You Like The Wind

2006 Kata
Daren mengusap pipinya nanar, bekas tamparan Lena tadi masih sangat terasa hingga tanpa sadar Daren meringis pelan. Sebelumnya, tidak ada seorang wanita pun yang memperlakukannya seperti ini. Ini benar-benar sudah melewati batas. Daren pikir, dengan membayar seluruh hutang wanita itu, menyelamatkannya dari David yang dibandingkan dengannya lebih baik dari segi apapun wanita itu akan langsung tunduk dan patuh serta tergila-gila padanya. Membayangkan David bisa saja memperlakukan Lena lebih kejam daripadanya seperti memberikan Lena untuk dimainkan secara giliran kepada anak buahnya? Atau menjualnya kepada pria yang tak dapat Daren bayangkan lagi. Daren mengepal lengannya kuat-kuat. Dia tidak dapat membayangkan Lena akan mendapat nasib yang lebih parah lagi dari itu. Saat ia sampai, keningnya langsung mengernyit keras ketika Daren melihat beberapa karyawannya dengan wajah yang begitu pucat pasi. Sama hal nya dengan ekspersi sekretarisnya Jeanne yang berada di depan ruangannya, wanita itu juga terlihat begitu pucat dan tampak ketakutan. "Ada apa?" tanya Daren akhirnya. Jeanne tampak ragu untuk berkata. "Tuan Alex datang mencari anda. Dia datang dalam keadaan marah, lalu dia mengamuk besar di ruangan anda." Daren mengangguk. Sudah dapat ia duga, kedatangan Alex sebagai pemilik utama yang sah perusahaannya ini memang tidak dapat diprediksi. Selama ini, hanya Daren lah yang mengurus semuanya. Menggantikan tugas Alex. Menjabat sebagai Eksekutif Direktur ternyata menjadi beban yang sangat berat untuknya. Kedatangan Alex memang selalu membawa aura negatif kepada siapapun yang melihatnya. Tapi hal itu malah membuat wanita-wanita gatal tertarik kepadanya, mencoba merayu Alex. Dan dengan sok tahu ingin merubahnya tanpa tahu akhir dari kegatalannya itu akan berujung seperti apa. Jeanne sudah kembali ke tempatnya, dan Daren tanpa memperlihatkan ekspresi apapun dengan mantap masuk ke dalam ruangannya. Dan di situlah Alex, bersamaan dengan ruangannya yang sudah berantakan di makan amukannya.Bukan hal yang aneh lagi melihat Alex seperti ini, tebakkannya pasti tidak akan meleset. Wanita itu pasti penyebab Alex hilang kendali seperti ini, Mia. "Aku melihatnya Daren!" Alex berkata dengan nanar, ekspresi yang ia tunjukan terlalu banyak. Marah, benci, gugup serta tampak ketakutan. "Melihat siapa?" Daren mencoba tenang, tidak ingin menghakimi siapapun. "Wanita itu, aku melihatnya tadi siang. Dan dia tampak bahagia." Alex tampak tidak suka dengan ucapannya sendiri . "Bagaimana bisa, dia terlihat baik-baik saja selama ini? Dan bahagia? Daren, aku punya rencana..." Daren menelan ludahnya sendiri. Yang pastinya rencana itu bukanlah hal yang baik. "Alex, aku pikir, dia tidak bersalah. Jangan libatkan dia." Daren berkata dengan pelan. Sangat hati-hati. Tapi Alex langsung menatap tajam ke arah Daren. Dan dengan kasar mendorong tubuh Daren ke rak buku yang berada di belakangnya sambil menarik kerah kemejanya keras. "Apa kau bilang?" Daren sama sekali tidak ketakutan. "Dia tidak bersalah." kata Daren sekali lagi, kali ini dengan mantap. Dan tanpa terduga, Daren telah memancing amarah Alex ke titik tertingginya hingga wajahnya menjadi sasaran amukan Alex kali ini. Memukulnya tanpa ragu membuat Daren terhuyung jatuh. Alex memukul Daren berkali-kali sampai ia merasa puas. "Jangan sok tahu dan ikut campur urusanku! Kau tidak akan mengerti! Yang harus kau lakukan hanyalah mengikuti perintahku saja!" teriak Alex lalu keluar dari ruangannya. Meninggalkan Daren yang babak belur karena ulahnya. Daren beranjak dengan susah payah. Ia membatin, sambil memandang punggung Alex yang semakin menjauh. Dia tidak marah atau merasa benci pada Alex akan ulahnya ini, yang ada rasa kasihan itu semakin menjadi. Pria itu kesepian. Itu satu hal yang Daren yakini. Hanya saja pria itu tidak tahu bagaimana cara yang benar untuk mengungkapkannya. *** Lena meremas-remas ujung dressnya dengan gugup sambil berpikir keras. Bagaimanapun caranya ia harus bisa keluar dari tempat ini! Memikirkan bahwa berhari-hari ia akan tinggal bersama pria sialan yang tidak tahu malu itu membuat perutnya mulas. Secara tidak langsung, pria itu menyanderanya dengan iming-iming materi. Ah dan juga dengan pesonanya yang tak bisa Lena pungkiri. Tapi, yang menjadi kendalanya bagaimana cara ia melarikan diri sekarang? Daren, pria itu pasti tidak akan membuatnya lepas dengan mudah. Dia benar-benar tidak membawa apa-apa saat terakhir ia pergi ke pub malam di mana tragedi itu terjadi. Ponselnya ia tinggalkan di dalam mobilnya beserta dompetnya yang kekeringan. Pria itu juga bilang bahwa dia telah melunasi semua hutang-hutangnya. Kalau begitu jika semua fasilitas seperti mobil dan apartemennya sudah aman. Bukan tidak mungkin jika Edwin mempergunakan tempat dan barang barangnya sesuka hatinya. Hal itu membuat tekad Lena untuk melarikan diri dari tempat ini semakin kuat. Dia tidak akan pernah sudi membiarkan Edwin berbuat sesuka hatinya lagi. Pria itu sudah tidak dapat termaafkan, menjualnya secara tidak terhormat dan juga menipunya dengan jurus rayuannya yang membuat Lena muak. Lena tidak akan membiarkan Edwin bernafas dengan tenang kali ini! Seketika, Lena mempunyai akal untuk keluar dari tempat ini. Saat nanti Daren kembali, ia akan berjaga di depan pintu apartemen ini sambil membawa sesuatu yang dapat memukul tubuh pria itu. Ketika Daren baru membuka pintunya Lena akan cepat-cepat menahan Daren dengan memukul tubuhnya sampai ia lengah, setelah itu Lena akan berlari keluar dari apartemen ini secepat mungkin. Dan kebebasan itu menanti. Lena tersenyum miring. Yah! Itu akan berhasil! Dengan cepat Lena mencari sesuatu yang dapat membuat Daren sedikit terluka. Yah hanya sedikit... Mungkin, wajan datar ini hanya akan sedikit membuat pria itu memar... itu pilihan yang sangat bagus. "Apa yang sedang kau lakukan?" Lena terlonjak kaget, sampai ia menjatuhkan wajan datar dari dapur Daren yang baru saja ia pegang. "Kau! Apa kau selalu datang tiba-tiba seperti ini? Kapan kau datang? Kenapa aku tidak mendengarmu?" tanya Lena kesal. Karena sejak kemarin pria itu selalu datang dan mengagetkannya secara tiba-tiba. "Kau sangat serius, mana mungkin kau menyadari kedatanganku." jawab Daren malas. Mulut Lena menganga, tidak dapat berkata apa-apa lagi. Lena mengumpat pelan sambil menggerutu kesal. Jadi rencananya harus gagal secepat ini? mengabaikan hal itu kali ini perhatian Lena teralih pada wajah Daren yang penuh dengan luka memar, pria itu sesekali meringis menahan sakit. Daren melewati Lena dengan wajah acuhnya, ia mengambil gelas lalu menuju dispenser untuk mengisinya dengan air. Seperti sangat kehausan, ia menenggak habis gelas air minumnya."Ada apa dengan wajahmu?" tanya Lena pada akhirnya. "Bukan urusanmu." jawab Daren dingin, bahkan tanpa menoleh Lena sedikitpun. Lena kembali menggerutu. Memang ada benarnya juga jika hal itu memang bukan hal yang sepatutnya ia pedulikan Mereka berdua terjebak dalam keheningan. Daren menyibukkan dirinya di depan laptopnya untuk bekerja. Dan Lena, dia tidak tahu harus melakukan apa. Duduk diam dan sesekali mencuri pandang ke arah Daren yang tengah serius. Kening pria itu berkerut jelas, dan kacamata yang ia pakai... Lena pernah melihat pria itu dalam keadaan seperti ini! Yah, hari itu, hari dimana pertama ia bertemu di sebuah cafetaria. Mungkin Daren tidak menyadarinya. Tapi Lena tidak dapat melupakannya, bagaimana Daren menarik perhatiannya dengan kharismanya yang tak bisa Lena jelaskan. Kali ini Daren tampak mengernyit. Bukan, bukan karena ekspresi seriusnya. Tapi itu disertari dengan ringisan yang sangat pelan. Oh dia tengah kesakitan! Lena sendiri bahkan meringis. Merasakan bagaimana ngilu dan sakitnya yang pria itu rasakan saat ini. Apa dia memiliki luka memar karena mencoba menebar pesonanya lagi? Apa dia berkelahi karena merebutkan seorang wanita? Atau apa dia memiliki masalah yang sangat berat hingga berujung pada perkelahian? Lena menampar pipinya pelan sambil menggeleng keras. Mati-matian ia mengenyahkan rasa penasarannya itu saat kembali teringat jika pria itu adalah pria jahat yang tak pantas di kasihani. Lagipula semua itu jelas bukan urusannya. Lena masih memperhatikan Daren dalam diam, dia yang tak nyaman dengan keadaannya beranjak berdiri untuk mengambil kotak p3k nya dan kembali ke tempatnya tanpa mempedulikan keberadaan Lena. Tapi saat ia mencoba mengoleskan salep ke wajahnya yang terluka, Daren tampak kesusahan. Sesekali mengaduh karena rasa ngilu akibat salah menyentuh lukanya. Saat mata Daren menangkap basah Lena yang tengah menatapnya, dengan cepat Lena memalingkan wajahnya. "Daripada kau menatapku terus seperti itu tanpa tahu harus melakukan apa, lebih baik kau bantu aku untuk mengobati lukaku." kata Daren dengan nada mengejek. "Kau berbicara padaku?" tanya Lena pura-pura tidak peduli, padahal ia tengah menutupi kegugupannya karena telah tertangkap basah karena menatap Daren secara terang-terangan. Daren mendelik. "Setahuku, hanya ada kau dan aku disini. Apa apartemenku diisi oleh banyak orang?" Lena menaikan kedua bahunya acuh. "Oh, jadi kau meminta pertolongan kepadaku?" balas Lena , dengan sengaja tidak akan membuat mudah permintaan Daren dan juga karena Lena menikmati bagaimana ekspresi Daren yang tampak begitu kesal. Daren memutar kedua bola matanya. "Aku tidak meminta pertolongan, ini perintah." Lena berdecak. "Apa? Perintah? Ya ya, tapi masalahnya bagaimana jika aku tidak mau menuruti perintahmu itu? Aku akan melakukannya jika kau memintanya dengan cara yang sopan kepadaku. Kau benar-benar pria yang sangat kasar." desis Lena keras. Daren hanya bisa menghela nafasnya kasar. "Lupakan. Aku bisa melakukannya sendiri." pada akhirnya Daren menyerah. Lebih tepatnya, tidak ingin berdebat dengan wanita bermulut pintar itu. Sebagai pria dewasa, mengalah untuk hal ini tidak akan merugikan siapapun. Daren kembali mencoba mengoleskan salep ke luka lebamnya. Tapi karena ia tidak fokus, tangannya tanpa sengaja menekan keras luka di wajahnya sehingga Daren mengaduh nyeri. Hal itu membuat Lena geram, melupakan prinsipnya dan menghampiri Daren. Mengambil alih salep yang tengah Daren pegang. "Bukan seperti itu caranya." kata Lena sambil menyimpan salep itu. "Kau harus mengompresnya terlebih dahulu." lanjut Lena lalu pergi ke arah dapur untuk mengambil baskom berisi es batu. Daren mengernyit menahan nyeri merasakan sensasi dingin akibat kompresan yang dibawakan Lena. "Luka ini pasti di akibatkan karena kau menjual pesonamu, apa dengan seperti ini kau merasa terlihat keren hah?" omel Lena keras. Daren mencibir lalu menjitak keras pelipis Lena membuat wanita itu mengaduh sakit dan dengan reflek langsung mengelus pelipisnya. "Jangan sok tahu! Kau tidak tahu apa-apa!" Lena mendengus sambil mengumpat pelan, dan dengan sengaja, ia menekan sedikit keras kompresannya ke wajah Daren karena kesal. "A-auwhh!" Mencoba tidak peduli dengan ringisan Daren, kini Lena mulai memberi salep pada luka memar di wajahnya. Kali ini Lena melakukannya secara perlahan dan hati-hati. Daren yang merasakan sentuhan Lena yang lembut mulai terperangah. Wanita ini bisa serius juga ternyata. Daren bergumam dalam hati. Memperhatikan wajah Lena yang begitu dekat dengannya. Wanita itu sangat telaten. Sesekali, meniup pelan wajahnya yang memar agar salep yang ia oleskan cepat kering. Dan matanya yang sangat biru itu terlihat sangat jelas dan dekat. Menenangkan, seperti ombak yang berdebur pelan. "Kenapa kau menatapku seperti itu?" kata Lena tiba-tiba menyadarkan Daren dari lamunannya yang tengah memperhatikan Lena. Daren berdehem pelan. Mencoba bersikap tenang. "Memangnya seperti apa?" Lena mengangkat kedua bahunya. "Terpesona padaku, eh?" tanya Lena dengan percaya diri. Tiba-tiba Daren terbatuk keras. "Apa? Terpesona padamu? Ahaha, yang benar saja! Jangan bermimpi hei nona harimau!" "Oke oke, aku tahu. Kau pasti malu untuk mengungkapkannya secara langsung padaku. Tidak apa, aku mengerti." Lena mengangguk sambil memasang wajah mengerti secara di buat-buat membuat Daren mengernyit muak hingga kembali menjitak keras pelipisnya. "Argh!" teriak Lena. "Berhenti melakukan itu!" Daren hanya terkekeh pelan, sungguh lucu melihat ekspresi Lena yang terlihat memberenggut sambil mengusap pelipisnya yang terasa sakit karenanya. "Hei, hei... Ternyata kau bisa tertawa juga." kata Lena tiba-tiba saat melihat Daren terkekeh tadi. Saat itu juga Daren langsung kembali ke wajah dinginnya seperti biasa. "Ck, dasar pria sok jual mahal!" umpat Lena yang melihat perubahan ekspresi Daren secara cepat. Sebenarnya, Daren pun tidak menyadarinya. Sudah sangat lama sekali... Oh, bahkan Daren lupa kapan terakhir ia merasakan hal seperti ini. "Kau mau kemana?" tanya Daren saat Lena beranjak dari tempatnya dan berjalan menuju kamarnya. "Aku lelah. Aku ingin tidur." jawab Lena seadanya. Daren mengernyit memandang Lena. "Siapa bilang, kau boleh tidur di kamarku malam ini?" "Hah?" "Jika kau ingin tidur, tidurlah di tempat itu." Daren menunjuk ke arah sofa di depannya. "Tapi kenapa?!" protes Lena. "Kenapa? Ini apartemenku, jadi terserah padaku untuk aku menyediakan tempat untukmu tidur disini." jawab Daren enteng. Lena menghentakkan kakinya keras lalu kembali ke sofa yang Daren tunjuk tadi. Ia merebahkan badannya sambil menatap Daren kesal. Pria itu hanya mengangkat kedua bahunya acuh lalu kembali fokus terhadap laptop di hadapannya. Ingin sekali Lena melempar sesuatu ke arah Daren, bahkan jika bisa mengenai wajahnya yang sedang terluka. Baiklah, mungkin Lena hanya perlu bersabar sedikit lagi untuk keluar dari tempat ini. Memikirkannya terus menerus membuat Lena benar-benar mengantuk dan pada akhirnya ia tertidur pulas. Samar-samar ia merasakan sesuatu yang hangat membalut tubuhnya. Dan sentuhan yang sangat lembut di sekitar wajahnya. Tapi Lena sudah sangat kelelahan untuk mengetahui hal itu... tbc
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN