Bau minyak terpentin dan cat akrilik memenuhi studio Hao. Sudah tiga jam ia berdiri di depan kanvas besar, tangannya menggenggam kuas nomor enam, tapi pandangannya kosong. Di sofa belakang, Luna sibuk dengan ponselnya, sesekali tertawa kecil, melanggar keheningan sakral yang biasa ia jaga saat melukis. “Hao, menurut kamu dress ini bagus, nggak? Besok kita pakai kembaran buat acara kampus yang Scott adain, ya?” tanya Luna, mengangkat ponselnya tinggi-tinggi tanpa mengalihkan pandangan dari layar. Hao hanya bergumam, jawaban yang tidak berarti. “Hao?” “Bagus, Sayang.” “Kamu bahkan nggak lihat.” “Aku lagi lihat kamu, Lun.” Hao memaksa senyum kecil, kembali fokus pada kanvas. Ia sedang melukis Luna, mencoba menangkap esensi cinta masa lalunya yang baru saja ia dapatkan kembali. Ia memul

