Jane punya banyak alasan kenapa ia lebih memilih meninggalkan rumah. Selain berbeda pandangan dengan sang ayah, Jane juga tidak betah. Sejak ibunya meninggal lima tahun lalu, istri baru datang dan mulai merubah banyak hal. Belum lagi saudara tirinya, Irma. Gadis itu seperti mengambil posisinya di rumah. Lebih manja juga sering tergantung pada ayahnya. Jane mulai merasa dirinya telah menjadi orang lain di rumahnya sendiri. secara tidak langsung, Jane sadar ia yang harus pergi. Kalau terus begini, akan ada perpecahan dan sakit hati.
Selepas SMA, Jane memutuskan untuk mandiri. Lagipula ayahnya bilang tidak sanggup menyekolahkannya ke perguruan tinggi. Padahal punya nilai bagus dan bea siswa, tapi semua itu ditolak begitu saja. Katanya, bea siswa tidak membantu banyak karena masih ada sisa yang harus dibayar juga akhirnya.
Jane tidak memaksa lalu pergi dengan sukarela. Walau sakit, ia tahu Irma sebenarnya adalah alasan kenapa ayahnya begitu. Pernah ada pembicaraan kalau adik tirinya itu ingin melanjutkan kuliahnya juga. Dengan kata lain, sang ayah lebih memilih anak orang lain ketimbang darah daging. Kecewa? Tentu saja. Tapi tidak ada gunanya menuntut hak. Ketika seorang ayah tidak punya kepedulian, statusnya hanya berakhir sebagai pajangan. Hari di mana Jane keluar, ia menganggap dirinya sudah yatim piatu.
Hal pertama yang dilakukan Jane adalah mencari tempat tinggal. Sebuah kos sempit ia tempati dengan optimisme tinggi. Hasil tabungan bertahun-tahun ia pakai untuk membeli kasur lantai, penanak nasi juga galon air. Sisanya untuk berkeliling, mencari pekerjaan yang bisa menopangnya untuk sementara waktu.
Sehari, dua hari lalu seminggu sudah berlalu. Jangankan pekerjaan, lowongan di sekitar kawasan industri kosong. Alias tidak ada sama sekali. Bahkan saat Jane menurunkan standart pekerjaannya sebagai tukang cuci piring, pemilik resto tidak meloloskannya. Mereka berdalih kalau pekerja muda sering keluar karena tidak betah dengan gaji kecil. Alhasil, sebulan kemudian tabungan Jane sudah benar-benar habis.
Hanya sisa beberapa ratus ribu untuk bayar kos juga membeli stok mie instan. Setelah itu, entah apa yang akan dilakukan. Jalan satu-satunya hanya pulang dan mengemis makan pada ayahnya. Tapi memangnya bisa? Saat ia berpamitan saja, tidak dipedulikan.
---
“Hai, sedang cari kerja?” tanya seorang wanita di minimarket sore itu. Ia memakai blouse, umurnya mungkin empat puluh. Wajahnya cantik dengan tahi lalat kecil di sudut kiri bibir.
Mereka sebenarnya sering berpapasan. Tak heran kalau wanita itu terkesan familiar. Ia tahu kalau Jane membutuhkan uang dari kemeja putih dengan celana hitam panjang. Ciri khas orang yang tengah memburu lapangan kerja selalu begitu.
“I-iya, tapi belum dapat,” sahut Jane sedikit antusias. Sepertinya, wanita itu tertarik untuk mempekerjakan atau memberi informasi lowongan.
“Berapa umurmu? Boleh lihat ktp?” Ia tersenyum lalu menatapi Jane dari rambut hingga ujung kaki.
“Delapan belas bulan ini,” kata Jane mengambil ktpnya dari dalam dompet lalu diulurkan dengan gugup. Jantungnya berdegup kencang lantaran diberi harapan.
“Oke, ini cukup. Kita bisa bicara lebih lanjut kalau mau. Ada warung seberang jalan. Ayo kita makan, aku yang traktir.” Wanita itu mengembalikan ktp itu pada Jane.
Tanpa tahu bahaya juga pekerjaan macam apa, Jane mengangguk saja. Terlebih itu makanan gratis. Sudah tiga hari ia tidak mengunyah nasi. Sarapannya hanya biskuit dan siangnya mie instan.
Singkat cerita, wanita itu mengenalkan dirinya sebagai Mila. Sesuai dugaan, umurnya empat puluh tahun. Yang mengherankan adalah, tempat tinggalnya cukup jauh dari sini. Tapi sering berbelanja di sekitar industri. Setelah lama berbincang sambil makan, Jane akhirnya tahu jenis pekerjaan apa yang ditawarkan padanya. Tentu saja, hal gampang melalui jalur haram.
“Kalau kamu masih perawan, aku bisa melabelimu dengan harga yang lebih tinggi. Daripada kamu berikan pada pacarmu, hasilkan itu untuk uang. Toh sekarang wanita tidak butuh kesucian untuk menikah. Banyak pria yang menerima karena mereka juga melakukan hal yang sama.” Wanita itu—Mila, mengambil sebatang rokok dari dalam bungkusnya. Ia melakukannya dengan santai tanpa melihat pandangan orang lain.
Jane menelan makanan di mulutnya dengan susah payah. Tidak pernah terbesit sedikitpun dalam pikirannya kalau ia akan dihadapkan dalam situasi begini. Semasa sekolah, jangankan pacar. Teman laki-laki saja tidak punya. Tubuhnya belum terjamah sedikitpun. Tapi sekarang ia malah duduk di depan seorang g***o dan membahas harga untuk terjun di dunia prostitusi.
Mila memang sering berkeliling ke daerah industri untuk menemukan gadis seperti Jane. Yang masih muda, labil dan mudah diperdaya. Diimingi sejumlah uang saja, sudah mengangguk dengan mudahnya. Tapi semua itu tidak sembarangan juga. Mila punya standart sendiri untuk merekrut perempuan. Itulah alasan ia memilih untuk terjun langsung daripada mencari lewat online. Jaman sekarang, semua menipu. Ibarat membeli buah, Mila akan memeriksa, menyentuh juga memastikannya secara nyata.
Untuk Jane, Mila berani bertaruh kalau gadis itu punya daya pikat seksual yang tinggi. Postur tubuhnya ideal, tapi sengaja ditutupi dengan baju tebal juga lebar. Sudah lama ia berkecimpung di dunia itu, jadi bisa langsung tahu.
“Bagaimana? Aku bisa memberimu waktu untuk berpikir. Jangan langsung menolak, simpan saja kartu namaku.” Mila meletakkan kartu namanya tepat di dekat piring Jane yang sudah kosong.
Andai Jane tidak sedang butuh uang, ia akan marah karena sudah dipandang rendah. Tapi keadaan memaksanya untuk bungkam. Ia diam-diam miris pada dirinya sendiri karena tidak emosi sama sekali. Mengemis pada ayahnya jauh lebih memalukan dan buruk ketimbang jual diri. Tidak ada pelindung juga rumah untuk kembali. Jane sadar, ini adalah titik terendah dalam hidupnya.
“Berapa yang bisa aku dapat?” tanya Jane to the point. Ia tidak lagi bisa menahan rasa penasaran dengan harga yang dipatok oleh Mila.
Mila terdiam, masih menghisap nikotin sembari melihat sekeliling.
“Kita ke tempatku. Tidak jauh kok, hanya beberapa blok dari sini. Itu kalau kamu berani. Tenang saja, aku bukan penjahat. Hanya penyalur para gadis bingung. Keamanan juga kesehatanmu aku yang jamin nanti.” Mila mematikan rokoknya ke atas piring. Tidak ada asbak di sana karena hanya tempat makan ala kadarnya.
Jane menguatkan hatinya lalu mengangguk di detik kedua.
Keduanya kemudian sama-sama keluar dari sana. Menyusuri gang panjang yang membentang panjang dari lokasi industri hingga jalan besar. Banyak pabrik, mini market dan pasar. Sekilas tempat itu mengecoh. Terlihat sibuk, padahal tidak ada lowongan. Isinya hanya pegawai lama atau orang yang menyuap orang dalam saja. Alhasil, banyak orang seperti Jane yang berkumpul tanpa tahu tujuan.
“Ayo masuk.” Mila membuka salah satu pintu mobil yang berjejer di pinggiran tempat parkir.
Jane terdiam sebentar sebelum akhirnya menurut. Mobil itu membuktikan kalau bisnis prostitusi Mila sangat menjanjikan. Tampilan mewah dan terlihat baru. Aroma cat dan karet dari kursi membuat Jane merasa asing.
“Jangan takut, rileks saja,” kata Mila menepuk bahu Jane sebelum memutar kemudinya.
Tak lama kendaraan itu sudah melaju ke jalan besar, bergabung dengan puluhan mobil lain dari arah belakang. Jane terus mengepal jemarinya yang berkeringat. Jujur saja, kalau bisa ia ingin melompat dari sana. Kebingungan akan kelangsungan hidup membuatnya bodoh.
“Kamu perawan atau sudah pernah tidur dengan seseorang? Kamu belum menjawab pertanyaanku tadi.” Mila bergumam, tanpa melepas pandangannya dari kemudi.
“Masih perawan, aku belum pernah pacaran,” sahut Jane canggung.
“Kalau begitu, kamu punya kesempatan lebih baik. Aku akan mencarikanmu pria mapan yang nantinya bisa menanggungmu secara finansial setiap bulan. Nantinya kamu bisa melanjutkan pendidikan juga. Tergantung bagaimana cara kamu merayunya. Sekali kamu bisa memikat pria, mereka akan terjerat dan membelikan segalanya.” Mila terlihat ikut sumringah. Sudah lama ia tidak menemukan wanita berselaput dara. Kebanyakan sudah pernah dipakai sekali dua kali. Tentu saja, Jane harus membuktikan hal itu lewat pemeriksaan medis.
“Kuliah?” ucap Jane tertarik. Matanya sedikit melebar, tanda tidak yakin.
“Iya, hidupmu bisa terangkat kalau menemukan sugar daddy,” ucap Mila optimis. Ia bukan sembarangan g***o. Ada kriteria khusus yang dipasang bagi para pelanggan untuk menyewa para -gadisnya.
Jane masih tidak percaya. Bahkan menjadi wanita berkelas tidak akan menghapus kenyataan kalau semua itu didapat dari hasil haram. Ya, asal tahu saja, hati juga tubuh Jane tidak sinkron. Banyak keraguan juga ketakutan yang tidak ditampakkan. Mila tahu itu karena sudah berpengalaman mengatasi gadis awam. Awalnya merasa kotor dan hina, tapi berakhir menikmatinya juga.
“Mulai sekarang, panggil saja mami Mila.” Wanita itu kini jauh lebih ramah, seolah tengah menyambut emas yang datang ke dalam istana gelapnya. Lelang perawan adalah hal paling menguntungkan. p****************g kelas atas akan memberi berapapun asal bisa menikmati kepolosan gadis muda.
Jane diam-diam takut dan mulai berencana untuk kabur. Sebelum terjerat dalam ke dalam kehidupan malam, ia harus melarikan diri selagi si mami lengah.
Itulah kenapa, jadi wanita itu jangan plin plan.
---