Dua

1844 Kata
Laras memandang kue ulang tahun bergambar Minnie Mouse itu dengan perasaan bangga, dia bahkan memotret beberapa kali kue itu sebelum dibawa oleh pembelinya. Dia membuat kue tersebut dengan sangat indah, entah mengapa tiba-tiba saja beberapa ide terlintas dalam pembuatan kue itu sehingga dia membuatnya lain dari yang lain, selain gambar Minnie Mouse, Laras juga membuat permen coklat bergambar serupa dan menghiasnya untuk diletakkan diatas kue tersebut. Hingga sebuah suara mengagetkan dia, pria itu adalah pria yang sama, yang membuat debaran jantungnya berpacu cepat, namun debaran itu kian menyesakkannya. Dialah Bimo, dengan sorot mata teduhnya dan kumis tipis yang tampak berantakan. Dulu Laras paling tidak suka melihat Bimo berkumis, karenanya dia yang sering sekali mencukur kumis itu, dia lebih suka pria dengan wajah bersih tanpa brewok, jenggot atau kumis.  Laras harus memegang tangannya sendiri yang bergetar, melihat penampilan Bimo yang kusut yang membuatnya ikut sedih. Apakah Fatmala, sang istri tak mengurusnya dengan benar? Bukankah mereka baru dikaruniai anak yang seharusnya bisa membuat mereka bahagia? Namun lihatlah, tubuh Bimo yang tampak kurus, dan senyum terpaksa yang diberikan ke Laras. Mata Laras berembun namun dengan cepat ditepis rasa simpati itu. Bimo sudah bukan siapa-siapa lagi baginya sekarang. “Ras, apa kabar?” tanya Bimo dengan suaranya yang serak. “Kamu mau apa kesini?” tanya Laras pelan. Hampir seperti cicitan burung karena terlalu pelan, di toko itu hanya ada satu karyawan yang berada di dapur sedang menghias kue untuk pesanan lainnya. “Aku rindu, apakah kita tak bisa bersama lagi?” iba Bimo dengan tatapan memohon. “Jangan ngaco!” ucap Laras sambil menggeleng, memilih mengambil tutup kardus kue yang ada di hadapannya dan menutup box tersebut. “Aku serius, ibu sudah mendapatkan cucu yang dia mau, aku bisa menceraikan Fatmala-“ “Mas! Cukup! Anak kamu berhak mempunyai orang tua yang lengkap, dia tidak salah apa-apa, sebaiknya kamu pulang dan lupakan ucapan kamu barusan!” ujar Laras, matanya benar-benar berkaca-kaca sekarang. Hatinya terasa sakit, bagaimana bisa Bimo mengucapkan kata cerai semudah itu? Dengannya saja, Laras sampai frustasi dan depresi karena Bimo yang tak jua mau menceraikannya namun tuntutan dari ibu mertuanya sungguh membuatnya muak. Baru saja dia merasa bebas, dia tak mau lagi terkungkung dalam rumah tangga itu lagi. “Kamu belum ada kekasih kan? Please, Ras kembali padaku, kecuali kamu telah mempunyai calon suami, aku akan rela melepasmu.” “A-Aku punya calon suami dan sebentar lagi menikah,” ujar Laras dengan suara gugupnya. Bimo tersenyum miring, dia tahu Laras tak bersungguh-sungguh akan ucapannya. Hingga Midas masuk dan tersenyum pada Laras, semula dia pikir Bimo adalah pelanggan Laras. “Mas Midas, tunggu sebentar ya,” ucap Laras. Sambil mengambil lilin ulang tahun dan meletakkan diatas dus itu. “Mas Bimo, kenalin ini Mas Midas, calon suami aku,” ucap Laras melirik pada Midas yang tampak cukup terkejut, Laras menggangguk dan memberi tatapan permohonan pada Midas sehingga Midas pun mengerti dan mengulurkan tangan untuk menjabat pria yang tubuhnya masih lebih pendek darinya. “Midas, calon suami Laras,” kenal Midas dengan suara yakin dan tegas. Bimo membalas jabatan itu dengan cepat dan segera menarik tangannya lagi. “Bimo, mantan suami Laras,” kenalnya membuat Laras menahan napasnya. Rasanya aneh, terlebih tatapan permusuhan antara Bimo dan Midas yang tampak kental sekali. “Yuk, acaranya dimulai satu jam lagi,” ajak Midas, Laras yang gelagapan pun hanya dapat mengangguk dan berjalan ke pantry untuk menitipkan toko ke karyawannya. Lalu Midas memegang box kue yang telah diikat tali plastik, sementara tangan sebelahnya menggandeng tangan Laras keluar dari toko kue miliknya, meninggalkan Bimo yang tampak masih memperhatikan dan tak berniat pergi dari sana. Hingga Midas membuka kan pintu mobil untuk Laras dan meletakkan kue ulang tahun di kursi belakang. Lalu mereka berdua masih menatap Bimo yang tampak masih berdiam diri di dalam toko itu, pasti Bimo sudah menebak bahwa Laras berpura-pura karena selama ini dia tak pernah melihat Midas sebelumnya, bahkan tak pernah mendengar namanya disebut Laras. Midas pada akhirnya melajukan mobilnya meninggalkan toko itu, Laras masih tampak kalut dan menahan tangisnya, hingga Midas menyodorkan tissue dan pecahlah tangis Laras. “Turunkan saya di lampu merah saja, Mas, nanti saya pulang dari sana,” ucap Laras. “Bagaimana jika mantan suami kamu itu masih menunggu di toko?” “Lalu saya harus apa?” tanya Laras putus asa. “Ikut saya saja ke acara ulang tahun anak saya, setelahnya akan saya antar kamu kembali ke toko, bagaimana?” tawar Midas yang disetujui Laras, dia tak tahu harus kemana? Tak ada tujuan, benar kata Midas, Bimo bisa saja menunggunya, mengingat pria itu sangat keras kepala. “Apa tidak akan mengganggu acara nantinya ya?” tanya Laras sejurus kemudian. “Tidak, apalagi jika kamu mau membantu saya,” ucap Midas sambil tersenyum untuk menenangkan Laras. Laras bisa mencium aroma obat dari tubuh Midas atau mungkin dari mobil itu sehingga Laras menoleh ke belakang seolah mencari sumber bau. “Kenapa?” tanya Midas dan Laras hanya menggeleng tak enak, lalu Midas melihat hidung Laras yang bergerak, dia sadar bahwa wanita itu pasti mencium aroma yang tak asing dari tubuhnya. “Kamu cium bau obat? Kebetulan saya dokter bedah dan saya belum mandi jadi baunya masih agak menempel, maaf ya,” ucap Midas tak enak lalu Laras menggeleng dan tersenyum simpul meski hidungnya masih tampak memerah akibat menangis. “Hidung saya saja mungkin yang sedikit sensitif, biasa mencium aroma kue, jadi saat ada aroma lainnya jadi agak aneh,” timpal Laras tak enak hati. “Kalau boleh tahu, kenapa kalian bercerai? Maaf sebelumnya jika pertanyaan ini mengganggu, kamu boleh tidak menjawabnya,” ucap Midas, sebenarnya dia sangat penasaran mengapa pria tadi dan Laras yang tampak masih saling mencintai dari tatapan mata mereka saat beradu pandang, memutuskan untuk bercerai. “Saya tidak bisa mempunyai anak dan dia dituntut harus mempunyai anak oleh orang tuanya, jadi saya mengalah. Dan ya ... dia sudah menikah dan mempunyai anak, memang saya yang selama ini bermasalah,” ucap Laras dengan senyum getirnya. “Masalah apa? Rahim kamu?” “Congenital uterine anomalies, awalnya tak terlalu berbeda pada umumnya, namun semakin lama justru rahim aku makin tidak normal,” ucap Laras, dia yakin tanpa perlu menjelaskan secara detail pun, Midas yang berprofesi sebagai dokter lebih tahu mengenai penyakit itu. “Sejak menikah tak terdeteksi? Bukankah bisa terlihat?” “Ya, terlihat tapi dokter bilang masih bisa mempunyai anak, hingga beberapa upaya tak membuahkan hasil dan dapat dipastikan rahim saya tak punya kemampuan mempunyai anak. Karena itu saya ikhlas meminta dia menceraikan saya,” jawab Laras. “Usia saya juga sudah terlalu tua untuk mencoba berbagai hal yang pasti menyakiti saya nantinya,” imbuh Laras. Midas menghargai keputusan Laras, dia sangat tahu tentang berbagai metode untuk mempunyai keturunan yang bisa menyakiti sang perempuan. Belum lagi banyak terapi yang harus dilakukan. Karenanya dia sangat kesal jika ada wanita yang membuang anak mereka. Banyaknya pasangan yang ingin mempunyai anak, rela operasi, suntik berbagai hormon, bayi tabung yang menghabiskan uang hingga ratusan juta namun tetap tak juga dikaruniai anak. Dan mereka yang sehat, segar bugar, justru membuang anak mereka seperti barang bekas. Sungguh biadap! Mobil Midas berhenti tepat di halaman rumah yang cukup besar, rumah tiga lantai dengan banyak aksen kaca sebagai dindingnya. Pintu rumah itu terbuka lebar yang dari kejauhan saja sudah menampilkan balon-balon dan hiasan ulang tahun. Seorang putri kecil berlarian menyambut ayahnya, wajahnya cantik dengan rambut panjang yang dibiarkan tergerai, juga baju pesta yang indah berwarna putih dan biru. “Papa!!” teriaknya, sekali lihat saja Laras sudah yakin bahwa gadis kecil itu adalah Leonita. Anak dari Midas. Laras masih berdiri di sisi pintu mobil ketika Midas memeluk Leonita dan merengkuh dalam gendongannya, hingga Leonita memperhatikan Laras dengan seksama dan meminta turun dari gendongan sang ayah. “Mama?” tanya Leonita, dan tanpa bisa dicegah gadis kecil itu berlari memeluk Laras sambil menangis. “Mama datang!! Papa, doa Leon terkabul! Terima kasih Tuhan!!” teriak Leonita membuat Laras serba salah, Laras menatap Midas dengan pandangan bingung, Midas menghela napas kasar dan menunduk, bagaimana menjelaskan kepada Leonita. Lihatlah anaknya yang terisak sambil memeluk pinggang Laras. Hingga Laras menunduk dan memeluk Leonita yang terisak. “Leonita masuk dulu yuk, papa mau bicara sama kamu,” ujar Midas, tampak seorang Nanny berpakaian khusus pengasuh anak itu menghampiri mereka, dan Midas memberikan box kue pada wanita itu. “Mbak, lihat mama aku datang! Apa aku bilang, papa pasti bawa mama saat aku ulang tahun,” ucap Leonita, seorang wanita yang tampak berumur menatap dari kejauhan dengan mata berkaca-kaca. Dialah ibu Midas, yang menatap sedih pada Leonita sang cucu yang bahkan seumur hidupnya tak pernah mengenal ibunya. Setiap tahun dia diajak ke makam sang ibu, namun anak berusia tiga tahun itu masih tak mengerti bahwa ibunya telah terbaring dibawah gundukan tanah itu, dia selalu berdoa pada Tuhan setiap malam sebelum tidur untuk mendatangkan mamanya. Dan saat ini, dia merasa wanita yang didekapannya adalah sang ibu, pantaskah mereka membuat Leonita bersedih di hari ulang tahunnya? Midas berusaha mengambil Leonita dari dekapan Laras namun gadis kecil itu memeluk erat dan tak mau melepas pelukannya, hingga Laras menggeleng dan meminta Midas untuk tak mengambil Leonita. Dia pun akhirnya masuk ke rumah itu sambil menggendong Leonita. Rumah telah dihias dengan banyak pernak pernik lucu dan balon yang berada di setiap tembok, Laras melihat foto pernikahan besar dihadapannya, tak ada kemiripan dirasa dengan wanita itu kecuali tinggi tubuh mereka yang sama. Namun setelah melihat dengan seksama, dia cukup terkejut mendapati tatapan mata wanita bergaun putih dan senyumnya mirip dengannya. Laras memejamkan mata beberapa detik dan menoleh pada Midas. Pantas saja Leonita menebak dirinya adalah ibunya, senyum dan mata mereka cukup mirip meskipun tak serupa. Lalu Laras duduk di sofa memangku Leonita yang memegang kedua pipinya. “Mama selama ini kemana aja sih? Mulai sekarang mama nggak boleh pergi lagi ya? Mama harus temenin aku!” ucap Leonita sambil menangkup pipi Laras, Laras hanya mengangguk tanpa banyak berbicara. “Leonita, ini tante Laras, bukan mama Leon, mama Leon kan sudah disurga sama Tuhan,” ucap Midas dengan suara lembut namun justru membuat Leonita terisak dan mendekap erat Laras. “Ini mama aku! Papa jahat!” ujar Leonita. “Mas, sudah nggak apa-apa,” ucap Laras, melihat pandangan Midas yang tampak tak enak melihatnya. “Maaf Laras, saya tak tahu jika jadi seperti ini,” tutur Midas. Ibu Midas menghampiri mereka dan tersenyum pada Laras. “Leon, kasihan mamanya baru datang mau istirahat dulu, Leon cuci muka dulu sama mbak ya, kan sebentar lagi teman-teman mau datang,” ujar ibu Midas sambil mengusap punggung Leonita. Gadis itu mengangkat wajahnya dan terisak. “Mama jangan kemana-mana ya? Janji?” ucap Leonita sambil mengulurkan jari kelingkingnya. Lalu Laras membalas tautan kelingking itu dan mengusap air mata di pipi Leonita. Kemudian mbak pengasuh Leonita menggendong gadis kecil itu dan membawa ke kamarnya. “Maaf ya, Leonita selalu mendambakan ingin punya mama,” ucap ibu Midas, “nama kamu siapa? Saya mamanya Midas,” ucapnya. “Saya Laras, tante. Iya tidak apa-apa saya mengerti, kasihan Leonita.” “Untuk hari ini saja, tolong berpura-pura jadi mamanya ya, saya tak sampai hati jika melihatnya bersedih saat ulang tahun, saya mohon,” pinta ibu Midas. “Ma,” rengek Midas kepada ibunya, tak setuju dengan ide itu, namun Laras menggeleng pada Midas. “Tadi Mas sudah bantu saya, sekarang gantian saya yang bantu Mas ya, saya juga tidak tega lihat Leonita menangis,” ucap Laras. Ibu Midas memegang tangan Leonita dan tersenyum hangat. “Terima kasih ya nak, kamu anak baik,” ucapnya yang entah mengapa membuat hati Laras terasa hangat. Untuk hari ini saja, dia akan berpura-pura menjadi ibu Leonita, sebagai hadiah ulang tahun yang diberikan kepada gadis kecil itu. ***  
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN