Chapter Enam

1810 Kata
        Perjalanan Aster berakhir di depan sebuah rumah kecil yang sudah sangat berkarat. Dapat ditebak bahwa umurnya sebanding dengan sang pemilik. Bahkan keadaan ruangan yang gelap tidak kalah menyeramkan dengan ruangan di perpustakaan. Dari luar, Aster tidak dapat menangkap apapun yang ada di dalam rumah kecil tersebut.         Josh mempersilahkan kedua tamunya masuk ke dalam lalu menutup pintu. Sebagai pemilik rumah, dia sudah terbiasa dengan keadaan tersebut. Berbeda dengan Aster dan Ethan yang harus sangat hati-hati dalam melangkah. Mereka tidak ingin terjatuh dan membuat kerusakan di dalam rumah seseorang yang baru saja mereka kenal.         “Duduk!” perintah Josh.         Semula Aster dan Ethan kebingungan mencari-cari di mana letak benda yang dapat mereka gunakan untuk duduk. Sesaat sebelum Aster memutuskan untuk duduk di atas lantai, matanya mulai bisa menangkap keberadaan kursi panjang yang kosong. Ditariknya baju Ethan pelan sambil berjalan ke arah kursi. Benda itu berdecit saat ada yang menimpanya. Aster mulai merasa khawatir kursi tersebut akan hancur karena berat tubuhnya.         “Apa yang kalian inginkan dariku?” tanya Josh langsung setelah kedua tamunya menemukan tempat duduk.         “Kami ingin menanyakan sesuatu tentang kota ini, juga mengenai sejarahnya. Karena kami pikir tidak ada yang lebih mengerti selain pendirinya sendiri.”         Josh masih belum diam di tempat duduk saat Aster sedang berbicara. Dia sibuk mengecek semua penutup jendela, menyalakan sebuah lampu minyak dan membuka tudung yang menutupi kepala. Kini tato bergambar capung terlihat jelas, meski tidak sejelas dulu karena kulitnya yang mengendur.         Ruangan menjadi remang-remang. Aster mulai bisa memandang ke sekitar. Terlihat semua lubang yang merupakan jalan masuknya cahaya tertutupi kain hitam. Sementara mereka sendiri harus dipuaskan oleh cahaya dari lampu minyak yang temaram. Aster tidak berani menanyakan apa-apa sebelum Josh terlihat tenang, duduk di atas kursi yang berhadapan dengan dirinya.         Josh bersantai di atas kursi lapuk. Memandangi Aster dan Ethan yang terdiam seribu bahasa, padahal ada banyak hal yang ingin mereka tanyakan. “Kalian ingin tahu kenapa aku harus melakukan semua ini?” tanya Josh seakan bisa membaca ekspresi mereka. Suaranya sudah sangat serak, tapi terlihat sehat. Sebenarnya, Aster dan Ethan beranggapan bahwa umur Josh akan jauh lebih tua dari kelihatannya sekarang. Atau bahkan sudah tidak ada karena jarang sekali ada orang yang berumur sangat panjang.          Aster hanya mengangguk setelah mendapatkan pertanyaan. Sementara Josh kembali berbicara, “Aku merasa ada yang selalu mengawasiku di kota ini. Membuatku tidak tenang. Bahkan jika tidak menggunakan penutup kepala ini, aku memilih untuk terus diam di dalam rumah.”         “Si-siapa yang mengawasi Anda?”         “Sesuatu dengan kekuatan yang besar.” Kedua tamunya itu saling berpandangan satu sama lain. Wajahnya menggambarkan bahwa mereka mulai merasa ngeri saat mendengar cerita. “Ngomong-ngomong, kenapa kalian begitu ingin mengetahui tentang kota ini?”         “Entahlah, aku merasa ada banyak rahasia di sini.”         “Rahasia apa?”         “Jika aku sudah tahu, tidak mungkin sekarang ada di sini. Aku yakin Anda bisa memberitahu kami tentang semuanya.”         “Tidak ada yang bisa aku beritahukan. Kota ini tidak memiliki rahasia apa-apa. Kalian hanya membuang waktu untuk berbicara bersama orang tua sepertiku.”         “Aku tidak percaya,” sahut Aster penuh percaya diri.         “Lantas apa yang ingin kamu dengar jika orang yang diharapkan memiliki jawabannya pun berkata bahwa dia tidak tahu apa-apa?”         Aster terdiam sesaat. Dia tidak puas mendengar semua yang dikatakan Josh. Dia tahu benar pria tua tersebut sedang menyembunyikan sesuatu.         “Lebih baik kalian pulang kalau begitu.”         “Aku ingin tahu mengenai Orion!” timpal Aster cepat. Kini Josh terdiam melihat tamunya yang memandang dengan tatapan sinis.         “Jangan pandangi aku seperti itu! Membuatku semakin tidak nyaman.”         “Maaf,” balas Aster singkat.         Josh menghela napas panjang. Ada perasan enggan di dalam hatinya untuk bercerita. Atau mungkin perasaan takut akan dampak setelahnya. Tapi dia mulai merasa bahwa gadis di hadapannya itu sangat keras kepala. Tidak akan pergi sebelum mendapatkan apa yang menjadi keinginannya.         “Jika kamu mengenaliku dari sebuah buku, maka itu semua sebuah kesalahan. Aku bukanlah pendiri dari kota ini.”         “Lalu siapa?”         Josh terdiam sejenak. “Orang tuaku lebih dulu ada di sini sebelumku.”         “Jadi orang tua Anda yang membangun kota ini?” Josh kembali terdiam. Kini tidak memberikan jawaban. “Tolonglah, aku sudah lelah dengan semua rahasia yang ada. Entah kenapa semua orang rasanya menyembunyikan sesuatu dariku. Dan sekarang Anda pun begitu. Sesulit itukah menjelaskannya? Aku hanya ingin tahu tentang kota ini dan arti dari kata orion.”         Josh mengambil cangkir serta teko yang berisi air dari atas meja di hadapannya. Aster melihat tangannya bergetar hebat. Namun Aster pun tahu hal itu bukan disebabkan oleh usianya yang tua, melainkan karena ketakutan akan sesuatu.         Josh meminum sedikit air untuk membasahi tenggorokannya yang mulai mengering. Setelah itu, dia kembali berbicara setelah berpikir panjang mengenai apa yang akan dia katakan. “Semua ini memang serumit yang kamu bayangkan. Tidak mudah untuk bisa mengatakannya. Kamu tahu? Ini semua menyangkut nyawa.”         “Apa maksudmu?” tanya Aster. Bahkan dia sama sekali tidak memberikan waktu bagi Ethan untuk bertanya. Teman lelakinya itu hanya terdiam sembari mendengarkan dengan seksama.         “Sebenarnya aku tidak terlalu banyak tahu. Tapi yang jelas, aku bagian dari semua ini.” Wajah Aster semakin terlihat tidak mengerti. “Jika kamu ingin tahu semua kenyataan yang ada, kamu harus menemukan Orion. Merekalah yang membangun kota ini. Mereka pulalah yang selama ini aku takutkan. Membuatku hidup dalam tempat ini dan harus bepergian dengan menyembunyikan wajah. Aku sudah cukup tenang karena orang-orang menganggap lelaki bernama Josh sudah mati sejak lama. Sekarang mereka mengenalku dengan sebutan Van.”         “Mereka? Apa itu berarti Orion merupakan nama sebuah kelompok atau sebagainya?”         “Ya, yang kutahu seperti itu. Dengar, nak! Aku benar-benar tidak bisa membantu banyak. Mereka sudah melakukan sesuatu yang membuatku tidak bisa mengingat apapun selain semua bencana yang tempo hari terjadi. Namun perlahan aku mulai mengingatnya. Aku ingat bahwa mereka adalah sebuah organisasi yang pantas untuk diwaspadai, meski aku tidak tahu kenapa. Tapi berhati-hatilah! Firasatku mengatakan bahwa lebih baik kita menghindari mereka.”         “Masih adakah yang Anda ketahui selain itu? Kami janji tidak akan membuat Anda berada dalam bahaya. Dan kami akan membantu Anda agar tidak perlu hidup dalam ketakutan lagi seperti sekarang.”         Josh menarik napas. Dia mulai menenangkan dirinya sendiri. “Tidak apa-apa. Tidak perlu mengkhawatirkanku. Aku sudah terlalu tua, tidak ada lagi yang patut untuk kutakuti. Bagaimana pun sebentar lagi aku akan mati.” Dia tertawa. “Aku sangat bodoh, selama ini membiarkan diriku terkurung dalam tempat ini. Menakuti hal yang keberadaannya pun tak nampak. Bodoh sekali.”         Aster tidak bisa menanggapi apapun dari kata-kata tersebut. Dia kembali diam membiarkan Josh puas mengeluarkan isi hatinya. “Sepertinya ini saatnya kalian mengungkap semua yang terjadi. Dan sudah waktunya aku memberikan sebuah benda yang selama ini kusembunyikan.”         Pria tua itu berdiri dengan kepayahan dari kursinya. Dapat terdengar suara tulangnya yang seakan mulai patah satu-persatu. Membuat Aster merasa sedikit ngilu.         Josh berjalan menuju lemari kecil yang tidak jauh dari sana. Membuka salah satu lacinya dan mengambil sehelai kertas yang terlipat. Aster menerima benda lusuh tersebut. Memandanginya tanpa langsung membukanya.         “Buka saja! Aku memberikan itu kepada kalian. Hanya itu bentuk bantuan dariku.”         “Terima kasih,” ucap Aster.         “Kalau bisa, kalian pulanglah sekarang! Sebenarnya aku tidak mengerti apa yang ada di dalam kertas itu. Kalian tahu, otakku sudah tidak bisa bekerja seperti dulu. Berpikir sedikit saja membuat kepala ini sakit.” Dia tertawa terkekeh-kekeh. “Anak muda seperti kalian pasti dapat menemukan sesuatu dari secarik kertas itu. Dan sekarang, aku ingin menikmati waktuku sendiri.”         Ethan mengangguk ke arah Aster. Memberi isyarat bahwa sebaiknya mereka bergegas pergi dari tempat tersebut.         Josh terduduk lemas pada kursinya saat mereka berdua pamit untuk pergi. Aster merasa khawatir meninggalkannya sendirian. Sepertinya tidak ada orang lain yang tinggal bersama dengannya. Pria tua itu selama ini telah mengurusi dirinya sendiri. Bahkan pemandangan itu jauh lebih menyedihkan dibanding yang terlihat di panti jompo. Air mata Aster pun mulai menggenangi matanya.                                                                                                  ***         Aster dan Ethan memutuskan untuk pergi ke atas menara sekolah. Tempat yang menjadi kesukaan mereka berdua. Setelah sampai barulah mereka buka lipatan kertas tadi untuk melihat isinya. Empat buah bulatan kecil tergambar acak di dalam sebuah lingkaran besar. Ada nama-nama yang tertera di samping tiap bulatan. “Beteligeuse, Meissa, Bellatrix. Apa itu?”         “Mungkin nama sesuatu yang ditandai oleh bulatan-bulatan ini.”         Di ujung atas kertas tertera tulisan Bellgeussa. Serta tulisan Orion turut menyertai lembaran di sebelah kanan bawahnya. Terdapat sebuah tulisan yang ditulis oleh seseorang. Tintanya hampir luntur karena suhu. Namun untungnya Aster masih bisa membaca kalimat tersebut. ‘Tujulah gerbang kebebasanmu yang berada di tengah Orion!’.         Aster kembali menarik napas. Memberikan kertas tersebut kepada Ethan dan beralih memandangi lautan. “Lagi-lagi harus sesuatu yang tidak kumengerti yang kita dapat. Selalu saja sebuah misteri datang setelah kita menyelesaikan misteri sebelumnya. Kapan ini semua berakhir?”         “Kenapa kamu jadi cepat berputus asa seperti itu? Ayo semangat!”         “Aku sedang merasa lelah dengan semua ini,” jawab Aster sembari menenggelamkan wajah di atas lipatan tangannya.         “Kamu ingin menyerah? Padahal aku merasa mengetahui sesuatu mengenai tanda-tanda ini.”         “Benarkah?” Aster bergegas membenarkan posisi duduknya. Menatap Ethan yang tersenyum dengan jahil.         “Tapi sekarang aku sudah malas untuk memberitahunya. Soalnya kamu sendiri sudah tidak bersemangat.”         “Itu tidak benar! Aku masih semangat seperti biasanya. Ayo beritahu aku, Ethan!”         “Hmmm,” dia berpura-pura memasang wajah malas.         “Ayolah, Ethan!”         Semakin melihat ekspresi memelas gadis di sampingnya itu, semakin tidak tahan dia untuk menahan tawa. Ethan tersenyum. “Baiklah. Dengarkan dengan seksama, aku tidak akan mengulanginya dua kali!” Aster memasang telinganya dengan seksama. “Saat mencari mengenai kata orion, kita membaca semua buku tentang rasi bintang bukan? Ternyata hal tersebut sangat berguna sebagai kunci dari tulisan ini. Apa kamu masih ingat gambar dari rasi bintang orion dalam buku?”         “Hmm, sepertinya masih.”         “Entah kamu memperhatikannya atau tidak, tapi aku masih ingat bahwa bintang-bintang dalam rasi orion memiliki nama tersendiri. Tiga di antaranya adalah Bellatrix, Meissa, dan...”         “Betelligeus!” ujar Aster mulai merasa senang.         “Jadi, kamu pasti mengerti tentang kalimat itu. Satu-satunya yang berada di tengah rasi orion adalah bintang yang di apit oleh bintang Mintana dan Alnitak. Coba pinjam pensilmu!”         Aster memberikan pensil miliknya ke tangan Ethan. Lelaki itu bergegas membuat beberapa coretan tipis di atas kertas. “Nah, di sepanjang garis inilah kira-kira tempat yang dimaksud oleh kalimat tersebut. Sepertinya seseorang ingin kita menuju ke sana.”         “Tapi, kita tidak sedang berada di luar angkasa, Ethan!”         Lelaki itu hanya terdiam dengan senyuman penuh arti pada wajahnya. Aster sesaat merasa bingung harus menanggapi seperti apa. Namun akhirnya dia sadar bahwa Ethan ingin memberitahukan sesuatu yang dia pun seharusnya sudah mengerti.         “Brilian, Ethan!”         “Sudah dari dulu.”         Aster mengepalkan tangan lalu memukulkannya pelan ke arah lengan Ethan. Kembali bercanda seperti yang selalu mereka berdua lakukan.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN