Pak Andi (pov Sari)

1235 Kata
Tanda Merah Di Leher Suamiku 15 Pak Andi (pov Sari) "Kamu nggak apa-apa 'kan, Mbak?" tanya Bu Siska kala itu, saat pertama kali kami bertemu. Saat itu aku lari dari rumah majikan lama, dan mengetuk jendela mobil bu Siska yang sedang berhenti di lampu merah. Seperti tak menaruh rasa curiga, dia langsung membukakan pintu untukku. "Tidak apa-apa, Bu. Terima kasih sudah menolong saya," jawabku lirih. "Tapi itu, sepertinya Mbak ini baru saja mengalami tindak k*******n ya? Apa mau kulaporkan pada polisi? Dan sebaiknya kita sekarang ke rumah sakit." Melihatnya yang amat tulus, aku pun kemudian menceritakan semua yang kualami kepadanya. "Ya Allah, kok tega sekali sih mereka? Ya sudah kalau kamu nggak mau ke polisi dan ke rumah sakit. Kamu ikut aku pulang saja ya. Kebetulan aku juga sedang mencari asisten rumah tangga. Mau?" tanya bu Siska amat ramah. Tentu saja saat itu aku tak menolak tawarannya, karena tak mungkin juga aku kembali ke rumah mas Bayu dalam keadaan seperti ini. Kondisi ekonomi mas Bayu sedang sulit, dan mbak Nesya juga sedang sakit, jadi tak mungkin rasanya aku pulang ke sana. Pertama kali menginjakkan kaki di rumah Bu Siska, kesan pertama yang kutangkap adalah kesederhanaan, meski sebenarnya dia amat kaya, melihat posisinya di kantor. "Nah, ini kamar kamu ya, maaf dibelakang, soalnya yang satu di depan itu, khusus untuk tamu yang datang. Anggap saja ini rumah sendiri ya, karena setiap hari, aku dan suami kerja, jadi palingan kami akan selalu berada di rumah saat malam hari, atau saat akhir pekan,"ucapnya sambil menunjukkan kamarku. Tak pernah bu Siska marah terhadapku, meski ketika kudengar dia sedang cekcok dengan pak Andi, suaminya. Bahkan dia sudah menganggapku sebagai saudara sepertinya. Saat belanja, dia pun tak lupa membelikan barang-barang yang kuperlukan. "Sar, jika kamu ada masalah, atau sedang butuh uang, bilang saja nggak perlu sungkan ya. Aku ini sebatang kara, jadi anggap saja kita ini keluarga." Bu Siska, setiap saat selalu mengungkapkan hal itu. Jujur, saat pertama kali bertemu dengan mas Andi, aku memang sudah menaruh hati padanya. Siapa sih yang tak akan tergila-gila pada lelaki tampan dan kaya itu. Namun rasa itu sukses kupendam, karena rasa hormatku pada bu Siska. Awalnya semua berjalan biasa saja, layaknya saat bekerja di rumah majikanku yang lainnya. Bu Siska selalu baik padaku, namun berbeda dengan pak Andi, dia selalu terkesan cuek, bahkan seperti tak suka padaku. Tak pernah sekalipun kami bercakap, bahkan menoleh padaku pun sepeertinya dia jijik. Tapi, hal itu tak begitu menggangguku sih, karena bagiku, yang penting bu Siska baik sekali, dan tak pernah berlaku kasar padaku. Beberapa bulan kemudian, bu Siska hamil dan saat memasuki usia kandungan tiga bulan, mulai terlihat ada kelainan, kata bu Siska sih namanya placenta previa. Artinya apa sih, aku tak begitu mengerti, yang pasti sejak saat itu, bu Siska jadi sering lemas dan bahkan harus berhenti bekerja dan istirahat total. "Sar, mulai sekarang aku minta kamu yang handle semunya ya. Termasuk menyiapkan semua keperluan mas Andi, juga semua kebutuhan rumah. Karena aku harus istirahat total, demi kesehatanku dan bayi ini saja,"ucap bu Siska kala itu. "Baik, Bu. Saya akan melaksanakan semua sebaik mungkin, jadi Bu Siska istirahat saja, tak perlu memikirkan semuanya," jawabku dengan hormat. Di minggu-minggu pertama, aku dan pak Andi masih belum bisa beradaptasi, malah dia sepertinya makin tak suka padaku. Tapi, sejak empat bulan yang lalu, entah karena apa dia sepertinya mulai melunak. Hingga pagi itu, saat kami berangkat belanja ke pasar, dia mengatakan sesuatu yang tak pernah kuduga sebelumnya. "Sar, kamu sudah punya pacar belum?" tanynya sambil tersenyum. Duh, ini adalah senyum manis pertama yang kudapat darinya, rasanya aku langsung melayang karena senyuman bos tampanku ini. "Belum, Pak. Saya tak berani pacaran, takut disakiti, hehehe," jawabku malu-malu. "Wah kebetulan sekali dong. Kalau begitu aku bisa daftar jadi pacar kamu dong," ucapnya sambil tangannya diletakkan diatas pahaku. Kalian bisa bayangakan 'kan bagaimana perasaanku saat itu? Wihhh...rasanya bagaikan terbang ke langit ke tujuh, ingin rasanya menggenggam erat tangan itu, agar tak pernah pergi. "Ih, Pak Andi bisa aja deh," ucapku sambil menggigit bibir bawah. "Beneran, kamu mau nggak sih jadi pacarku?" Kini tangan pak Andi tak hanya diam, tapi mulai mengelus maju mundur pahaku yang hanya terbungkus celana pendek itu. Mendengar ucapan manis dan diperlakukan seperti itu, membuat dadaku bergetar kencang, dan ada getar yang tak biasa dari dalam diriku, mengharapakan tuanku itu melakukan hal yang lebih . "Emmm...gimana ya, Pak. Saya sih sebenarnya mau, tapi kan Pak Andi sudah punya istri, dan bu Siska itu majikan saya, saya takut, Pak," jawabku lirih, karena saat itu aku mulai gelisah. "Ngapain pakai mikirin Siska, perempuan itu nggak bisa memuaskan aku saat ini, perempuan nggak guna itu. Ini 'kan cuma rahasia kita berdua, jadi kamu harus tutup mulut saat dihadapannya," ucapnya sambil mengerlingkan mata. Hemmm...aku yang memang dari awal bertemu sudah suka pada pak Andi, akhirnya pun mau-mau saja dan mengiyakan kemauan tuanku itu. Persetan dengan bu Siska, karena cinta kan tak pernah salah, dan lagi seperti kata semua orang, cinta itu buta. Akhirnya di dalam mobil itu aku menerima cinta dari pak Andi. Dari dulu aku memang belum pernah berpacaran, karena minder dengan keadaanku yang miskin.. "Oke, mulai sekarang kamu kalau kita berdua jangan manggil Pak ya, panggil sayang aja. Dan mulai saat ini, semua keinginanmu akan kupenihi, tapi kamu pun wajib memuaskanku. Bagaiamana?" tanyanya sembari tersenyum. "Siap Yank, pokoknya kamu harus janji nggak akan pernah ninggalin aku ya..." jawabku manja. Sejak saat itu, tiada hari tanpa kami melakulan hubungan layaknya suami istri, bahkan dalam sehari kami bisa melakukan lebih dari satu kali, dan tempatnya bisa di manapun, yang penting bisa menyalurkan hasrat kami. Soal materi, tak perlu ditanyakan lagi, apa yang kuminta pasti langsung diberikannya, sebagai gantinya aku harus memuaskannya. Katanya dia memang amat kecewa dengan bu Siska yang tak bisa lagi memuaskan kebutuhan biologisnya. Untuk limpahan uang yang kudapat darinya, sebagian kutabung dan sebagian ku kirimkan pada mas Bayu untuk biaya berobat mbak Nesya. Semua terasa amat indah, hingga dua minggu yang lalu dia datang ke kamarku, di malam hari. Kukira seperti biasanya dia minta jatah, maka aku pun langsung menyerangnya dengan buas, namun saat itu dia malah menolakku. "Ada apa sih Yank, kok jutek gini? Lagi marahan sama bu Siska ya? Sini kupeluk, biar hatinya tenang," ucapku yang kembali siap memeluknya. "Jangan sentuh aku, mulai saat ini, kita putus!" ucapnya tanpa ekspresi. "Apa maksudmu Yank? Putus? Jangan bercanda dong!" protesku. "Aku nggak bercanda, tak ada lagi hubungan cinta antara kita. Tapi ingat, jangan sampai kamu menceeitakakn apa yang terjadi pada istriku, karena hal itu bisa membuatnya ngedrrop!"katanya. Tanpa mendengarkan jawabanku, dia segera keluar dari kamarku, dan sejak saat itu, sikapnya kembali dingin padaku, dan tak lagi menyapaku. Dan tentu saja saat itu aku tak bisa berbuat apa-apa, karena tak ingin bu Siska curiga. Sampai suatu hari, saat aku kepasar kusaksikan dengan mata kepalaku sendiri. Pak Andi dan Beti sepupunya bu Siska, tengah bermesraan di dalam mobil. Jadi ini alasannya memutuskanku. Dasar laki-laki buaya darat, setelah mencampakkanku, kini dia malah selingkuh dengan saudara istrinya. [Pak Andi, aku tahu jika kamu sekarang sedang dengan Beti. Jangan salahkan aku ya, jika bu Siska akan segera tahu, akan ada akibat karena kamu telah mencampakkanku!] Kini, misiku hanya satu, mengungkapkan semua kebusukan pak Andi pada bu siska, sebagai balasan karena dia sudah mencampakkanku. Tapi jika dia masih mau kembali padaku, maka aku akan menutup rahasia ini sampai kapanpun. **yang belum tap love, tolong kesediannya tap love sekarang juga ya. Biar aku makin semangat melanjutkannya. Terima kasih
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN