Yana Jazada berpikir kalau Kafka mungkin sudah puas dan tidak akan lanjut lagi. Tapi, sayangnya, betapa salahnya dia. Dengan tangan gemetar, Yana mengusap bibirnya yang sudah berantakan. Tatapannya melamun, berharap semua ini tidak nyata. Pria itu tiba-tiba menaikkan dagu Yana yang masih duduk di lantai. Sudut bibirnya yang merah dan bengkak sudah kotor oleh cairan yang bercampur. Kafka menatapnya dengan kepala miring yang arogan. Tersenyum jahat dan dingin kepada wanita yang sudah berwajah sayu di antara kedua kakinya. “Kenapa? Lelah duluan? Sepertinya tidak begitu. Kamu sangat merah. Kamu sangat menyukainya, ya? Apakah sangat enak? Kamu sudah pernah melakukannya dengan pria lain sebelum ini?” tanya Kafka sangat dingin, sedikit ada nada menghina dalam suaranya meski terdengar lembut

