Anak Ayam

1022 Kata
Myshophobia adalah phobia terhadap kontaminasi sesuatu hal seperti kuman. Sedangkan Phobophia adalah ketakutan seseorang kepada phobia itu sendiri, tetapi kenapa pria itu bergantung kepadaku? Sepanjang perjalanan yang memakan waktu beberapa jam membuatku terus berpikir. Kenapa bisa ada phobia aneh seperti itu? Bagaimana aku nanti mengatasinya? Dan juga bagaimana reaksi Jiho dan Vio soal pernikahan aneh ini? Kepalaku mendadak pusing. Semakin dipikirkan malah membuat ragu, padahal biasanya tidak ada keraguan ketika hendak menolong orang sekalipun itu mengancam nyawa. Tetapi kali ini rasanya berbeda. Menikah, bukan sesuatu yang bisa dibicarakan seperti kalimat semangat. Aku harus menjalani bersama orang yang baru dikenal. Itu cukup sulit. Mobil sudah memasuki gerbang hitam yang sangat tinggi, halaman rumahnya juga sangat luas, sudah kuduga dia orang kaya, tetapi tak kusangka sekaya ini. Mengeluarkan uang tujuh ratus juga untuk mahar dengan sangat gampang bisa diperkirakan dia berasal dari keluarga konglomerat. Aku hanya memakai sandal jepit dan terlihat kumal. Sementara si Nyonya yang menjemputku memakai pakaian mewah ala konglomerat. Masak aku bisa jadi menantu di sini? Itu gila. Meskipun hanya untuk sesaat, tapi pernikahan dengan kesenjangan pasti menimbulkan masalah. Para pengawal serta pelayan menunduk hormat ketika kami turun dari mobil, seperti sedang syuting film. Kami berjalan ke arah kamar yang sudah disulap seperti rumah sakit dengan peralatan medis yang lengkap. Di dalam ruangan terlihat seorang tengah berbaring dengan kaki yang digips, tangan diikat di dua sisi dan wajahnya diperban seperti mumi. Apa memang wajahnya terluka? Memang waktu itu banyak darah, tapi kupikir itu karena cipratan darah dari dua teman di sampingnya. Waktu itu juga dokter bilang bahwa yang harus dioperasi adalah kaki bukan kepala. Apa mungkin aku salah ingat? "Malaikat!" Dia berteriak histeris setelah melihatku. Seperti anak ayam, dia meronta-ronta merindukan induknya. "Assalamualaikum," sapaku. Sembari tersenyum ramah. "Kamu kemana saja sih malaikat?! Kenapa kamu meninggalkan saya?" teriaknya lagi tak menghiraukan salam dariku. Ternyata dia memiliki temperamen yang buruk. Aku ragu kalau ini akan berjalan mudah. Walau begitu ternyata dia lebih sehat dari yang kuduga. Aku ingat pertama kali bertemu, beberapa hari lalu. Dia terlihat mengenaskan dengan darah menutupi wajah dan sekujur tubuh. "Maaf ya, aku nggak tau kalo kamu butuh dijenguk. Tapi yang penting 'kan aku udah ada di sini." Karena sikapnya seperti anak ayam, maka aku pun bertindak seperti induk ayam. Setelah mengalami insiden mengerikan, sudah pasti dia kena mental. "Saya mohon, jangan tinggalkan saya lagi," pintanya sembari memelas. Imut sekali. "Ya itu tergantung kamu, kalau kamu nurut maka aku nggak akan ninggalin kamu." Seperti menghadapi anak kecil, dia mau menurut. Wajar 'kan jika aku memperlakukan dia seperti anak kecil yang merindukan emaknya. "Saya akan menuruti Malaikat, saya janji." Dia terlihat berusaha keras supaya tidak aku tinggalkan, kalau begini hatiku jadi tidak tega. "Nah, kalau kamu nggak pingin aku tinggalin. Berarti kita harus nikah." Akhirnya aku mengatakannya juga, kalimat yang kupikir sangat sakral kini terlontar dengan begitu mudah. Seolah aku mengajaknya membeli cendol di perempatan jalan. "Nikah ya... Tapi bukahkah menikah bisa menyebabkan kesedihan?" Wajahnya berubah sedih, dia tampak tidak menyukai pernikahan. Aku tidak tahu sebabnya, tapi mungkin saja dia ada trauma. Kasihan sekali. Hidupnya sangat malang meskipun orang kaya. "Nggak kok, kenapa kamu mikir kayak gitu? Pernikahan itu hubungan yang suci, suami istri akan hidup bersama sampai akhir hayat. Kalau aku jadi istrimu, aku nggak akan pernah ninggalin kamu." "Sungguh?" tanyanya antusias. Dia mulai tertarik dengan ucapanku. "In sya Allah." "Kalau begitu, ayo kita menikah." Dia setuju, sorot matanya cerah. Aku masih tidak percaya dengan yang kulakukan sekarang. Hati tak tega ingin menolong tapi batinku juga merasa berat. Masih berusaha meyakinkan diri sendiri bahwa tindakanku ini benar. Menolong orang adalah tindakan yang benar. Lagi pula aku jomlo, nikah untuk membantu menghapus traumanya adalah tindakan bijak. Apalagi uang mahar bisa untuk memperbaiki masjid desa sebelah. Aku memanggil penghulu dan suster. Semua harus berjalan cepat supaya dia cepat sembuh dan normal kembali. Lalu aku bisa pulang ke rumah dan menjadi jomlo lagi. Tiba-tiba perutku sakit, lupa bahwa hanya sarapan roti tadi pagi. Sepertinya maagku mulai kumat. Setelah acara akad selesai aku harus minta makan. "Kamu nurut sama mereka ya, biar pernikahan ini cepat selesai dan aku bisa makan, kata dokter tiga hari ini kamu nggak makan sama sekali, untung aja ada infus. Kalo nggak, kamu bisa mati." Dia hanya mengangguk, sangat kasihan pasti traumanya sangat berat. Apalagi kata dokter dia juga hilang ingatan karena shock, itu pasti karena memikul kesedihan akibat teman-temannya meninggal. Kasihan. Aku akan menolongnya supaya cepat sembuh. Awalnya ingin menelpon Jiho, mengungkapkan perasaan yang selama ini terpendam. Tetapi aku takut malah semakin ragu, akhirnya aku hanya menatap ponsel sampai mata ini perih. Bunda menghampiriku karena persiapan pernikahannya sudah selesai. kumasukkan ponsel ke dalam saku. Aku duduk di samping pria ini, di dalam hati masih menyebut nama Jiho, berharap seperti di drama Korea dia akan menarikku keluar dan mengungkapkan perasaannya. Ah ... Aku terlalu banyak menonton drama korea, terlalu berimajinasi. Lebih baik besok aku mulai menonton sinetron Azab supaya mawas diri. "Saya nikahkan engkau, Ravinio Surya Diningrat Bin Mahesa Surya Diningrat dengan Rimay Ginovia Agatha Binti Bambang dengan maskawin 700 juta dibayar tunai." "Saya terima nikahnya Rimay Ginovia Agatha Binti Bambang dengan maskawin tersebut dibayar tunai." "Saksi, sah?" "Sah" "Alhamdulillah.... " Setelah itu doa. Ntar dulu, tunggu sebentar. Biarkan aku berpikir, sepertinya ada yang salah. Ravinio Surya Diningrat? Bukan kah itu nama presdir Finansial Grup yang aku demo tiga hari ini? pria kasar berhati dingin di kantor penerbit waktu itu, 'kan? Aku belum menonton sinetron azab tetapi kenapa aku sudah terkena azab yang sungguh pedih! Tidak! Kumohon katakan padaku bahwa pria yang kunikahi ini bukan pria kasar itu? "Hey Dokter! Kenapa wajah saya diperban! Wajah saya 'kan tidak luka!" Dia melepas sendiri perban di wajahnya, melempar perban itu ke lantai dengan kasar. Sekarang tampak jelas wajah tampan dan mempesona itu. Tepat seperti dugaan. Dia adalah presdir Finansial Grup, Ravinio Surya Diningrat. Dan kini dia berstatus suamiku. Oh no! "Sekarang saya sudah menjadi suami kamu. Kita akan hidup bersama selamanya sampai akhir hayat." Dia melemparkan senyumannya dengan sangat manis tetapi malah membuat sekujur tubuhku merinding. "Tidak! Ini penipuan!" Aku lemas, mataku berkunang kunang. Inilah batasku menahan maag dan shock secara bersamaan. Momen terbaik untuk menghindari kenyataan yang menyakitkan. Pingsan. Bersambung.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN