Bertemu Punai yang Terlepas

1154 Kata
Bapak membuatku seperti seekor burung yang dipaksa terbang tanpa sayap. Dan aku mulai menyadari itu setelah aku berada di sangkar besar bernama Jakarta. Hari ini, dengan panasnya ibu kota yang mengibarkan amarah, aku terus berjalan menjajakan ijazah yang kupunya. "Maaf Mbak, pelayan di sini sudah penuh." Lelaki dengan seragam toko itu meyerahkan map coklat yang baru saja aku sodorkan. Ini sudah toko kesepuluh, tapi sama dengan toko-toko sebelumnya, map coklat itu kembali ke tanganku tanpa sedikit pun mereka mengintip isinya. Aku mengangguk dan kembali melakukan perjalanan untuk menjajaki toko demi toko yang mungkin saja bersedia menerima karyawan dengan ijazah tingkat rendah. Perjalananku terhenti tepat saat matahari berada tepat di atas kepala. Aku memilih beristirahat sejenak. Kursi dari besi di tengah taman dengan payung pohon pucuk merah menjadi pilihan.. Di sana aku duduk dengan tanganku yang menghapus titik-titik air di pelipis, mengibas-ngibaskan map coklat untuk megusir panas yang sedari terasa membakar kulit setelah seharian berkeliling mencari pekerjaan. Bukan hanya hirup-pikuknya, tapi juga semuanya terasa begitu kontras. Aku pernah mendengar jika seseorang merantau artinya sudah siap dengan dua kemungkinan yang presentasenya setengah banding setengah. Antara disambut karpet merah menuju kesejahteraan, atau terjerumus jurang kemiskinan. Di Kampung Langit semua begitu mudah didapatkan untuk mengisi lambung. Dari daun singkong asal cabut untuk dijadikan lauk, sampai air jernih yang mengalir di tebing bisa mendinginkan tenggorokan yang kering kelontrang secara gratis. Di sini sesuap nasi harus ditukar dengan peluh yang diperas kerasanya ibu kota, dan segelas air kemasan yang beredar yang tentu saja tak bisa sembarangan diteguk untuk membasahi rongga mulut. untuk bisa menikmati semua itu aku butuh benda bernama uang. "Air mbak." Pedagang asongan menglurkan satu botol air mineral ke arahku, di pundaknya tersampir kotak kayu yang berisi beberapa botol air mineral juga berapa slot rokok. "Boleh, Pak. Berapa?" tanyaku. "Lima ribu saja," jawabnya. Bapak itu menyerahkan botol mineral itu ke tanganku. Aku memandangi sejenak botol itu. 'Saja' katanya. Mungkin jika bukan di kota besar harga sebotol air meineral ini hanya kisaran tiga ribu rupiah. Harga air mineral di genggamanku saat ini adalah bukti bagaimana kerasnya ibu kota mencambuk para manusia untuk mengumpulkan pundi-pundi uang. Sehingga harga yang tidak wajar menjadi "Mbak dari kampung?" Aku menjawabnya dengan senyum dan sedikit menganggukan kepala. "Cari kerja ya Mba?" tanyanya kembali. Kulihat matanya tertumpu pada map yang sedang kupegang. "Iya pak." jawabku singkat. "Cari kerja di sini susah mbak. kalau nggak pakai uang yang susah." Bapak menjual asongan itu mulai membuka percakapan. Tanpa permisi ia duduk di sampingku. Melepas topi lusuhnya lalu mengibas-ngibaskan ke lehernya. "Pakai uang?" tanyaku. Ini menarik. Beginilah hitamnya ibu kota. Hingga untuk mencari uang pun harus memancingnya dulu dengan uang. "Iya pakai uang. Di sini nepotisme meraja lela Mbak. Anak saya yang baru lulus sekolah baru saja bekerja. Tapi ya gitu, pake ini." si bapak menggesekan jari jempol dengan telunjuknya. "Kenapa harus gitu?" tanyaku seraya mengerutkan kening. "Lah si Mbak. Di sini ya gitu, kalau saya nggak ngeluarin uang ya anak saya nggak kerja-kerja." "Tapi mungkin nggak semua kan Pak?" "Ya nggak. Cuma kebanyakan kaya gitu. Kalau nggak ikut arusnya ya bakal lama kerjanya," tuturnya. Aku ber oh panjang . Bapak penjual asongan bericara banyak tentang banyak hal. Terutama tentang peliknya hidup di ibu kota. Bagiku hidup itu sederhana, berladang, makan, tidur dan mencari ilmu. Rupanya tidak untuk wajah ibu kota. Di mana orang-orang berlomba menodongkan senjata tak kasat mata, untuk memeras keringat juga darah agar para mafia terisi lambungnya. Hingga mau tak mau rakyat kalangan bawah seperti penjual asongan ini memilih mengikuti arus, memilih tak ingin ambil pusing, membiarkan isi dompetnya, hasil ia menabung bartahun-tahun ludes di sedap manusia-manusia tak berperasa. Satu hal yang membuatku tersadar. Di kota besar seperti ini, ketika simpati dan empati rasanya mahal sekali. Kenapa Dinda membantuku. Asal kalian tahu saja, seminggu sudah aku tidur dan makan di tempatnya. Dan sejauh ini aku tak pernah tahu atas dasar apa ia membantuku. Kami tak pernah berbicara panjang lebar, hanya seperlunya saja. Seperti hal nya hari-hari sebelumnya, ia hanya akan menanyakan hal-hal yang terkesan basa-basi saja. Seperti ... apakah aku mendapatkan pekerjaan dan lain sebagainya. Dinda tak banyak waktu untuk berbicara banyak denganku. Ia akan pulang pagi-pagi buta, berbincang sedikit, membersihkan diri lalu tidur. Sedangkan aku akan pergi setelah matahari merangkak naik, kembali menjajakan ijazah menengah atasku. Sejauh ini aku tak pernah tau apa pekerjaannya, meskipun hatiku tergelitik ingin tahu apa yang wanita berpakaian sexy itu lakukan, tapi urung kulakukan karena itu dapat membuatku melangkah keluar dari ranah yang seharusnya. "Mbak sendiri kenapa merantau? Enak di kampung Mbak. Nggak ada dasi bisa cabut singkong buat makan. Di sini mana bisa Mbak. Tanah aja tinggal se uprit, habis sama cor-coran jalan." tanyanya. Aku tersenyum getir mendengar pertanyaan si Bapak penjual asongan. Merantauku bukan untuk memperbaiki ekonomi, tapi karena tersisih dari Kampung Langit akibat kelakuanku sendiri. Setelah malam itu pertintah Bapak merupakan ultimatum tak bisa dibantahkan, mau tak mau suka tak suka aku harus menjadi bagian Ibu Kota. Kata Bapak hanya orang-orang kota yang bisa menerima kekuranganku. Sedangkan orang-orang Kampung Langit, apabila melihat dosaku, mereka tak akan segan mencambukku. Aku bisa mengerti pilihan Bapak. Tak ingin putrinya menjadi bahan arak-arakan orang. Namun, di sisi lain kurasa merantau bukanlah jalan keluar yang baik. Entahlah ... Rasanya aku sedang mengalami perumpamaan buah simalakama. "Bapak sendiri kenapa merantau?" tanyaku balik tanpa berniat menjawab pertanyaannya terlebih dahulu. "Hehe." Si Bapak menggaruk-garuk kepalanya, "saya kepincut sama orang sini Mbak," jelasnya dengan senyum malu-malu. Kami kembali berbicara panjang kali lebar. Bukan aku, tapi Bapak itu. Aku lebih banyak memasang telinga untuk mendengarkan. Di tengah Bapak penjual asongan yang belum ku ketahui namanya itu bercerita, mataku tidak sengaja tertuju pada punggung lelaki yang sepertinya kukenali dari jarak jauh. Lelaki itu baru saja keluar dari mobil berwarna hitam yang tampak mewah. Tak perlu waktu lama untuk meyakini tubuh siapa yang baru saja menyebrang di bahu jalan. Itu tubuh lelaki yang membuat hidupku luluh lantah, lelaki yang mengorek tinta hitam yang sulit dihapuskan. Dia lelaki yang awalnya semua kerumitan hidupku. Dunia serasa terhenti persekian detik. Air kemasan dalam genggamanku tiba-tiba saja jatuh. Semua syaraf otot di sekujur tubuh terasa melemah. Aku tahu dia ada di Jakarta, tapi tak pernah terbayangkan bahwa dengan luasnya ibu kota, takdir membawa aku bertemu dengan dirinya. Dia! Aku berpamitan ke Bapak tersebut. Dengan segera aku bergegas menderapkan langkah mengikuti jejak lelaki itu. Ia masuk ke gank kecil melewati rumah-rumah kumuh. Sepanjang jalan bau sampah menyengat. Lalat-lalat menari berterbangan mengeluarkan nyanyian sumbang. Aku terus mengikutinya mengendap-endap. Ia terhenti di satu titik. Di tempat yang di sekat oleh empat sudut tembok besar dengan mural-mural seram di setiap sudutnya. Bukan gedung utuh. Ini seperti bekas gedung dengan beratapkan langit. "Bawa dia kesini!" Suara lelaki itu terdengar dengan ponsel di menempel di telinga. Dengan gemetar aku menyembunyikan tubuhku di balik tembok yang memilik lobang cukup besar. Di balik lubang itu pula aku bisa melihat apa yang terjadi. Pekikan, darah, dan ... Pistol. Di saat itu, barulah aku tahu, lelaki yang kusangka malaikat ternyata iblis mengerikan.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN