Pukul lima sore. Cahaya senja berwarna jingga tembaga menyaring masuk melalui jendela ruang rapat kecil Hima, membuat debu-debu yang berputar di udara tampak berkilauan. Udara pengap karena AC mati, memaksa kipas angin meja kecil berputar dengan bunyi ‘ngiiiing’ yang mengganggu. Ruangan itu terasa sempit dan penuh, bukan karena orang, melainkan karena tumpukan kertas—proposal bakti sosial, print-out aneh chat Scott dan Luna, serta laptop Yena yang terbuka di tengah meja. Hanya ada Yena dan Hao. Sepuluh menit yang lalu, Vania sudah melesat keluar, meninggalkan mereka dalam keheningan yang tegang dan berminyak. Yena duduk di ujung meja, seolah memimpin sidang. Rambut pendeknya ditarik kencang menjadi kuncir ekor kuda yang super rapi, dan seragam Hima-nya nyaris tanpa cela. Ia adalah perwuj

