BERLABUH: WIDI & KENAN

2631 Kata
Bali, tiga tahun lalu. "Apaan?" sapa Kenan begitu menekan tombol hijau dan loud speaker di ponselnya. Nama Ardiaz tertera di layarnya. "Ken!" "Kenapa lo?" "Demam." "Ga jadi ke sini?" "Itu dia Ken." "Yaelah k*****t lo! Gue udah di hotel ini nyet!" "k*****t apa monyet? Jangan maruk lo!" "Dih!" "Minta tolong Ken, lo aja yang nemuin doi." "Ah resek lo! Ketauan dong ini lukisan gue!" omel Ken lagi. "Ya emang lo pikir gue ngaku-ngaku itu lukisan gue?" "Terus gimana?" "Foto-foto gue upload di dropbox. Lo tinggal ke tempatnya Mail malam ini. Gue udah minta print-in. Ukurannya udah gue share juga di email. Besok sore lo tinggal dateng aja ketemu client kita, kasih lukisan lo dan foto-fotonya dia. Dia udah bayar kok. Ini client ga boleh lepas, bro! Duitnya lancar!" "Ah elah lo Yaz! Males gue ngurusin beginian." "Lo males kan karena client kita cewe. Gitu bukan?" "Ya itu lo tau!" "Makanya jadi orang jangan ganteng-ganteng. Buluk dikit!" "Bukan gitu Yaz..." lirih Kenan. "Paham. Gue paham! Gue sahabat lo, paham banget gue! Dan gue ga lagi jodohin lo. Ini murni karena gue sakit dan ga bisa flight. Mail juga ga bisa besok, jamnya bentrok sama pameran. Lagian kan lukisan ada sama lo." "Bacot lo! Ya udah, kasih gue kontaknya!" "Alhamdulillah! Oke ma broh! Ntar lagi gue kirim." "Hmm!" "Ya udah ye, bye brother!" "Wa'alaikumsalam!" "Eh iya lupa! Assalammu'alaikum!" --- Tepat pukul 17:00 WITA Ken sudah duduk manis di outdoor dine spot dari sebuah cafe yang menyajikan berbagai kopi sebagai menu utamanya. Menunggu seseorang sekaligus menunggu sunset di batas Kuta yang tak lama lagi akan menyapa. "Wid! Come on, girl! Lo ga bisa seenaknya mutusin gue!" pekik seorang pria hanya beberapa langkah dari posisi Kenan duduk santai menikmati semilir angin laut di wajahnya. Kenan tak ingin mendengar pertengkaran seperti itu, tak juga perduli, tetapi suara menggelegar sang pria benar-benar membuat telingnya panas dan refleks menatap pasangan itu. "Kenapa gue ga bisa mutusin lo?" pekik si perempuan, tak kalah menggelegar. 'Njir! Ini monyet dua belum pernah gue sumpel pasir apa ya?' "Dia bukan siapa-siapa!" lirih pria itu. "Bukan siapa-siapa tapi ada di kamar lo dan lo keluar dari kamar mandi cuma pakai selembar handuk dengan tongkat kayu lo berdiri tegak dibaliknya? Anj*ng lo!" desis sinis perempuan itu. "WIDI!" "SINIIN DOMPET LO! BURUAN ATAU GUE BUKA BAP! LO PIKIR GUE GA BISA NUNTUT LO ATAS DASAR PENIPUAN?" Pria itu terlihat frustasi. Mau tak mau ia menyerahkan dompetnya pada perempuan di hadapannya. Perempuan itu mengambil black card dari dalam dompet prianya, beserta beberapa bill. Ia mengamati lembaran-lembaran bill itu dengan seksama, sekaligus menghitung totalnya di dalam benaknya. Perempuan itu lalu mengambil lembaran-lembaran mata uang rupiah berwarna merah dari dalam dompet prianya, sementara sang pria hanya bisa mendengus lelah seraya mengusap wajahnya kasar. "Wid..." "Masih kurang lima juta! Bangke lo emang! Dasar cowo biadab ga tau diri! Sampe belanja aja lo pake black card abang gue! Modal lo pel*r doang sih!" "WIDI!" "Apa lo teriak-teriak? Lo pikir gue takut sama lo?" "Wid, kita pacaran udah dua tahun. Akhirnya lo mau gue ajak liburan bareng. Wajar kan kalau gue berharap having s*x sama lo selama di sini. Tapi ternyata bahkan setelah di sini lo malah sibuk diving dan watersport lainnya. Lo pikir gue apa sampai bisa lo diemin kaya gini!" sulut pria itu tak terima. "Emang sehebat apa lo sampe mikir gue rela lo sentuh? Karena gue ga mau nurutin kemauan lo lantas lo berhak manggil mantan lo dan tidur sama dia? Jangan lo pikir mentang-mentang gue lama ga di negara ini lantas prinsip gue ikutan berubah!" Pria itu tersenyum sinis. "Apa lo? Mau ngebacot? Mau bilang gue sok suci? Silahkan! Gue bisa ngelaporin lo atas tuduhan s****l harashment!" Pria itu akhirnya mendengus kasar. "Ok! Kita putus!" "Nah gitu dong!" "Lo bakalan nyesal, Wid!" "Ga bakal!" Pria itu berbalik, berjalan menjauh dengan kedua tangan yang masih mengepal di samping tubuhnya sedari tadi. "EH MAS MANTAN! JANGAN LUPA! LIMA JUTA! TRANSFER KE REKENING GUE! BAYAR UTANG LO!" pekik perempuan itu lagi. Kenan yang sedari tadi menyimak pertengkaran mantan kedua sejoli itu hanya terkekeh seraya menggelengkan kepalanya. Kenan meraih ponselnya lagi, menatap pesan singkat yang ia kirimkan setengah jam yang lalu pada client-nya, dan belum dijawab oleh perempuan itu. [Kenan]: Hai... Sorry, lo ga jawab karena ga kenal nomer gue ya? [Kenan]: Like I said before, Ardiaz sakit, jadi gue wakilin. [Kenan]: Gue nunggu lo di Starbuck, outdoor area ya. [Kenan]: Gue pakai black jeans, kaos putih dan kemeja biru. Rasanya Kenan baru saja mematikan layar ponselnya kala suara seorang perempuan yang dikenalinya menyapa indera pendengarannya. "Kenan?" 'Lah, cewe tadi?' "Kenan bukan?" tanya perempuan itu lagi. "Iya." Perempuan itu mengulurkan tangannya. "Widi." ucapnya memperkenalkan diri saat Kenan menyambut uluran tangannya tadi. "Duduk Wid." "Udah lama ya?" tanya Widi seraya mendudukkan dirinya tepat di kursi yang berhadapan dengan Kenan. "Ga apa-apa." "Lo pasti lihat ya tadi?" "Kayanya yang lihat ga gue doang, Wid." "Anj*ng-lah tuh cowo! b*****h emang!" Kenan diam saja, mengatupkan kedua bibirnya seraya memberi seulas senyum. "Gimana? Lo bawa kan barangnya?" tanya Widi lagi. "Bawa dong." Kenan berdiri, mengambil handuk kecil dari dalam slingbag-nya, memindahkan cup kopinya ke atas tempat duduk, lalu mengusap jejak pengembunan dari kubus-kubus es di dalam plastic cup miliknya. Setelah yakin meja di hadapannya bersih dan kering, Kenan mengambil benda berbentuk persegi panjang yang sedari tadi dibawanya, mengeluarkan benda itu dari dus pelindungnya, lalu meletakkannya di atas meja. "Oh My God..." lirih Widi. "Suka?" "Banget!" "Syukurlah." "Sumpah, keren banget Ken!" Kenan terkekeh. "Thank's Wid!" "Abang gue juga bisa gambar. Tapi bukan abstrak gini. Dan ini keren banget." "Oh ya? Abang lo expert gambar apa?" "Kartun, karakter. Kind like that." "Ah! Gue malah ga bisa bikin karakter gitu." "Eh, maksud lo, ini gambar lo?" tanya Widi, takjub. Kenan mengangguk. "Oh My God! Gue ketemu sama Picasso-nya!" Kenan lagi-lagi tertawa. "Simpan lagi, Ken. Jangan sampe ancur kena muncratan gue." Kenan masih terkekeh seraya meletakkan lukisannya itu kembali ke dalam dus pelindung. "Nah yang ini, foto-foto dari Ardiaz." ujar Ken lagi. Satu tangannya terulur menyodorkan amplop berwarna hitam di hadapan Widi. "Sayang banget ya... Bakalan gue buang tanpa gue lihat!" "Lho? Kenapa?" "Itu foto-foto gue sama orang tadi pas di Jakarta." "I see. Emang ga ada foto lo sendiri?" "Ada sih. Males aja gue bukanya." "Mau gue bukain dan ambilin yang foto-foto lo sendiri?" "Lo mau?" "Ga masalah." ujar Ken santai. "Oke. Thanks." "Sip. Tunggu." Usai memilih foto-foto Widi tanpa mantan kekasihnya, Ken lalu membuka flash disk yang diberikan Adriaz sepaket dengan foto-foto tadi, memindahkan foto-foto Widi dan sang mantan dari dalam benda mungil itu. "Ok. Done ya. Aman." Widi tersenyum lalu menganggukkan kepalanya. "Thanks, Ken." "You're welcome." "Bentar ya Wid." ucap Kenan lagi saat melihat ponselnya berdering dengan caller id MY BABY SWEETHEART di layarnya. "Iya sayang..." sapa Kenan lembut. "..." "Yanda masih di Bali." "..." 'Sumpah lo? Ya Allah, kenapa cowo-cowo ganteng cepet amat lakunya?' "Malam ini Yanda pesan tiket. Besok langsung pulang. Anne mau dibawain apa?" "..." "Oke." "..." "I miss you too sayangnya Yanda. Sampai ketemu lagi besok." "..." "Wa'alaikumsalam." tutup Ken. Widi tersenyum memandang Kenan, membuat Kenan salah tingkah. "Anak ke berapa?" tanya Widi. "Oh. Kedua. Anak Kakak." "Oh... Gue pikir anak lo. Manggilnya Yanda." "Manggil gue Yanda, manggil kembaran gue Ayah." "Serius?" Kenan mengangguk. "Manggil Daddy-nya?" "Papa." "I see." Kenan terdiam. Tiba-tiba saja kedua netranya memandang kosong. Widi sampai menepuk punggung tangan Kenan beberapa kali untuk mengembalikan kesadaran Kenan. "Sorry, Wid." "It's ok." "Lo mau balik, Wid?" "Lo ngusir gue?" Kenan terkekeh. "Ngga. Kali aja lo ada rencana lain setelah ketemu gue." "Santai aja Ken. Hari ini gue free kok. Sorry ya, gue sampai mindahin tempat ketemu kita, jadi di tempat rame begini." "Ga apa-apa." Mereka terdiam lagi. "Ken?" "Ya?" "Lo ga apa-apa? Sorry, bukan maksud gue ikut campur. Lo ga perlu jawab pertanyaan gue kalau bikin lo ga nyaman." Kenan tersenyum, menatap Widi lekat. Semburat jingga yang hadir di langit di belakang Widi membuat perempuan di hadapannya semakin cantik berlipat-lipat kali. "Besok 40 hari." lirih Kenan. Widi membeku. Ia sama sekali tak menyangka akan mendengar tema kematian di senja ini. "Siapa?" "Suaminya kakak gue." "I'm so sorry, Ken..." "Padahal dua minggu sebelumnya, cewenya Kia juga meninggal." "Kia? Kembaran lo?" Kenan mengangguk. "Lo punya cewe, Ken?" Kenan menggeleng. "Baru gue putusin seminggu yang lalu." "Gue tebak, alasannya karena lo takut dia mati?" Kenan terkekeh. Pilu. "Maybe, and maybe not. Yang pasti emang hubungan kita udah ga sehat. Dia ga lagi terbuka sama gue, dan gue entah kenapa selalu nyari-nyari alasan untuk menjauh." "Selama alasannya bukan karena ada cewe lain, lo ga jadi si b******k buat gue." 'Hahaha.' kali ini Kenan tertawa lepas. "Ngga, Wid. Ya ga tau sih kalau dia. Tapi yang jelas, hambar aja gitu rasanya." "Lo pacaran sama dia lama?" "Lima tahun." "s**t!" Kenan terkekeh lagi. "Bosen kali lo, Ken." "Maybe. Bosan tiga tahun LDR-an." "Aaah. Ngerti lah gue." "Thanks, Wid." "Eh, Ken... Gue taruh lukisan lo di mobil dulu ya. Abis itu kita jalan cari makan gimana? Atau lo ada acara lain?" "Lo ngajak gue nge-date?" "Ah lo tuh, ga usah kaya bule deh, jalan berdua dikata nge-date!" "Oke. Yuk." kekeh Ken seraya berdiri dari tempatnya duduk, meraih lukisannya, lalu berjalan beriringan dengan Widi, menghabiskan malam terakhir mereka di Bali bersama. *** "Gue besok ga langsung ngantor kan, Bang?" tanya Kenan pada Dirga, suami kedua sang Kakak yang belum setahun menjadi bagian dari keluarganya. Kenan sedang menurunkan koper-kopernya, Dirga dan puteri kecil abang iparnya itu. Sekitar satu jam yang lalu, mereka baru saja melangkahkan kaki di bumi Ratu Elizabeth, hendak menyelesaikan beberapa pekerjaan yang mewajibkan Kenan mendaratkan dirinya di negara itu. "Istirahat dulu lah, ngilangin jetlag. Jalan-jalan dulu juga ga apa-apa. Bablasin aja sampai weekend, Senin baru lo ke kantor." "Oke." "Masih ada yang mau diturunin?" tanya Ditya, teman baik Dirga yang menjemput mereka hari itu. "Udah semua, Bang." jawab Kenan. "Oke. Yuk masuk. Dingin!" ujar Ditya. Selepas beramah tamah dengan Wisnu - Ayah Ditya, Kenan mengistirahatkan dirinya, duduk dengan nyaman di ruang keluarga rumah itu. "Asli ini rumah enak banget suasananya." puji Kenan pada Ditya. "Syukur deh kalau kalian suka. Lo dan Edo jadi stay di sini kan?" "Rencananya sih di Marylebone dulu, Bang. Beres Edo ngelukis di sana, baru kami ke sini." Kenan menutup kedua netranya yang terasa begitu berat. Sebenarnya ia bukan orang yang takut dengan ketinggian apalagi takut terbang, tetapi karena baru kali ini ia menempuh perjalanan lebih dari 18 jam di udara entah kenapa justru membuatnya kesulitan mengistirahatkan diri selama di pesawat. "Kenan?" Kenan membuka kedua netranya kembali, menatap seorang gadis yang baru saja masuk ke ruangan itu dengan membawa nampan kayu berisi empat cangkir teh hangat. "Widi?" "Iya." Kenan berdiri dari tempatnya duduk, melangkah mendekati Widi. Bingung harus bagaimana menyapa, Kenan hanya mengangkat sebelah tangannya, memposisikannya di samping lengan kiri Widi tanpa menyentuhnya. "Hai." sapa Kenan canggung. "Hai juga. Kenan yang mau ngelukis di sini?" "Oh bukan, itu Edo. Aku ada kerjaan lain." "Di perusahaan Bang Dirga?" Kenan mengangguk. "Duduk, Ken. Ya ampun jadi malah berdiri." Kenan kembali duduk di sofa di belakangnya, diikuti Widi yang duduk di sampingnya. "Jadi, Widi tinggal di sini?" "Iya. Inget kan aku pernah cerita tentang Abangku? Tuh orangnya." ujar Widi seraya mendelik pada Ditya yang sedang bicara dengan Dirga seraya curi-curi pandang - memicingkan kedua netra mengamati Kenan dan Widi. "Kenapa lo, Bang?" ketus Widi. "Elo yang kenapa?" Ditya tak kalah ketus. "Kok gue?" "Kok lo ngomong aku kamu sama Kenan? Lo berdua pacaran?" "Nggaaa..." ujar Widi spontan. Kenan hanya menahan kekehannya. "Emang Widi ga boleh pacaran, Bang?" kali ini Kenan yang bertanya. "Boleh. Gue nanya doang. Ga biasa-biasanya tuh bocah ngomong aku kamu. Dih, sok imut banget!" "Iiih Abang!" "Ga pantes lo pake aku kamu! Huek!" ledek Ditya lagi seraya melangkahkan kakinya meninggalkan ruangan itu. "Untung Abang gue, lo! Kalau bukan udah gue libas!" pekik Widi. Ditya hanya menoleh seraya menjulurkan lidahnya meledek Widi, sementara Kenan terkekeh geli. "Iiih. Kesel aku. Resek emang Bang Ditya." Kenan masih terkekeh. "Kamu gitu ga sama kembaran kamu?" "Kalau sama Kia ngga. Sama kak Andien yang begitu." "Kak Andien?" "Iya." "Keinara Andieni?" "Iya." "Kak Kei yang sering diceritain Bang Ditya?" "Iya." "Isterinya Bang Dirga?" "Iya." "Yang nyaris... ya Allah, yang ditusuk Vio?" "Iya, Widi..." "Ya Allah... Serius Kak Kei itu kakak kamu?" "Serius." "Ya ampun, dunia sempit banget ya..." Kenan terkekeh lagi. "Setuju." "Ngobrol di ruang tamu yuk Ken..." "Yuk." Kenan baru saja menceritakan banyak hal pada Widi usai pertanyaan tanpa henti dari gadis cantik nan mungil di sampingnya. Usai pertemuan mereka di Bali, baru kali ini mereka bersua kembali. Mereka memang beberapa kali saling menanyakan diri melalui media sosial. Kenan pun tahu jika Widi tinggal di kota London. Ia bahkan berencana memberi kunjungan kejutan pada Widi begitu menginjakkan kakinya di kota itu, yang malah justru berakhir dengan pertemuan mendadak yang tak disengaja. "Ga nyangka beneran lho ketemu Kenan dengan situasi begini." "Iya. Sama, Wid..." Kenan menatap lekat Widi. Ia memang sudah jatuh kagum pada gadis di sampingnya ini sejak di Bali. Kekagumannya terus saja bertambah setiap kali mengikuti kabar Widi di sosial media. Widi dengan busur dan anak panahnya, Widi dengan kebun mawarnya, Widi di balik apron seragam cafe-nya, Widi dengan segala ocehan di reels instagramnya, Widi dengan caranya memandang dunia, segalanya tentang Widi. "Kenapa?" lirih Widi. "Apa?" "Kenan... Kenapa lihat Widi kaya gitu?" "Kaya apa?" "Kaya..." Jeda. "Udahlah, lupain aja." "Kaya naksir kamu?" Widi membeku. Kedua netranya tak mampu berpaling dari sepasang manik hazel di hadapannya. "Kamu... Masih takut?" tanya Kenan. "Takut?" "Takut serius pacaran karena trauma dengan hubungan toxic dan kegagalan Bang Ditya dan Viona?" "Ga tau, Ken..." "Hmm..." "Kalau nemuin orang yang tepat, mungkin aku ga akan takut." "Widi..." "Kalau kamu? Masih takut memulai hubungan baru?" "Ngga. Kia udah punya cewe lagi. Namanya Rena, karyawannya Bang Dirga. Dan Kak Andien udah punya suami yang bucin parah sama dia." Widi terkekeh. "Kalau Ken bucin ga?" Kenan terdiam. Menatap syahdu pada Widi. "Ken..." lirih Widi, malu. Jantungnya berdebar-debar dipandangi seperti itu. "Boleh ga bucin sama Widi?" Widi ternganga. "Maaf. Kecepetan ya?" "Ken bilang apa tadi?" "Boleh ga bucin sama Widi?" "Maksudnya?" "Boleh ga sayang sama Widi. Widi mau ga pacaran sama Ken?" Degup jantung Ken berdetak menggila, bahkan perutnya terasa begitu ngilu. "Kapan?" "Mulai sekarang sih pengennya, Wid." "Emangnya Ken..." "Aku kagum sama kamu sedari awal. Lama-lama naksir, karena selalu ngikutin ig kamu yang super update. Malah aku sempet kegeeran, kupikir kamu seupdate itu untuk ngasih tau aku kamu ngapain aja." "Ken..." lirih Widi, menunduk malu seraya memainkan jemarinya. 'Kamu ga kegeeran, Ken...' "Tapi kalau kamu belum siap nerima aku, ga apa-apa kok Wid. Kita bisa pedekate kan selama aku di sini?" "Tapi nanti kita LDR-an." lirih Widi. Kenan terdiam. "Emang Ken masih sanggup LDR-an? Kalau Ken bosan, Widi gimana?" Kenan masih membeku mendengar rentetan kata-kata Widi. "Ken?" "Kamu nerima aku?" "Hah?" "Barusan kalimat kamu... Kamu nerima aku?" "Kenan..." "Rencananya aku bakalan ikut Bang Dirga dan Kak Andien di sini nanti... Kita LDRan beberapa bulan aja kok. Nanti aku balik ke sini lagi. Kamu keberatan?" Widi tersenyum. Yang membuat Kenan pun tersenyum. "Satu syarat." ujar Widi. "Apa?" "Jangan bilang-bilang Bang Ditya dan Daddy dulu sampai kamu stay di sini ya?" "Kenapa?" "Mereka resek!" Kenan terkekeh geli. "Yang satu bisanya usil aja ngeledek. Yang satu lagi kepengen nikahin aku buru-buru. Pusinglah kalau Ken belum di sini." Kenan masih saja terkekeh. "Iya." "Ken ga apa-apa?" "Iya, ga apa." "Beneran." "Hmm... Beneran... Tapi..." "Tapi apa?" "Cium pipi Widi boleh?" Semburat merah muncul di kedua pipi Widi. Kenan tersenyum, mendekatkan wajahnya ke pipi kiri Widi, mengecupnya hangat, lalu berpindah ke pipi kanan Widi, mengecupnya hangat kembali. 'Cup!' Kenan membeku. Shock mendapatkan kecupan singkat di bibirnya. "Ken..." lirih Widi. Kenan menempelkan kembali kedua bibir mereka. Mengecup dan mengulum bibir Widi singkat sebelum memberi jarak kembali. "Hai pacar..." sapa Kenan lembut. "Hai juga pacar..." kekeh Widi, membalas sapaan hangat kekasih barunya. ------- 17 Januari 2022
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN