10. Manis dan Cokelat

1794 Kata
Pulang sekolah, Elsa benar-benar lesu tak bersemangat. Ketiga sahabat barunya berjalan dengan riang di sisi kanan dan kirinya. “Ikut main gak, El?” tawar Arum. “Maaf, mungkin lain kali saja.” “Eh, eh. Lihat. Ada Kak Adam,” bisik Irra. Wajah Elsa mendongak. Melihat ke arah yang dimaksud Irra. Di antara kerumunan siswa, seseorang bersandar di tembok dekat lift. Pemuda itu tersenyum. Ramah membalas sapaan adik-adik kelasnya. Seolah mengerti sedang dilihati seseorang yang sedang ia cari, Adam menoleh. Melihat pada Elsa. Ia berjalan mendekat, memancing jerit tertahan ketiga sahabat Elsa. “Kak Adam,” sapa ketiga sahabat Elsa. Bahkan Tina yang biasanya pendiam sekalipun. “Hai,” balas Adam dengan senyuman. Ia beralih pada Elsa. “Selamat sore,” sapanya pelan. “Sore,” balas Elsa gugup. ‘Untuk apa Kak Adam menemuiku?’ batin Elsa takut. Beberapa anak kelas dua yang masih di lantai tiga melirik-lirik, melihat Adam dan si murid baru. “Boleh aku pinjam Elsa sebentar?” izin Adam pada Irra dan dua temannya. “T-Tentu saja, Kak. Silakan,” jawab Irra. Elsa memandang temannya dengan bibir manyun. “Kenapa mudah sekali memberikanku pada orang lain?” tanyanya cemberut. “Sudah, sudah. Sana..” kata Irra mendorong Elsa pada Adam. “Semangat!” ucap Arum dan Irra. Mengembuskan napas kesal, Elsa melihat pada kakak kelas di depannya. “Ada yang bisa saya bantu?” tanyanya. Adam tersenyum. “Ayo sambil jalan, aku ingin memberitahumu sesuatu.” “Hm.. Baiklah.” Elsa berbalik, melihat pada teman-temannya. “Aku pulang dulu ya,” pamitnya. “Iya. Nggak langsung pulang juga gak papa kok,” goda Irra disambut dengan cekikian Arum. “Terima kasih,” kata Adam pada mereka. Kedua siswa beda kelas tersebut melangkah beriringan. Mungkin karena Elsa tahu kalau Adam menyukainya, jadinya dia tidak segan saat berjalan di samping pemuda baik tersebut. Beberapa kali, punggung tangan mereka bersentuhan. Elsa berani bersumpah, dia bisa merasakan tangan Adam bergetar gugup! “Em.. Kakak gak perlu terlalu gugup di dekatku. Aku cuman cewek biasa kok, Kak,” kata Elsa menyemangati. Adam menggaruk tengkuk. “Hehe, gimana ya.. Mungkin gara-gara kemarin, aku jadi agak gugup.” “Nggak papa kok. Aku nggak masalah,” kata Elsa lagi. Kali ini dengan senyum tulus. “Kamu tahu, sebentar lagi aku lulus,” kata Adam. “Tentu saja. Kan Kakak sudah kelas tiga,” canda Elsa. Langkah mereka sudah tersinkron, melangkah dengan irama yang sama menuruni tangga demi tangga. “Betapa aku menyesal. Kenapa kita baru bisa bertemu saat aku sudah mau lulus.” “Hehe, sabar, Kak. Nanti kalau Kakak kuliah pasti bakalan ketemu cewek yang lebih cantik dariku.” “Ugh. Cinta itu bukan hanya tentang wajah, El.” “Oh ya? Lalu tentang apa? Tunggu, tunggu. Apa Kakak tadi bilang mencintaiku?” Adam berhenti melangkah. Begitupun dengan Elsa. Di tengah tangga yang penuh lalu lalang siswa, mereka saling berpandangan. Satu gugup, satu lagi berbinar jail. Adam berucap gugp, “Apa jika aku katakan aku mencintaimu kamu akan percaya?” “Hahaha. Tentu saja tidak. Mana ada cinta? Kita hanya bertemu beberapa kali, Kak. Mungkin Kakak hanya suka saja dengan wajah cantikku.” Adam tersenyum miris. “Haha. Ya, mungkin saja.” “Kita harus segera turun. Bukankah Kakak bilang mau ada turnamen? Pasti setelah ini harus latihan lagi.” Adam menunduk murung. Mengikuti Elsa yang kini berjalan mendahului. Sementara Elsa berjalan sambil bersenandung ria, Adam melihatinya gelisah. Ingin mengatakan sesuatu tapi tak yakin. “Adam woy... Cepet ganti seragam...!!” teriak seorang siswa dari lapangan. Melihat Elsa di samping Adam, siswa tersebut merengut. Seperti cewek yang ditinggal selingkuh saja. “Bentar!” balas Adam berteriak. “Aku akan mengantarmu ke parkiran,” katanya pada Elsa. “Terima kasih. Padahal aku bisa kok ke sana sendirian, hehe.” Adam masih murung. Tampak gelisah berjalan di sebelah Elsa. Pemuda itu menunggu dan melihat dengan saksama saat Elsa memakai helm sepedanya. ‘Meski helm itu sudah pudar warnanya, tetap cantik jika Elsa yang pakai,’ batin Adam liar. ‘Ugh, betapa aku ingin beliin Elsa helm baru.’ Pemuda itu berdehem, mematikan imajinasi di kepalanya. “Elsa,” panggilnya. “Iya, Kak?” “Aku punya sesuatu untukmu.” Adam membuka ransel yang terselempang di bahu kanannya. Satu kotak kado berwarna merah jambu ada di tangannya. “Untukmu,” kata Adam, memberikan kotak itu pada Elsa. Elsa mengulurkan tangan. Menerima pemberian Adam. “Terima kasih. Apa aku boleh buka sekarang?” tanyanya. “Terserah kamu, hehe.” Tersenyum, Elsa membuka kotak di depannya. Dia memang selalu begitu jika menerima hadiah dari orang lain. Jika dia merasa tidak pantas mendapatkannya, dia akan langsung mengembalikan hadiah tersebut. “Ponsel? Untukku?” tanya Elsa dengan mata lebarnya. “Iya. Untuk kamu.” Secepat senyum datang menghiasi wajah Elsa, secepat itu juga senyum cerah itu menghilang. Gadis itu mendorong kotak itu kembali pada Adam. “Maaf, Kak. Sepertinya aku tidak bisa menerima pemberian Kakak.” Tersenyum, Adam kembali mendorong kotak tersebut. “Tenang saja. Aku janji tidak akan memintamu berkencan lagi setelah ini. Tapi kalau kamu yang ngajak, aku juga tetep mau sih, hehe.” Elsa bimbang. “Ambil saja, ayolah...” desak Adam memaksa. Cengiran lebar tak pernah luntur dari wajah tampannya. Elsa sedikit takjub melihat wajah pemuda itu. “Kakak?” panggil Elsa. “Iya?” balas Adam dengan senyum lebar. “Bagaimana caranya Kakak bisa selalu optimis dan ceria?” Adam tertawa terpingkal-pigkal. Elsa sampai ikut mesem-mesem dibuatnya. “Apa susahnya ceria dan optimis? Jika kamu kesulitan, aku akan mengajarimu!” bilang Adam penuh semangat. “Oh ya?” “Iya.” “Janji?” “Janji.” Adam meangkat tangannya, meraih tangan Elsa untuk ia tautkan jari kelingking mereka. Ia mengangkat tangan mereka setinggi d**a, menatap mata Elsa lurus-lurus. “Jika kamu sedang sedih, sedang ingin tertawa, sedang ingin berbagi keluh kesah, cari saja aku.” “Oh?” Suara sengak mengganggu kesyahduan Adam dan Elsa. Adam memutar mata, terlihat jengkel. “Ada apa ke sini?” tanyanya pada dua siswa berkaus olahraga. “Ada apa ke sini, ada apa ke sini! Latihan woy...!!” teriak mereka bersamaan. Elsa ingin menurunkan tangan mereka, tapi Adam kukuh menahan tangan mereka. Ia sama sekali tak peduli pada kedua temannya yang datang menyusul. “Um.. Sepertinya aku pulang sekarang,” kata Elsa takut-takut. Adam memandang Elsa melas. “Janji dulu,” pintanya pelan. “Janji apa?” tanya Elsa tak kalah pelan. Kedua sahabat Adam ngakak berguling-guling. Adam tak peduli pun. Masih lembut menatap Elsa. “Jika sedang sedih, jika sedang butuh teman, cari aku saja.” Sedikit tersipu, Elsa mengangguk. “Baiklah. Aku janji akan mencari Kakak jika sedang butuh teman.” “Rasain lu, friendzone!” cibir teman Adam. Alis Adam berkedut kesal, tapi masih berusaha menata ekspresinya di depan Elsa. Elsa menurunkan tangan mereka, mengambil kembali tangannya. Tanpa sadar, ia mengelus sendiri jari-jarinya bekas sentuhan dengan Adam. “Um.. Aku pulang dulu, Kak,” kata Elsa sembari memasukkan kotak kado ke dalam tas. Adam menangguk. “Hati-hati di jalan.” Elsa menunggu, tapi Adam tak kunjung pergi. Menahan rasa malunya, ia menuntun sepedanya. Malu-malu menunduk melewati dua senior di samping tiang. “Selamat sore,” sapanya pelan. “Sore, temannya Adam,” goda salah seorang dari mereka. Elsa malu sekali. Ia bergegas menaiki sepedanya. Mengayuh pergi. *** Sampai di rumah, Elsa harus menyingkirkan rasa senangnya jauh-jauh. Dunia kerja yang melelahkan langsung memanggil setibanya di rumah. Ia bahkan belum sempat mengaktifkan ponsel barunya. Hingga larut malam, shift Elsa baru selesai. Tak sanggup rasanya Elsa bahkan untuk sekedar mandi malam. Seseorang mengetuk pintu, membuka pintu kamar Elsa. “Elsa, kamu dipanggil Ibu Kepala,” kata Nancy pada Elsa. Elsa bangkit sebentar. “Terima kasih, Kak.” ‘Apalagi ini?’ batin Elsa lelah. *** Sebelum masuk kantor Bibi Laurent, Elsa mengatur ekspresinya dulu. ‘Tok tok,’ ketuk Elsa pelan. “Siapa?” tanya Bibi Laurent dari dalam. “Ini Elsa, Bu.” “Iya, masuk.” Sebagaimana tata krama pelayan, berdiri lebih diutamakan daripada duduk sejajar dengan seseorang dengan status yang lebih tinggi. Begitu ia diajarkan oleh Bibi Laurent. Gadis muda itu berdiri patuh menjaga jarak. “Tadi Ibu dapat pesan dari Tuan Muda. Dia bilang supaya kamu tidak diberi shift pagi lagi. Tuan Muda kasihan karena kamu selalu datang sekolah terlambat.” “Maaf.” “Hm.. Bagaimana ini. Pelayan yang dulu biasa menemani Tuan Muda sudah tidak bekerja lagi di sini, kalau ada orang baru, Ibu takutnya Tuan Muda merasa tak nyaman.” “Maaf.” Elsa hanya perlu meminta maaf. Dia tahu, Bu Laurent pasti sudah memiliki rencana untuknya. Dan rencananya adalah mutlak. Semua yang dia ucapkan hanyalah kalimat pengantar saja. “Ibu memutuskan-” tuh kan.. “Mulai besok kamu tetap melayani Tuan Muda seperti biasa. Hanya sampai beliau sarapan. Saat sarapan, pelayan lain akan menggantikanmu dan kamu bisa siap-siap pergi sekolah.” “Terima kasih.” “Sudah. Istirahatlah.” “Ibu?” panggil Elsa. Ia tiba-tiba teringat sesuatu. Bibi Laurent yang sudah kembali menekuni buku laporannya mengangkat wajahnya lagi. “Ada apa?” tanyanya. “Um.. Kalau misal saya ikut kegiatan ekstrakulikuler boleh tidak?” Dahi Bibi Laurent mengernyit tak senang. “Bukannya tidak boleh, tapi kamu sadar kan, kalau kamu sekolah dibiayai Tuan Zachary? Harusnya kamu malu dan merasa ingin bekerja lebih keras lagi sebagai ucapan terima kasih.” “Maaf.” “Lagipula, jika kamu pulang semakin sore, lalu kamu sampai di rumah kelelahan, apa kamu bisa bekerja dengan maksimal?” “Maaf.” Bibi Laurent menghela napas panjang. “Ibu tahu sih, sekarang saatnya kamu untuk mencari teman, tapi kamu juga harus ingat. Kamu di sini bekerja. Jika kamu di sekolah seharian, coba hitung, jadi berapa jam kamu bekerja dalam sehari?” “Maaf.” “Yang penting kamu tahu saja.” “Baik, Bu. Saya minta maaf.” “Sudah. Tidurlah.” “Terima kasih, Bu. Selamat malam.” “Malam.” Dengan langkah tanpa suara, Elsa menuju kamarnya. Lelah setelah berjam-jam mengelap buku di perpustakaan, Elsa hanya cuci muka. Langsung naik ke atas kasur. “Oh. Ponselku!” Elsa berdiri. Mengunci kamar. Penuh semangat, ia membuka ransel. Rasa lelah ia singkirkan jauh-jauh. “Hehehe, handphone baru,” ucap gadis itu senang. Yang tidak Elsa duga, rupanya di bawah boks smartphone, ada kotak yang lain. “Cokelat,” bisik Elsa senang. Sebagai seorang wanita, tentu saja Elsa senang mendapat cokelat dari seseorang. Hatinya terasa berbunga-bunga. Apalagi Adam juga berbaik hati menginstalkan beberapa aplikasi messenger dan sosial media untuk Elsa. Di dalam ponsel juga sudah terpasang nomor Elsa kemarin. “Terima kasih, Kakak..” gumam Elsa senang. Malam itu, Elsa tidak tidur sekedip pun. Ia sibuk mempelajari tentang ponsel barunya. Cokelat yang diberikan oleh Adam juga sangat enak dan menyenangkan. Sudah lama sekali sejak ia merasa kenyang dan bahagia seperti malam ini. ***
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN