JEJAK

2088 Kata
Aku menjejakkan kakiku mantap, setelah keluar dari taksi yang kutumpangi. Tadi, aku sempat membaca, rangkaian capslock yang berbunyi HALTE BUS GUDANG SENG. Aku bahkan tak paham, apakah jika aku membuka peta khusus kota Jakarta, aku akan menemukan daerah tempatku lahir ini. Sebuah titik di kawasan timur Jakarta. Namaku Lia, umurku 31 tahun, dan aku belum menikah. Pekerjaanku? Aku seorang fotografer, yang kemudian membuat ilustrasi-ilustrasi dari foto-foto yang kubidik. Jika seorang fotografer dan ilustrator memiliki ciri khas, maka aku adalah fotografer sekaligus ilustrator yang senang memfoto dan menggambar lingkungan-lingkungan seperti yang akan kudatangi ini. Lingkungan padat walaupun tak bisa dikatakan kumuh, yang sebenarnya banyak terhimpit di antara gedung-gedung pencakar langit ibu kota. Lantas apa yang kulakukan di sini? Well, aku sedang melakukan napak tilas. Mencari jejak tentang dirinya. Cinta pertamaku. Malam tadi, lagi-lagi Ibu mendesakku. Menerima pinangan seorang pria bernama Burhan. Pria itu berumur enam puluh tahun. Ya, aku tahu, dia terlalu tua untukku. Walaupun ketika bertemu dengannya, fisiknya tak nampak seperti umurnya, pria itu masih segar, jika tertawa gigi-giginya terlihat lengkap, rapih dan sehat, ditambah bahunya yang masih terlihat begitu tegap. Ah, satu lagi, pria itu tak buncit. Ia pasti begitu menjaga kondisi tubuhnya sepanjang hidupnya. Lantas kenapa aku tak bernafsu menjadi isterinya? Menjadi pewaris belasan unit mini market dengan logo berwarna merah, biru, dan kuning - yang keberadaannya nyaris bisa kita temui di sejauh mata memandang. Belum lagi ditambah puluhan unit apartemen di kota ini yang ia beli kala launching, ia renovasi dan ia tata dengan perabotan-perabotan kelas satu, untuk kemudian semua unitnya itu ia sewakan. Belum juga termasuk beberapa tempat pencucian motor yang aku tak tahu berapa jumlah pastinya karena terlanjur tertidur kala Ibu menceritakan betapa mahsyurnya hidup pria tua itu. Kenapa? Kenapa aku tak tertarik? Kurasa karena aku terlalu penasaran, dimana sosok Deni, cinta pertamaku berada. Aku menghentikan langkahku, termenung di persimpangan dengan plang bertuliskan Jl. Pancawarga V. Kenangan seorang gadis kecil berseragam batik putih biru - juga rok berwarna biru, mengayuh sepeda berwarna merah jambu dan putih - menguar begitu saja di relung ingatanku. Aku, yang kala itu masih berstatus pelajar Sekolah Dasar yang tak jauh dari tempatku berdiri ini. Aku menaikkan kedua tanganku yang menggenggam kamera, membidik setiap sisi dan sudut yang bisa kudapat dari jalan itu. Lalu ingatanku berputar kembali, saat-saat dimana hujan tak bisa diajak berkomropi, mengguyurku yang bersusah payah mendorong sepeda karena jalan di hadapanku cukup curam untuk didaki dengan kendaraan beroda dua tanpa mesin itu. Begitu sampai di sekolah, yang bisa kulakukan hanya menangis di depan gerbang. Bajuku basah, begitupun tasku dan isi-isinya. Hingga penjaga sekolahku kala itu akan merangkulku, membawaku ke guru piket agar bisa mengganti baju dengan baju-baju sumbangan kakak kelas yang sudah lulus lebih dulu. 'Ah, Lia... Kamu sudah melakukan yang terbaik bahkan sedari umurmu terlalu muda.' batinku menyemangati. Aku melangkahkan kakiku lagi, sesekali berhenti untuk membidik sisi-sisi jalan yang padatnya tak jua berkurang itu — malah semakin bertambah. Di sisi kiri, aku bisa mengingat, sebuah rumah berpagar hitam. Dulu, rumah itu menjual ikan air tawar hidup. Ibuku seringkali memintaku ke rumah itu dengan bersepeda, membeli ikan mas atau gurame yang biasanya akan dimasak beliau kala akhir pekan. Lalu di sebelah kanan... Ah, klinik itu masih ada. Klinik yang kerap kali menjadi andalan orang tuaku jika aku tiba-tiba demam atau sakit dengan gejala lainnya. Usai membidik klinik itu, aku melangkah lagi, melewati sebuah gang, tepat di sebelah kiri klinik itu, restoran seafood yang sejak dulu rasa masakannya kugemari pun ternyata masih berdiri tegak. Ah, rindunya aku dengan kwetiau goreng khas restoran itu. 'Gue mampir ah nanti. Mari mukbang, Lia!' Kakiku kembali melangkah beberapa meter ke depan. Berbelok ke kanan memasuki Jl. Kesadaran I. Sekitar beberapa puluh meter kemudian, aku membelokkan kembali langkahku, ke kiri jalan, memasukin Jl. Pancawarga VIII. Aku terkekeh pelan, teringat peristiwa yang terjadi masih disaat aku berstatus pelajar Sekolah Dasar. Saat itu, sepedaku rusak, aku terpaksa berjalan kaki untuk pergi dan pulang sekolah. Begitu memasuki jalan itu, dua ekor angsa yang mahfumnya disapa soang, berlari ke arahku, bahkan mangkuk yang berisi dedak mereka libas begitu saja. Aku lari terbirit-b***t begitu salah satu soang berhasil mematuk betisku, berlari kocar kacir seraya menjeritkan tangis ketakutan. Entah darimana kekuatan itu berasal, aku berhasil berlari tanpa henti beberapa ratus meter diiringi tatapan orang-orang yang kebingungan melihatku. Langkahku terus berlanjut, hingga sampai di satu persimpangan tepat di depan sebuah Sekolah Dasar Negeri. Sebelum Ibuku memindahkanku ke sekolah swasta di ujung jalan utama sana, awalnya aku bersekolah di sekolah ini. Menghabiskan masa tahun pertamaku sebagai pelajar Sekolah Dasar, lalu pindah setelah umurku cukup untuk masuk ke sekolah yang juga menjadi tempat Ibuku mengajar kala itu. Aku ingat, di balik pagar-pagar kawat di depanku, dulu berjajar tanaman bunga sepatu beraneka warna yang didominasi warna merah muda cerah. Bunga-bunga yang kerap membuatku menghentikan langkah untuk memandanginya. Kata Ayah, sedari kecil memang itulah kegemaranku, menatap warna warni bunga. Di ujung batas sekolah itu, aku berbelok ke kanan, meneruskan langkahku menuju tempat tujuanku. Jantungku berdebar semakin kencang. Entahlah, bahkan setelah bertahun-tahun berlalu, aku masih saja mengingatnya. 'Sekali ini saja, bolehkah aku meminta Tuhan? Jika benang jodoh itu masih ada, bolehkah aku melihatnya lagi?' Nyaris 300 meter kemudian, aku kembali membelokkan langkahku. Kali ini, ke arah kanan kembali. Hanya sekedar menghabiskan jalan dengan menyapukan pandanganku ke setiap titik daerah ini. Tempatku tumbuh yang kini sudah amat sangat jauh berbeda. Tak jauh dari tempatku tadi berbelok, aku meneruskan langkahku, tak menghiraukan sebuah jalan kecil yang kurencanakan akan kutempuh begitu keluar dari daerah ini. Tempat dimana aku menunggunya. Tempat dimana aku bersedih hati karenanya. Tempat yang mungkin akan membuatku kembali merindukannya, karena ia tak lagi datang sejak hari itu. Aku terus berjalan, menyusuri jalanan kecil yang diberi nama Jl. O. Ya, sesederhana itu, Jl. O. Di sinilah aku tumbuh. Di sinilah masa kecilku kujalani. Dan di sinilah aku mengenalnya. Aku terdiam di depan sebuah rumah, rumah yang telah dijual orang tuaku entah kepada siapa. Hari itu, aku tengah menjalani masa-masa pertamaku sebagai seorang mahasiswi di kota Bandung. Ibuku waktu itu mengabari agar jika aku pulang, jangan lagi datang ke Gudang Seng. Kenapa? Karena ternyata kami sudah pindah. Kabar yang begitu mengejutkanku, membuatku sesak saat itu juga. Bagaimana bisa kami pindah tanpa aku sempat berpamitan dengan teman-temanku di sana. Walaupun Ibu bilang beliau sudah mewakiliku berpamitan, tetap saja, itu kan Ibu, bukan aku yang berpamitan. Bahkan kala itu aku berjanji untuk bertemu dengan Deni sebulan sebelumnya. Hari itu ia tak datang. Dan aku berencana untuk pulang akhir pekan depannya, menunggunya lagi di titik temu yang kami sepakati. Ia pasti punya alasan kan? Walaupun pada akhirnya, setelah bertahun-tahun lalu, baru kali ini kulangkahkan lagi kakiku di sini. Aku kembali melangkah, khawatir pemilik rumah melihatku termenung di depan rumahnya, menganggapku gila atau semacamnya. Kakiku terus menyusuri jalan yang semakin menyempit. Hingga di satu gang kecil nan pendek aku terdiam, ingatan akan pemuda itu kembali menguasai pikiranku. "Lia!" ujarnya seraya menarik tangan kiriku malam itu. "Ya?" "Deni. Aku Deni." Aku tersenyum. "Iya, Lia tau." "Lia dari mana?" "Ini, Ibu nyuruh beli beras. Ayah nitip rokok." "Lia, aku kemarin titip salam lewat Sulis. Apa disampaikan?" Aku mengangguk. Jika saja gang itu terang benderang, pasti ia sudah melihat wajahku yang merah padam. "Aku suka kamu, Lia." Aku menunduk. Malu. "Kamu mau jadi pacarku?" tanyanya lagi. Aku mengangkat wajahku, menatap kedua netranya yang lekat menatapku sambil tersenyum. "Aku ga boleh pacaran." lirihku. "Kita bisa backstreet, Lia." "Emang ga apa-apa?" "Iya, ga apa-apa. Kamu mau?" Dan akhirnya aku tersenyum. Menunduk lagi. Mengiyakan permintaannya. Ia menangkup kedua pipiku, menatapku dalam, hingga ia mengikis jarak, mengecup keningku lalu mendaratkan rengkuhannya mengelilingi bahuku. Erat. "Terima kasih, Lia. Aku sayang kamu." *** 'Kamu dimana?' Akupun tak pernah mengerti, kenapa rasa ini tetap saja bertahan walaupun sudah terlalu lama aku tak melihatnya. Bahkan dadaku rasanya sesak setiap kali aku teringat akan dirinya. Aku rindu... Aku merindukannya. Entah sudah berapa lama aku termenung sambil berjalan. Hingga aku menyadari kakiku sudah menapaki jembatan kecil yang menjadi penghubung jalan di atas sebuah parit kecil. Rasa sesak itu belum jua hilang, bahkan semakin terasa tak wajar. Seolah ribuan kupu-kupu pun ikut mengepakkan sayapnya di balik perutku. Aku melangkahkan kakiku kembali, memilih jalan di sisi kananku. Menatap masjid di sebelah kiriku yang berwarna hijau tua. Dulu, di depan masjid itu terdapat halaman yang cukup luas. Tempat kami bermain, bahkan mengaji di madrasah yang saling berhadapan dengan masjid ini. Dan tempat dimana Deni berjanji akan menemuiku. Tempat terakhir yang aku datangi, sebelum akhirnya aku tak lagi menjejakkan kakiku di lingkungan ini sekian lama. Aku menggelengkan kepalaku, daerah ini benar-benar tak lagi kukenali. Mungkin aku akan tersesat jika terus memaksakan langkahku di sini. Aku berbalik, terdiam menatap seorang pengendara motor yang juga terdiam di atas jok motornya. Aku pasti terlalu khidmat melamun hingga suara motor sport seperti itu saja tak mampu menyapa pendengaranku. Aku bergerak ke pinggir jalan, memberi jalan untuk sang pengendara motor. Anehnya, pengendara itu tetap terdiam, tak melaju sama sekali. "Maaf, tadi saya linglung." ujarku. Bisa saja dia marah kan? Kesal karena aku menghalangi jalannya. "Lia?" Aku membeku. Pria itu membuka kaca helmnya. Tanganku yang tak menggenggam kamera terangkat, menutup mulutku yang ternganga. Terkejut karena Tuhan begitu cepat mengabulkan doaku. "Lia..." lirihnya lagi. Aku memalingkan wajahku, melanjutkan langkahku begitu saja. Di saat yang sama aku mendengar suara motor itu melaju, tetapi bukan menjauh, melainkan mendekatiku, hingga di jalan yang sempit itu ia memotong langkahku dengan memarkir motornya menutup jalan di hadapanku. "Kenapa pergi?" tanyanya dari atas motor yang ditungganginya. "Aku mau pulang." "Rumah kamu dimana?" "Bogor." "Keberatan naik motor ke Bogor?" "Aku bisa naik taksi ke uki, lalu lanjut naik bis ke Bogor." "Oke. Aku titip motor di uki, kita naik bis sama-sama." "Ga usah, Deni." "Ternyata kamu masih ingat aku." Aku terdiam. 'Bahkan aku masih mencintaimu.' "Apa mungkin kamu juga masih mencintaiku?" Aku membeku. Tak menyangka dengan pertanyaan yang ia lontarkan. "Aku belum menikah, Lia." Aku tak menanggapinya. Masih memilih diam. "Aku kecelakaan hari itu. Nyaris sebulan aku di rumah sakit. Begitu aku membaik aku nekat ke rumahmu. Dan rumahmu kosong. Sulis bilang kamu pindah." "Deni..." "Waktuku terhenti begitu saja, Lia. Aku kebingungan mencarimu." "Aku pindah. Bahkan aku ga tau kenapa pindah. Ibu bilang kalau aku dikasih tau jauh-jauh hari, pasti aku melawan, ga mau pindah." "Kamu sudah menikah?" Aku menggeleng. "Kamu tidak mengkhianatiku kan?" "Maksud kamu?" "Kita ga pernah putus Lia." Aku terdiam lagi. "Aku beberapa kali berkhianat, pacaran dengan beberapa perempuan. Tapi ya begitu, aku masih saja menunggumu, berharap bertemu kembali dengamu." "Deni..." "Kamu punya pacar selain aku?" Aku tertawa. Iapun ikut tertawa. "Ngga." Deni mengulurkan tangannya, menungguku mengulurkan tangaku untuk digenggamnya. "Ayo sayang, aku antar pulang." "Aku mau makan kwetiau dulu." "Seafood 99 sebelah klinik?" "Iya." "Ok. Yuk, aku juga lapar." Sampai di restoran, Deni terus saja menatapku, menopang wajahnya di atas sebelah telapak tangannya. "Kamu bawa-bawa kamera?" "Iya. Aku fotografer. Ilustrator juga." "I see... Keren." "Kamu?" "Spesialis Bedah Umum." "Wow." "Bukannya kamu yang kepingin jadi dokter, Lia?" "Nilai aku ga cukup. Aku terdampar di Bandung. Kamu kuliah dimana?" "UI. Spesialis di Singapura." "I see..." "Kenapa kamu belum menikah?" Aku lagi-lagi terdiam. "Lia?" "Aku merasa kita belum selesai, Den." Kali ini Deni yang terdiam. Di saat yang sama, kwetiau pesananku datang. Begitu juga nasi cah ayam jamur pesanannya. Kami tak meneruskan pembicaraan kami, berkonsentrasi menghabiskan makanan di hadapan kami. Deni masih sama, ia seringkali menyeberangkan sendok garpunya mengambil makananku, lalu menyerok makanannya untuk ia paksa agar aku menerima suapannya. Aku merindukannya, sangat merindukannya. "Kamu sekarang ga apa-apa?" tanyaku setelah kami mengusaikan makan sore kami. "Apanya?" "Kata kamu, kamu kecelakaan waktu itu?" "Oh. Alhamdulillah, baik." "Beneran?" tanyaku khawatir. "Iya, sayang. Beneran." Aku menunduk. Dadaku kembali sesak mendengarnya memanggilku sayang. Aku benar-benar tak mampu menahannya. Air mataku bergulir begitu saja. Deni mengulurkan tangannya, menggenggam erat kedua tangannku yang kuletakkan di atas pangkuanku. "Kangen aku?" tanyanya. Akupun bisa mendengar getar pilu di suaranya. Aku mengangguk. "Aku selalu ke sini setiap day off. Aku menunggu hari ini datang. Akupun kangen kamu, Lia." "Ibuku menjodohkanku, Den." Deni membeku. Matanya berubah memerah. "Kamu menerimanya?" "Belum." "Belum?" "Sampai semalam aku masih bersitegang dengan Ibuku karena perjodohan ini. Aku masih menolaknya. Karena aku ga punya alasan kuat yang bisa membuat Ibuku gentar, Den." "Sekarang? Apa sekarang aku bisa menjadi alasan itu?" "Den, kita udah lama banget ga ketemu." "Tapi hubungan kita ga pernah berakhir Lia. Hubungan kita sebegitu indahnya. Aku ga sebodoh itu untuk merelakanmu begitu saja." "Tapi..." "Aku masih sangat mencintaimu. Apa kamu masih mencintaiku?" "Aku ga mungkin ada di sini kalau aku ga mencintaimu." "Menikahlah denganku. Menikahlah denganku, Lia... Jadilah pengantinku, seperti janji kita dulu." --------------------------------- Ryan, 14-Des-2021
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN