Ketemu Pati

1120 Kata
“Sudah lama, Mbak?” sapa suamiku sambil duduk di kursi sampingku menatap ketiga sahabatku. “Baru sih, Mas,” jawab Jehan ragu. “Baru sejam yang lalu,” sahut Putri tanpa basa basi. Kulirik Mas Yanto tertawa tipis mendengar jawaban sahabat-sahabatku. “Ayo makan, Mbak!” ajak suamiku yang mulai membalik piring lalu mengisinya dengan nasi. Aku menatap Mas yanto yang selalu melayani dirinya sendiri saat makan. Ia tidak ingin merepotkanku lagi dengan meminta mengambilkan nasi yang bisa dia ambil sendiri. Mas Yanto tidak pernah berubah, sifat rendah hatinyalah yang membuatku jatuh cinta padanya. Bahkan dengan sahabat-sahabatku, ia masih memanggilnya dengan sebutan, Mbak. Walaupun sudah mengenal mereka lebih dari tiga tahun. Selama usia pernikahan kita. Namun, semua tidak pernah berubah. “Yang, aku mandi dulu, ya! Keburu ada orang datang, aku masih kayak gini. Gak enak,” ucap suamiku sebelum meninggalkan meja makan setelah menghabiskan sarapannya. “Oke.” Aku mengangguk. “Mbak, habiskan makanannya. Kasihan Mega udah masak banyak,” pinta Mas Yanto menatap ketiga temanku. “Siap, Mas. Pasti kita habiskan. Kapan lagi bisa makan gratis menu restoran bintang lima,” gurau Putri tanpa malu. Mas Yanto kulihat terkekeh sebentar sebelum meninggalkan kami berempat. “Ga, emang suami kamu mau kemana?” tanya Jehan kepo. “Gak kemana-mana di rumah saja,” jawabku percaya diri. “Gak kemana-mana, tapi kok seolah-olah pamitan mau kemana gitu?” sambung Wulan. “Memangnya Mas Yanto kerja apa di sini?” tanya Putri penasaran. “Cuma mengelola kebun peninggalan orang tuanya,” jawabku meyakinkan ketiganya. Ketiga menatapku curiga bersamaan, ”Benar atau bener?” kompak mereka. “Bener,” sahutku singkat tidak ingin membahas pekerjaan Mas Yanto terlalu jauh. Bisa-bisa mereka menertawakanku. *** Selesai sarapan kuajak ketiga sahabatku bercengkerama di ruang tamu, sembari menyiapkan kamar untuk beristirahat. “Assalamualaikum.” Suara seseorang mengucap salam. “Waalaikumsalam,” jawab kami berempat. “Mas Yanto, ada?” ucap seorang laki-laki berumur empat puluhan bersama seorang gadis berusia dua puluhan. “Masuk dulu, Pak!” Aku memberi kode kepada ketiga sahabatku untuk mundur ke kursi yang biasa aku gunakan menonton televisi. Setelah kedua tamu Mas Yanto masuk, aku segera memanggil suamiku. “Pak Joko,” sapa suamiku menyalami tamunya. Sepertinya mereka sudah saling mengenal. Aku pun kembali fokus kepada ketiga sahabatku. “Mau ngapain nyari, Mas Yanto?” tanya Putri kembali kepo. “Entahlah,” jawabku. Saking keponya ketiga sahabatku melihat ke arah Mas yanto dan tamunya. Aku meninggalkan ketiganya menyediakan sekedar minuman dan snack untuk suguhan tamu suamiku. “Silahkan, Pak, Mbak, diminum dan dicicipi kuenya,” tawarku kepada tamu Mas Yanto. “Terima kasih, Mbak Mega,” balas tamu suamiku santun. Dengan senyum dan anggukan aku pamit kembali ke tempat sahabat-sahabatku yang terlihat resah dan kepo dengan tamu Mas Yanto. Entah apa yang tadi mereka dengar saat aku menyiapkan hidangan di dapur. Lamat-lamat aku mendengar tentang pernikahan dan hari baik. Bisa jadi ketiga sahabatku juga mendengarnya. “Ga, profesi Mas Yanto sebenarnya apa?” bisik Jehan padaku. Aku hanya menoleh sambil mengedikkan bahu sebagai tanda enggan menjawab pertanyaannya. Kulihat bibir Jehan maju lima centi saking sebelnya padaku yang tidak menjawab pertanyaannya. “Pak Joko, hari pernikahan Afika menurut perhitungan saya ketemu pati. Sebaiknya dihindari atau diundur dulu.” Samar-samar aku mendengar Mas Yanto menjelaskan hasil ritualnya. “Ndak mau, Pak. Fika gak mau diundur apalagi dibatalkan,” seru gadis anak Pak Joko sambil sesenggukan, kulihat Afika berdiri lalu berlari meninggalkan Pak Joko dan suamiku. “Semua keputusan kembali kepada Bapak dan keluarga, saya hanya bisa memprediksi, tapi semua kembali pada takdir. Silahkan Bapak berunding dengan keluarga,” ucap suamiku bijak mengakhiri sesi ritualnya. “Ga, apa itu tadi?” tanya Wulan menatapku dengan tatapan penuh kekepoan tingkat dewa. Aku kembali menjawab dengan mengedikkan bahu. *** “Mas Yanto,” panggil Wulan setelah tamu suamiku pulang. “Iya, Mbak,” jawab Mas Yanto. “Yang tadi itu apa?” tanya Wulan to the point setelah pertanyaannya tidak kujawab. “Oh, tetangga minta bantuan menghitung hari pernikahan putrinya, tapi hasilnya tidak baik lalu anaknya tidak terima,” jelas suamiku ramah. “Memangnya pekerjaan Mas Yanto sekarang apa?” tanya Putri yang kutahu sejak tadi juga sama keponya dengan Wulan. “Oh, hanya membantu tetangga yang membutuhkan,” jawab Mas Yanto. Belum juga habis rasa penasaran sahabat-sahabatku, seseorang kembali mengetuk pintu.  Terdengar suara seorang perempuan yang menangis di pintu, auto kami berlima segera menengok. “Loh, Mbak Rika?” ucapku spontan melihat kedatangan tetangga yang berjarak lima rumah dari kediaman kami. Perempuan tersebut masih saja menangis tersedu-sedu meski aku panggil. “Mas Yanto, tolong aku,” ucapnya menatap wajah suamiku, mengabaikan panggilanku. Menyebalkan. Namun, begitulah adanya. Aku seringkali diabaikan oleh tamu Mas Yanto. Apalagi jika yang datang wanita. “Ada apa, Mbak?” tanya Mas Yanto setelah mempersilahkan Mbak Rika duduk. Aku dengan sigap membersihkan sisa-sisa minuman Pak Joko dan Afika lalu menggantinya dengan minuman baru untuk Mbak Rika. “Mas Yanto, suamiku selingkuh. Tolong buat dia melupakan pelakor itu,” ucap Mbak Rika terbata-bata. “Dia pasti pake dukun,” kudengar Mbak Rika berkata dengan kesal dan marah. Aku dan ketiga sahabatku kembali fokus dengan tamu Mas Yanto. Aku yang selama ini belum pernah tahu, ada pasien seperti Mbak Rika, kali ini mulai tertarik dengan kasus perpelakoran. Hahaha. “Hmm ....” Kulihat suamiku tampak berpikir. Matanya terpejam, mulutnya komat kamit membaca mantra. “Mbak, sepertinya Mas Jono benar-benar menyukai selingkuhannya. Pelakor itu gak pakai pelet atau dukun manapun,” ucap Mas Yanto. Dalam hati sebetulnya aku menyetujui sikap Mas Jono – suami Mbak Rika yang selingkuh. Karena yang aku tahu selama ini sikap Mbak Rika selalu kasar pada suaminya. Jadi, jangan salahkan Mas Jono yang selingkuh. “Saya tidak mau tahu, Mas Yanto. Saya mau Mas Jono kembali,” keluh Mbak Rika. “Apa Mbak Rika sanggup dengan semua syarat yang saya ajukan?” tanya suamiku ragu. “Sanggup, Mas. Demi Mas Jono dan anak-anak.” Mbak Rika kulihat masih sesenggukan menjawab permintaan suamiku. “Sebentar,” kulihat Mas Yanto menulis sesuatu di kertas yang tersedia di ruangan tersebut. “Kembang tujuh rupa dan masukkan jimat ini di tempat yang di sukai Mas Jono,” ucap suamiku menyerahkan kertas yang sudah dilipat rapi. “Kalau Mas Jono pulang jangan ditanya dari mana dan Mbak Rika kurangi sikap kasarnya,” lanjut suamiku. Aku hanya bisa melongo dari tempatku duduk mendengar ucapan suamiku yang lancar jaya pada Mbak Rika. *** “Mas, yang tadi itu apa lagi?” tanya Wulan masih kepo. “Nolong tetangga,” jawab Mas Yanto dengan tangan mengulur padaku menyerahkan amplop pemberian Pak Joko dan Mbak Rika. “Mas Yanto dukun, ya?” celetuk Jehan yang sejak tadi hanya diam menyimak obrolan Wulan dan Putri. Auto kami menoleh ke arahnya. Bersambung...
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN