawa. “Kamu bilang kita bukan drama remaja SMA. Tapi gaya berpacaran kamu aja bahkan lebih childish dari anak SMP.”
“Eh! Jangan asal ngomong ya! Manusia es batu!”
“Kamu ngerasa itu jorok karena kamu belum pernah ciuman, Yena. Kalau udah pernah. Pasti ngomongnya beda lagi. Percaya deh.” Senyumnya terus mengembang dipipi.
Hao merasa Yena sangatlah lucu dan manis. Badannya yang kecil. Rambutnya yang pendek. Bibirnya yang cerewet dengan lipstik oranye coral. Hao menggeleng pelan, menghilangkan ilusi barusan.
“No. Aku akan menjaga kesucian tubuhku dan diriku ini, Hao. Buat suami aku nanti. Ini investasi jangka panjang. Hadiah dari aku sebagai bentuk kesetiaan pada suami.”
“Kalau nanti, buat kebutuhan drama pacaran kita ini, kamu harus cium aku, Gimana Yena?”
“Kalau itu urusan beda Hao, apapun akan kulakukan demi balas dendam.”
“Kamu manis.” Perkataan barusan sangat pelan sehingga Yena yang sedang asik melihat lukisan Hao tidak mendengarkan. Itu hanya sebuah pengakuan kepada sahabat masa kecilnya. Hao akan melindungi sahabatnya yang saat ini tinggal Yena seorang.
Dua minggu berlalu, dan hidup Yena mulai berputar di sekitar jadwal baru: kampus, bengkel, dan rumah Hao.
Kunjungan ke rumah Hao—yang sebetulnya hanya sebuah studio di atas garasi rumah utama—membuat Yena harus berinteraksi dengan Bunda, ibu Hao.
Bunda, seorang wanita paruh baya dengan senyum hangat dan mata yang sama redupnya dengan mata Hao (tetapi memancarkan kehangatan, bukan kekosongan), adalah seorang guru taman kanak-kanak yang kini fokus pada kebun dan dapur. Bunda adalah tipe ibu yang tahu banyak hal, termasuk bahwa Yena, Scott, Luna, dan putranya, Hao, adalah lingkaran pertemanan yang sudah terjalin sejak SMA, meski ia tak pernah benar-benar akrab dengan Yena yang liar.
Awalnya, Yena hanya datang, menunggu Hao di studionya, dan pergi. Tetapi Bunda selalu datang dengan piringan kue atau mangkuk sup panas.
"Yena, sini, Nak. Jangan di studio terus. Hao itu kalau sudah melukis, kayak orang meditasi. Nggak bakal kedengeran kalau ada gempa," ujar Bunda suatu sore, menarik lengan Yena dengan lembut menuju dapur yang wangi.
Yena yang biasanya berinteraksi dengan dunia luar secara keras, agresif, dan waspada, tiba-tiba merasa kikuk. Dia terbiasa dengan kebebasan tanpa batas, tetapi tidak terbiasa dengan kehangatan tanpa syarat.
"Saya nggak apa-apa, Tante. Nggak usah repot-repot," kata Yena, membiarkan jaket kulitnya terlepas, memperlihatkan kaus hitam polos.
"Nggak repot. Tante lihat kamu kurusan, Nak. Hao cerita kamu ini cewek yang kuat, Tante tahu. Tante juga sering lihat kamu jemput dia dulu," Bunda tersenyum lembut, senyum yang penuh pengertian dan sedikit kekecewaan yang tersimpan. "Tapi orang kuat juga butuh makan masakan rumahan. Kamu mau bantu Tante petik cabai di belakang?"
Yena terkejut. Memetik cabai? Dia lebih sering memetik kunci pas di bengkel daripada cabai. "Boleh, Tante. Tapi saya nggak janji nggak bikin kebunnya hancur."
Bunda tertawa. Tawa yang lembut, tawa seorang ibu. "Nggak apa-apa. Hancur sedikit, Tante tanam lagi. Lagipula, apalagi yang belum hancur di antara kalian sekarang?"
Jleeb.
Yena langsung terdiam, menyadari Bunda tidak hanya berbicara tentang kebun. Kehancuran itu terasa pahit, dan Bunda tahu persis asal-muasalnya.
Sejak hari itu, Yena mulai sering menghabiskan waktu di lantai bawah, di rumah Bunda, bukan di studio Hao.
Suatu malam, saat mereka sedang membuat sambal dabu-dabu, Yena bertanya tanpa menoleh.
"Tante nggak pernah tanya kenapa saya pacaran sama Hao?"
Bunda mengaduk sambal dengan tenang. "Kenapa Tante harus tanya, Nak? Tante tahu kalian berempat itu sahabat. Tante sedih sekali dengar kabar Scott dan Luna. Bukan karena mereka putus, tapi karena mereka menghancurkan persahabatan kalian dengan cara ini."
Yena menoleh, matanya mencari jawaban tulus. Dia tahu Bunda mendengar kabar burung tentang Yena yang bad girl, dan Bunda juga tahu betapa sayangnya Hao pada Luna.
"Tante nggak khawatir saya bakal nyakitin anak Tante?" tanya Yena lagi, suaranya pelan.
Bunda mematikan kompor, lalu memeluk Yena. Pelukan yang singkat, tetapi sangat erat, seperti menyalurkan semua kehangatan tubuhnya.
"Semua orang mencari apa yang hilang dari diri mereka, Yena. Hao itu terlalu kaku, terlalu banyak berpikir, dia butuh kamu yang api, yang bisa membuatnya keluar dari buku dan kanvasnya," Bunda melepaskan pelukan, menatap mata Yena dengan lembut. "Tante tahu kamu dan Hao ini beda sekali. Tapi terkadang, perbedaan itu yang menyelamatkan. Tante lihat kamu membawa tawa lagi ke rumah ini setelah... masalahnya dengan Luna."
Bunda menghela napas, kekecewaan itu kembali, kali ini lebih berat. "Tante cuma berharap, kalau memang ini harus terjadi, kalian memilih untuk putus baik-baik dulu, bukan malah saling melukai persahabatan. Tante kenal kalian semua dari kecil, Nak. Tante ikut senang saat kalian sahabatan, jadi Tante juga ikut sedih saat kalian saling melukai begini."
Yena merasakan air mata tersumbat di tenggorokannya. Scott tidak pernah mengajaknya ke rumahnya, hanya ke apartemen mewah ayahnya. Scott selalu menjaga Yena tetap di tempat yang 'aman' dan 'terkontrol'. Scott tidak pernah membiarkan Yena masuk ke lingkungan keluarganya, seolah Yena terlalu liar untuk diperkenalkan.
Tapi Bunda? Bunda menerimanya, lengkap dengan jaket kulit dan lidah tajam. Bunda tidak menghakimi, hanya menyayangkan kehancuran yang terjadi, dan memberi tempat bagi Yena untuk dihangatkan.
Yena tahu, kontrak yang dia tanda tangani dengan Hao berisi aturan konyol tentang fake dating. Tetapi di rumah ini, di bawah pengawasan Bunda, Yena tidak perlu berakting. Dia bisa menjadi dirinya sendiri yang lelah, dan dihangatkan oleh sup panas yang rasanya lebih jujur daripada semua janji cinta yang pernah diucapkan Scott.
Kontrak itu mengatur drama, tetapi Bunda mengatur hati Yena. Dan Yena mulai bertanya-tanya, apakah kehangatan tulus ini adalah bagian dari balas dendam, atau justru adalah efek samping yang paling berbahaya.