[1] Mr. Handsome For Breakfast

2060 Kata
[PART 1] . . . . Semua orang pasti mempunyai kebiasaan mereka sendiri. Lebih tepatnya saat pagi datang pukul 6, kebiasaan orang yang santai, duduk bersinarkan matahari yang tidak begitu menyengat. Menyesap s**u hangat dengan pendamping satu slice roti berisikan selai kacang. Masih menggunakan baju tidur yang sedikit tipis dan licin, Satu desahan muncul beriringan dengan uap panas dari gelas s**u tadi, duduk di sebuah kursi yang cukup empuk. Salah satu kakinya terangkat, berpose bak putri anggun. Sosok perempuan berumur 27 tahun itu menyunggingkan senyumnya. ‘Hariku sangat sempurna,’ batinnya sekilas, menempatkan segelas s**u tadi, tanpa menyentuh rotinya, Memperhatikan sekitar, mengingat apartement yang keluarganya tempati berada di lantai 10, dengan kamar yang memiliki jendela kaca besar, memperlihatkan pemandangan kota Jakarta di pagi hari. Maniknya melirik sekeliling, menghela napas panjang. Salah satu tangan bergerak anggun, mengambil satu benda kesayangan. Sunggingan senyum itu perlahan semakin lebar, rona merah di pipi muncul. “Ah! Itu dia!” Memekik tanpa sadar, matanya membulat antusias. Membuang semua keanggunannya tadi. Rambut hitam pendek itu bergerak perlahan, masih menggunakan gaun, wanita itu beranjak dari kursi. Satu aib yang Ia rahasiakan dari siapapun, bahkan dari keluarganya. Sosok wanita rajin, serta penurut yang tidak pernah membantah orangtua, kini berdiri memegang sebuah teropong yang Ia beli online dengan harga khusus. Menajamkan mata, senyuman itu melebar, “Oke, tirainya terbuka!” Menahan air liur yang hampir menetes. Bak orang m***m menggunakan kemampuan matanya dengan baik, saat tirai jendela di seberang sana sudah terbuka sempurna. Sebuah apartement Elite Type II yang berseberangan dengan apartnya. Sebuah keberuntungan mendapatkan kamar dengan kaca lebar dan langsung tertuju keluar. Tubuh tegap tertutupi sebagian oleh handuk putih, check. Kulit sawo matang dengan tetes air sehabis mandi, check.  Rambut seksi yang basah check, dan perut dengan enam kotak menggoda sebagai sarapan paginya, check. Menggantikan semua roti yang dibuatkan untuknya. Tidak bisa menahan tetesan air liurnya, “Hari ini pun dia tetap sempurna, Tuan tampan-ku~” Suaranya berubah, jiwa stalkernya muncul begitu saja. “Eh, kenapa dia?!” Sedikit kaget saat melihat tubuh tegap itu tiba-tiba menunduk sekilas. Ternyata hanya sebentar saja, “Kukira kenapa,” desahnya pelan, mencoba kembali fokus pada pemandangan indah di depan sana. Dirinya menunggu hidangan utama, ‘Ini dia!!!’ Berteriak dalam hati, bak fangirl. Saat tubuh tegap itu berusaha membuka handuknya, memperlihatkan sesuatu di dalam sana, yang masih tersembunyi rapat. Reflek meneguk ludahnya, matanya hampir memerah karena tidak berkedip. “Nona Nara!! Anda sudah bangun?! Cepatlah ke bawah! Nyonya dan Tuan sudah menunggu!” Suara teriakan wanita paruh baya yang sangat Ia kenal, menghancurkan semua momentnya. Dilanjutkan dengan ketukan pintu berkali-kali. Berdecak kesal, pandangannya teralihkan, “Sebentar, Bibi! Aku masih sibuk!” tukas wanita itu cepat. “Sibuk kenapa, Non? Tuan sudah nungguin dibawah lho, sekarang tinggal nunggu Non Nara saja!” Sekali lagi berteriak, wanita paruh baya itu seolah sudah terbiasa dengan tingkah nona-nya. “Ish, iya Bibi! Sebentar lagi!” Mencoba melihat pemandangan langka itu sekali lagi, “Non Nara pasti lagi tidur ya? Ayo Non, sudah umur segitu masih malas-malasan, bangun-bangun! Kan' Non harus kerja sekarang!” Astaga! Satu hari saja kegiatannya tidak pernah tidak diganggu oleh wanita itu. “Tunggu sebentar, Bibi-” “Bi Ina buka pintunya ya, Non!” Terdengar suara kunci cadangan bergemerincing, wanita itu panik. “Ah!! Jangan buka dulu!!” Meringsek panik, suara kenop pintu berhasil dibuka, “Bibi masuk,” Suara itu makin keras, ‘Reputasiku!!’ Reflek membuang teropong kesayangannya sejauh mungkin, jauh darinya. Suara retakan itu membuatnya nangis darah. “Non Nara? Oh, sudah bangun rupanya~” Wanita paruh baya itu berdiri di ambang pintu, dengan wajah lega mengelus d**a, melihat nona-nya sudah jauh dari tempat tidur. Berdiri menatap jendela kamar, dan nampak sehat. “Kan' tadi pelayan sudah memberikanku roti dan s**u, Bibi. Jadi aku tidak perlu sarapan lagi di bawah,” Bergerak menutup tirai jendelanya, saat ekor mata itu melirik, melihat pemandangan indah di sebelah sana sudah menghilang. Tubuh tegap itu sudah lengkap dengan setelannya, pakaian kerja berwarna kehitaman. ‘Hh, sarapan pagiku~’ Membatin kecewa, menatap malas Bibi di depannya. “Non Nara, harus ikut sarapan sama Tuan dan Nyonya, apapun alasannya.” Sosok itu berujar tegas. Dia menyerah, “Hh, baiklah.” desah panjangnya kembali terdengar. . . Vania Nara Keisya, di umur yang ke 27 tahun, berdiri di depan cermin menatap pantulan dirinya yang nampak sedikit berantakan. Mengusap rambut hitamnya yang sengaja dipotong pendek se-pundak, Manik berwarna Amber itu menatap malas. Mengerucutkan bibirnya yang tipis, ‘Hh, kenapa ayah keras kepala sekali?’ Membatin kesal, mengambil sebuah sisir dan merapikan rambutnya, mengikat rambut pendek itu cepat. Setelah membersihkan diri tadi secara kilat, memoleskan wajahnya dengan make up natural, tidak terlalu berlebihan cenderung menyesuaikan dengan kulitnya yang kecoklatan. Menggunakan jeans berwarna dongker kesukaannya, dan baju berwarna biru cerah dengan gambar kartun untuk menyesuaikan pekerjaannya yang berhubungan dengan anak-anak. Satu hal lagi, wanita itu mendesah, “Aku hanya melakukan ini karena suka,” gumamnya sendiri, mengambil satu buah kacamata bulat kesukaannya, menyembunyikan warna mata yang diturunkan dari sang Ibu. Menyelesaikan semua persiapan pagi yang super cepat. Bergerak mengambil tas kecil berwarna abu-abu. Menepuk kedua pipinya cepat,  “Hhh, semangat Nara!” Tak sengaja tangan itu menjatuhkan salah satu parfum, merutuki kecerobohannya. Tubuhnya bergerak hendak mengambil benda itu, “Ugh-” Seperti biasa, rasa sakit itu masih ada saat tubuhnya menunduk terlalu keras. Meringis sakit, berhasil menempatkan parfum itu kembali, “Hh, kenapa sampai sekarang luka ini tidak sembuh juga,” rutuk Nara kesal, reflek memukul pelan bagian perutnya. Menyingkap sedikit bajunya, menatap sebuah jaritan yang cukup panjang di daerah perut, bersinggungan dengan bagian sensitifnya. “Sejak kapan aku punya luka jaritan seperti ini? Kenapa aku tidak bisa mengingatnya sama sekali,” Mendesah panjang. Tidak hanya jahitan pada perutnya saja, Nara bahkan memiliki tanda lahir yang cukup besar. Tepatnya di bagian punggung, berbentuk bulatan dengan warna keunguan muda. Memikirkan itu untuk yang kesekian kalinya, sudah cukup membuat kepalanya pusing. “Ah, sudahlah!” Menutup bajunya kembali. Berjalan meninggalkan kamar, secepat mungkin. Sedikit menyayangkan karena tidak bisa melihat pemandangan laki-laki tampan itu sampai selesai. . . . Sosok sempurna yang baru saja pindah ke sebelah Apartnya beberapa bulan lalu, tepat di samping kamarnya. Setiap pagi memberikan satu pemandangan indah, yang membuat Nara meneteskan air liurnya. Kalian boleh menyebutknya stalker m***m. Tapi tidak salah kan? Toh, laki-laki itu juga sepertinya single, dia juga sering sekali berganti pakaian atau sekedar berjalan-jalan dengan menggunakan handuk saja. Entah tanpa kaos atau hanya celana dalam saja. Kan' salahnya dia, memberikan pemandangan indah untuk Nara. Dia tidak salah sepenuhnya. Nara hanya memanfaatkan situasi, selama sosok itu tidak menangkap basah dirinya. “Setidaknya aku sudah dapat tenaga hari ini~” Tersenyum kecil, memperbaiki letak kacamata bulatnya. Sosok tampan yang nampak sempurna, dengan tubuh tegap, wajah tampan dan perutnya yang kotak-kotak. Bak laki-laki di dalam novel, Tuan  tampan itu sudah menjadi sarapan pagi untuk mata Nara setiap harinya. Ini rahasianya, dan tidak ada yang boleh tahu. . . . Sarapan pagi yang membosankan, Nara menghela napasnya sekali lagi. Saking bosannya, tanpa menyadari tangan yang memegang pisau dan garpu saling bersingungan, menimbulan suara denting yang cukup keras. Merutuk kesal, ‘Ah, sial!’ Menyalahkan sikapnya yang ceroboh. “Jaga table mannermu, Nara. Seorang lady tidak boleh mengeluarkan suara jika sedang berada di ruang makan.” Suara wanita di depannya menginterupsi. Seperti yang Ia duga satu kesalahannya dikritik dengan jelas oleh wanita itu. Manik mber Nara menatap makanannya, enggan menengadahkan wajah. “Maaf, Ibu.” ujarnya tipis. Berniat melanjutkan kegiatan sarapan lebih cepat. “Bagaimana dengan pekerjaanmu, Nara?” Kali ini pertanyaan datang dari sosok paruh baya di samping Ibunya. Laki-laki yang menatapnya, dengan tubuh tegap dan rahang tegas. Nara hanya bisa menghela napas. “Baik, tidak ada yang aneh. Semuanya berjalan lancar.” Menjawab singkat, sosok itu nampak mendengus, mendengar jawaban putrinya. “Kau tahu kan kalau dari awal Ayah tidak suka dengan pekerjaanmu.” Sekali lagi, sebuah protesan kembali muncul. Setiap paginya. Tertutupi kacamata bulatnya, manik Nara memutar malas. “Hh, Ayah tahu juga kan kalau Nara suka dengan pekerjaan ini, Nara suka menjaga mereka dan tidak merasa keberatan dengan itu.” “Maksudmu menjaga anak-anak yang penuh air liur ke sana kemari itu menyenangkan? Menemani mereka bermain, tanpa menghasilkan sesuatu yang bermanfaat. Itu memalukan,” Sosok Ibu tirinya mendengus remeh, di umurnya yang menginjak ke-50 tahun wajah awet muda berkat perawatan yang selama ini Ia dapatkan, berhasil menikahi ayahnya. Bibir yang tidak pernah berhenti meremehkannya secara halus, awalnya Nara sempat marah dengan wanita itu. Tapi lambat laun, rasa marah itu berubah jadi malas. Daripada memperdebatkan sesuatu yang membuatnya pusing, Nara hanya mengangguk paham. “Itu kesukaanku, Bu.” “Kesukaan kau bilang? Dengan pakaian seperti itu?” Manik itu menatapnya, mengecek semua yang Ia gunakan. Nara mendesah. “Kenapa dengan pakaianku?” sahutnya santai. Wanita di depannya menahan tawa, Melinda Jovanka, sosok yang terang-terangan menunjukan sifatnya di depan sang Ayah. “Bajumu, lalu celana jeans yang sudah kotor dan penuh robekan  itu? Oh, ayolah Nara. Dengan penampilan seperti itu sudah cukup membuat ayahmu malu. Umurmu bahkan sudah menginjak 27 tahun. Sudah waktunya kau merubah penampilanmu.” Pandangan Melinda menatap suaminya, mengelus lengan laki-laki itu lembut. “Bagaimana dengan pendapat orang lain nanti tentang ayahmu? Dinilai tidak bisa memberikan kebutuhan yang sempurna untuk putrinya sendiri. Itu kan tidak bagus.” ‘Hh, mulai lagi~’ Menghentikan gerakan tangannya sekilas. Menatap ibunya. “Ayah pasti tidak akan memikirkan hal itu, jika putrinya bisa bekerja dengan bahagia, semuanya sudah cukup. Benarkan, Ayah?” Memberikan jawaban telak. Berhasil membungkam bibir Ibunya, wanita itu meringsek menjauhi suaminya. Sementara Ayahnya sendiri hanya bisa menghela napas panjang. “Sudahlah, kita lanjutkan saja sarapannya.” Berujar singkat. Dalam hati, Nara sudah tertawa kencang. Melihat reaksi ibunya yang nampak kesal. Berniat menikmati sarapannya sekali lagi dan berangkat kerja. “Selamat pagi semuanya,” Sebelum suara khas lain teralun memenuhi seluruh ruang makan. ‘Ah, sial, dia lagi,’ Mengerucutkan bibir sekilas. Menatap sosok wanita berumur 26 Tahun yang kini masuk ke ruangan. Menyapa mereka semua. Mulai lagi perdebatan part 2- . . . “Bagaimana dengan pekerjaanmu, Nadine?” Kali ini bukan ayahnya yang bertanya tapi ibunya. Manik Amber Nara menatap sosok adiknya. Berbanding terbalik dengan Nara, sosok itu nampak sangat modis pagi hari ini. Menggunakan rok span yang memperlihatkan lekukan tubuhnya, dan baju coklat berkerah, make up yang tidak begitu tebal namun menambah kesan cantik di wajah tirusnya, kulit putih yang bersih. Tubuh langsing dengan tinggi badan 170 cm, jujur saja Nara sedikit iri. Kemiripan mereka tidak ada tentu saja. Ayahnya menikahi Melinda Jovanka sekitar enam tahun lalu setelah mendapati istrinya yang dulu berselingkuh. Ya, ibunya sendiri. Menikah setahun setelah perceraian mereka, membawa serta Nara dan putri wanita itu. Nadine Maheswari, bahkan namanya pun terdengar cantik. Tanpa ada kemiripan sifat ataupun wajah. Itu artinya mereka hanya Kakak beradik tiri tanpa hubungan darah sama sekali. Perbedaan mereka sangat jelas. Nadine dengan pribadinya yang cantik dan modis, sedangkan Nara yang masih mempertahankan topeng di depan semua keluarganya. Menjadi gadis cuek penampilan dan tidak peduli apapun. Men-jomblo selama bertahun-tahun, sementara adiknya sudah memiliki banyak sekali mantan-mantan tampan di luar sana. Satu hal yang selalu dibanggakan Ayahnya. Entah sejak kapan pribadi Nara berubah. Dia sama sekali tidak mengingatnya, apalagi tentang kejadian lima tahun lalu. “Pekerjaanku seperti biasa lancar, Ibu. Tenang saja, bahkan beberapa agency ingin merekrutku sebagai model mereka hari ini,” Bisa Ia lihat senyuman  puas kedua orangtuanya. ‘Sampai  kapan  aku harus disini,’ Merasa sedikit bosan. “Pertahankan terus pekerjaanmu. Bagaimana rasanya bekerja di perusahaan Ayahmu? Kau betah?” Satu pertanyaan ibunya sudah cukup membuat Nara menghentikan kegiatan sarapannya. Maniknya menatap Nadine, wanita itu nampak tersenyum tipis dan mengangguk kecil. “Tentu saja menyenangkan. Semua pekerjaanku lancar, berkat ayah. Tanpa ayah katakan sendiripun, aku pasti betah di sana. ” Menatap ayahnya yang tersenyum pada Nadine, mengangguk senang dan puas. Sebelum akhirnya pandangan mereka bertemu. Nara berdiri dari posisinya, “Aku berangkat kerja dulu,” Menggendong  tas kesayangannya, menjauh dari meja makan. “Nara, kau belum menyelesaikan sarapanmu!” Suara laki-laki itu sempat menghentikan langkah Nara, pandangan sang empunya mendelik tak suka. Dia hanya berbalik. “Aku sudah kenyang karena roti tadi,” “Kembalilah dan selesaikan sarapanmu. Adikmu baru saja datang,” “Tidak apa-apa, Ayah. Kak Nara pasti sibuk dengan pekerjaannya,” Nadine menatapnya, “Kakakku kan hebat bisa bekerja sebagai penjaga anak-anak, dia pasti sibuk. Menjaga anak-anak itu sangat susah jika kita tidak ahli,” Mengulang kalimat itu. Raut wajah Nara sama sekali tidak berubah, tidak mudah tersinggung karena ucapan Nadine. Wanita itu hanya tersenyum kecil, “Tentu saja.” Mendesah dengan sengaja, menatap ayahnya. “Oh, iya. Aku harap minggu ini atau bulan depan, Ayah mungkin ingin mempertimbangkanku bekerja di perusahaan Ayah. Sama seperti Nadine,” Menekankan kalimatnya. Membalikkan tubuh, setengah tersenyum enggan. “Karena selama ini Ayah selalu melarangku untuk bekerja di sana,” ujarnya, dengan santai berjalan tanpa mendengarkan kalimat laki-laki itu selanjutnya. “NARA!” . . Berjalan keluar dari apartement elite milik ayahnya. Kedua tangan itu memegang erat tas. Nara kembali memperbaiki letak kacamatanya. Manik itu melirik ke arah pintu, berharap bahwa kata-katanya tadi sudah cukup membuat semua orang di sana bungkam. Bisa dipastikan laki-laki itu pasti mengamuk, siapa yang menyangka bahwa seorang Nara bisa berkata dengan sarkas- Hal yang langka- “Walaupun pekerjaanku tidak sebagus Nadine, bukan berarti kalian bisa menghinaku sepuasnya. Lagipula tidak ada buruknya juga bekerja menjaga anak-anak, mereka kan manis dan imut.” bisiknya tipis. Nara tersenyum puas, membusungkan d**a yakin. Setelah tadi mengeluarkan semua unek-uneknya, berangkat kerja jadi lebih menyenangkan tentu saja. “Jangan meremehkanku~” Menyandungkan alunan. Satu kemenangan untuknya hari ini.  
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN