Awal Pertemuan

1036 Kata
"Maaf merepotkanmu," kata Anne setelah memasang sabuk pengaman. "Hm." Hanya gumaman tak jelas yang lagi-lagi lolos dari mulut pria itu. Hening, tak ada pembicaraan lagi setelahnya hingga mobil yang membawanya mulai melaju. Merasa canggung Anne mulai mengajak Sean berbicara, lebih tepatnya berusaha mengajak Sean membuka suara. "Di mana rumahmu? Maksudku, aku sangat minta maaf jika rumahmu berjarak jauh dari rumahku," ujar Anne tanpa menoleh pada Sean yang tetap fokus pada kemudi. "Kita searah," jawab Sean singkat. "Benarkah? Syukurlah." Anne bernafas lega mendengarnya. Setelahnya ia kembali berusaha membuka pembicaraan namun Sean tetap saja hanya menjawabnya dengan singkat padat dan jelas. Hingga akhirnya hanya butuh waktu setengah jam mereka sampai di rumah Anne. "Terima kasih sudah mengantarku." Anne mencoba membuka seatbelt namun ia cukup kesulitan. Tak! Sean membukakan seatbelt Anne dengan mudah membuat wajah tampan pria itu berada tepat di depan wajah Anne. "Terima kasih." Anne merasa canggung karena Sean tak segera beranjak meski seatbelt telah terlepas. Pria itu justru menatapnya intens. "Ma -- maaf, Sean, aku harus segera turun," kata Anne yang mulai panik. Entah kenapa ia merasa hawa bahaya dari tatapan Sean padanya. "Kenapa kau seperti tak mengenalku?" tanya Sean dengan sorot mata tepat mengarah pada mata Anne. "Ap-- apa maksudmu?" gumam Anne dengan mengedipkan mata lucu, seakan otaknya benar-benar tidak menangkap maksud Sean. Cup .... Sean mencium Anne tepat di bibir membuat mata wanita itu membulat sempurna. "Ka-- kau!" teriak Anne hingga menuding Sean dengan jari telunjuknya saat Sean mengambil jarak. "Sudah ingat? Atau perlu kuingatkan, lagi?" Pria itu menyeringai seraya menjilat bibirnya sensual. "Berani sekali kau! Aku tak mengerti maksudmu, sekarang lepaskan aku." Anne berusaha mendorong Sean yang masih menghimpitnya. "Shangri-la hotel satu bulan yang lalu." Seketika itu juga mata Anne membulat sempurna. Tatapan matanya mengarah tepat pada mata hitam sekelam malam milik Sean. Suaranya seakan tertahan di tenggorokan. "Ka -- kau?" "Sudah ingat? Kita lanjutkan sekarang?" Sean menyeringai, membalas tatapan keterkejutan Anne sementara tubuh Anne sudah bergetar hebat. Ingatan Anne kembali sekitar satu bulan yang lalu. "Hik … hik ..." Seorang wanita sudah terkapar di sofa beludru di sebuah club malam di Jakarta. "Titip dia, Karen." Rosa pergi bersama Al menyewa kamar vip menitipkan Anne yang sudah mabuk berat. Bukan karena terlalu banyak minum, ia bahkan hanya menenggak 2 gelas kecil alkohol, tapi hal itu sudah mampu membuatnya terkapar. Ia memang tidak pernah minum sebelumnya, keberadaannya disini karena paksaan teman-temannya. Dan Anne bersumpah sebelum ia benar-benar terkapar, ia tidak akan menyentuh minuman laknat itu lagi. Beberapa temannya sudah pulang dan hanya menyisakan Karen bersama Anne di sana. "Lama sekali," decak Karen karena Rosa dan calon suaminya tak juga kembali. Ia sudah sangat membutuhkan toilet sedari tadi, tapi Rosa tak jua kembali dan ia merasa khawatir pada Anne yang tak sadarkan diri. Merasa sudah tak tahan, Karen meninggalkan Anne sendiri. Lagipula Anne benar-benar mabuk, pasti tak akan bisa kemana-mana, pikirnya. Selang beberapa saat, Anne mengerjap di tengah silaunya lampu kelap-kelip yang menyambutnya. Ia terbangun dengan kepala yang pening. Melihat semua temannya sudah menghilang ia berniat pulang meski penglihatannya kabur. Anne bangkit dan berusaha bangun dengan kakinya yang tak mampu sepenuhnya menahan beban tubuhnya. Ia berjalan sempoyongan menuju pintu keluar. Bruk ... "Ma -- maaf ..." Anne tumbang saat menabrak seseorang sebelum mencapai mobilnya. Ia kembali berdiri dengan berpegangan pada tiang listrik di sebelahnya. "Sepertinya kau butuh bantuan, Nona?" "Eh? Hik … siapa?" Penglihatan Anne masih sangat kabur dan tak dapat melihat pria itu dengan jelas. Yang ia tahu, pria itu bertubuh tinggi karena lebih tinggi darinya dan memiliki d**a bidang yang kokoh saat ia menabraknya. "Aku akan membantumu." Orang itu memapah Anne masuk ke dalam sebuah mobil berwarna hitam. Dan ini jelas itu bukan Popon, mobil Anne. "Dimana ini? Hik … ini bukan Popon," racau Anne tak jelas. "Popon?" gumam pria itu dan seulas senyum menghiasi bibirnya saat mendengar wanita ini menyebut nama Popon. Mobil itu segera melaju dan hanya butuh waktu 15 menit mobil telah sampai di depan sebuah hotel. Pria itu yang tak lain adalah Sean, segera membawa Anne masuk ke dalam kamar hotel. "Panas sekali ...." Anne membuka pakaiannya dan membuangnya asal saat punggungnya telah mencium empuknya ranjang. Sean melonggarkan dasinya, melucuti semua pakaiannya dan membuangnya ke sembarang arah. Ia segera menindih Anne dengan tubuh yang sudah polos. "Kau? Siapa? Pergilah aku mengantuk ..." Dengan mata terpejam Anne mengusir Sean saat merasakan lehernya mendapat gigitan kecil darinya. "Tidurlah dan aku akan melakukan tugasku," bisik Sean di telinga Anne. Anne sudah tak berdaya, ia benar-benar ingin tidur sekarang dan terserah pada apa yang akan dilakukan Sean. Sean sudah tak sabar lagi, ia membutuhkan pelampiasannya malam ini. Namun sebuah kenyataan membuatnya seakan terjun bebas. Kenyataan yang menyelamatkan Anne dari penyesalan seumur hidupnya jika benar-benar kehilangan apa yang jaga untuk calon suaminya kelak. Sean segera beranjak dari atas tubuh Anne. Ia duduk di tepi ranjang dan tersenyum kecut. Menyisir rambut emonya yang sudah berkeringat menggunakan jarinya dan ia menatap Anne dengan pasrah. "Masih perawan," gumamnya. Ia menggeram rendah dan bangun dari duduknya. "Ck … sial." Kemudian berjalan menuju kamar mandi dengan mengacak rambutnya asal penuh frustasi. Ia butuh air dingin, tapi sepertinya tak cukup, mungkin ia harus bermain solo untuk melepas apa yang sudah berada di puncak. Kamasean Ranu bukan seorang b******n yang akan memanfaatkan kepolosan seorang gadis. Kecuali jika Anne sadar dan mereka melakukannya atas dasar suka sama suka. Atau Anne yang memaksanya melakukannya. Keesokan harinya ... "Ngh ..." Anne terbangun dengan selimut yang menutupi tubuhnya yang polos. Kepalanya terasa pening, ia segera menyibak selimut saat melihat pakaiannya tercecer di lantai. Ia telanjang bulat dan mulai panik, namun kepanikannya hilang setelah tak menemukan noda darah di sprei putih di bawahnya, ia juga tak merasakan sakit di bawah sana. Tapi tunggu, siapa pria yang sudah membawanya? Bagaimana jika pria itu mencuri barang-barangnya? Ia segera membuka tasnya yang tergeletak di sisi ranjang. Membuka tas selempang itu dan semua masih utuh. Tunggu, ada satu yang hilang, yaitu kartu tanda pengenal miliknya. "Sial," gumamnya dengan menepuk jidat lebarnya. Tapi ia masih bersyukur, ia masih selamat. Di tempat lain, seorang pria yang tak lain adalah Sean, tengah tersenyum tipis memandang sebuah kartu tanda pengenal di tangannya. "Anne Haruna, kita akan bertemu, lagi," gumam pria tampan itu yang kini melajukan mobilnya dengan kecepatan tinggi melewati jalanan kota yang ramai.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN