01.A Guy Who Always Went to the Cemetery

774 Kata
Aku melihatnya lagi mengunjungi makam itu. Aku tidak bermaksud untuk membuntutinya. Aku hanya kebetulan melihatnya melewati jalan yang sering dilaluinya itu. Aku bahkan sudah tahu dia akan menuju kemana. Tapi entah kenapa kakiku malah bergerak sendiri mengikutinya. Dia akan menuju ke pemakaman dan mengunjungi salah satu makam. Dia akan selalu membawa bunga Lily segar dan mengganti bunga lama di makam tersebut setiap seminggu sekali secara rutin. Lily Parker, adalah nama yang tertulis di batu nisan tempat makam yang sering dikunjunginya. Nama yang diambil dari sebuah nama bunga itu terdengar sangat cantik. Itu sebabnya dia selalu membawa bunga itu. Makam Lily sudah berada disana sejak tiga tahun yang lalu. Aku tidak tahu seperti apa rupa gadis bernama Lily ini, atau seberapa dekat hubungannya dengan laki-laki itu. Yang kutahu dengan pasti, dia adalah orang yang sangat berharga bagi laki-laki yang kini sudah berdiri di depan makamnya. Kurasakan ponselku bergetar di dalam saku kardigan yang kukenakan. Kuambil dan kulihat nama yang tertera di layarnya. Itu ibuku. “Tunggu, Bu. Aku segera kesana,” jawabku.                                          “Oke,” jawabnya. Aku memasukkan kembali ponselku ke dalam saku. Kulihat sekali lagi laki-laki itu selama beberapa saat sebelum melangkahkan kakiku pergi dari pemakaman itu. . . . Aku merebahkan diri ke tempat tidur setelah sampai di rumah, dan menatap langit-langit atap kamarku. Pertama kalinya aku melihat laki-laki itu mengunjungi makam Lily adalah setahun yang lalu. Seminggu sekali dia akan selalu pergi kesana. Itu bukanlah pemandangan yang menggangguku. Namun aku juga tidak ingin mengatakan bahwa itu tidak menggangguku sama sekali. Aku hanya ingin tahu alasan dibalik wajah yang penuh dengan penyesalan itu setiap kali dia berdiri di depan makam Lily. “Apa kau masih belum bisa melepasnya?” gumamku. Betapa aku ingin menanyakan pertanyaan itu di depannya. Namun aku masih belum memiliki keberanian. “Laura, ayo makan malam!” teriak ibuku dari lantai bawah. “Baik!” balasku. Aku bangkit berdiri dan berjalan menuju kamar mandi. Aku sudah sering, sering memikirkan bagaimana aku akan menayakan satu pertanyaan itu suatu hari nanti. Namun seberapa sering aku memikirkannya, atau bertemu dengannya, kurasa keberanian itu tidak akan pernah datang. Karena aku selalu bergerak di tempat yang sama, dan tidak pernah berani mencoba.   ***   “Jadi, kau mau kuliah dimana?” tanya ibuku. Kami baru saja selesai makan malam dan kini kami sedang menikmati waktu bersantai bersama. Aku sedang duduk di sofa ruang tamu menonton TV, sedangkan ibuku berada di dapur yang di samping ruang tamu ini. “Entahlah. Aku belum memikirkannya. Tidakkah Ibu terlalu cepat menanyakan itu?” Ibu menatapku sambil menaikkan kedua alisnya. “Seharusnya kau yang berpikir cepat. Kau sudah di jenjang akhir dan sudah seharusnya kau memikirkan masa depanmu.” “Baiklah, baiklah…,” ucapku menghela napas dan memutar bola mata. “Aku hanya masih bingung dengan jurusan yang kuminati.” “Lalu bagaimana dengan Ian? Universitas mana yang akan dipilihnya?” “Aku tidak tahu..,” jawabku malas. “Apa dia belum bercerita? Kupikir kau sudah tahu karena kalian sudah bersama cukup lama.” “Apa aku harus benar-benar tahu tentangnya hanya karena kami sudah cukup lama bersama?” tanyaku. “Itu hal wajar,” kata ibuku sambil mengedikkan satu bahunya. Aku kembali menatap layar TV dan menghela napas. “Universitas manapun yang akan dipilihnya aku tidak akan mempermasalahkannya.” “Kau terlihat tidak peduli.” “Aku hanya bersikap sewajarnya dan tidak mengekangnya,” balasku. Ibuku tidak membalas. Aku meliriknya dan kulihat dia menatapku dengan kedua alis yang menyatu. Dari tatapan matanya, aku bisa melihat pertanyaan ‘kau mencintainya atau tidak’ disana. Aku mematikan TV dan bangkit berdiri. “Aku akan ke kamar,” kataku. Duduk disana terlalu lama hanya akan membuatku semakin tersudut dengan pertanyaan dalam diam itu. “Baiklah,” jawabnya. Sesampainya di kamar aku langsung merebahkan diri di tempat tidur sambil menatap keluar jendela. Ini sudah memasuki musim gugur, dan udara akan jadi semakin dingin kedepannya. Tapi sedingin apapun udaranya, laki-laki itu akan tetap pergi ke makam Lily. Aku tahu, karena aku pun pernah melihatnya di malam musim dingin yang sangat dingin. Aku mengingat lagi pertanyaan yang dilontarkan ibuku tadi. Sebenarnya aku juga bukan tidak pernah memikirkannya sama sekali. Aku masih perlu mencari tahu apa yang benar-benar kuminati sebelum memilih. Karena aku tidak ingin menyesalinya nanti. Meskipun begitu, terkadang aku berpikir untuk memilih jurusan Psikologi. Tanpa tahu sebab yang pasti. Terlalu larut dalam pikiranku sendiri, hingga tanpa kusadari aku sudah memejamkan mata. Hal pertama yang kurasakan saat kesadaranku mulai muncul adalah aku mencium bau kopi. Itu aneh. Ayahku masih berada di luar kota karena pekerjaan dan akan kembali dalam dua hari. Minuman yang selalu diminum ibuku di pagi hari adalah teh. Lalu itu siapa?
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN