D U A

1036 Kata
Salma memegangi kepalanya yang terasa berat akibat efek alkohol yang dikonsumsinya semalam. Dia melenguh saat sinar matahari menusuk wajahnya. Mencoba bangkit, Salma justru dibuat terkejut ketika melihat apa yang ada dihadapannya sekarang. Di sampingnya, terbaring sosok pria yang menemaninya di bar dari malam hingga pagi. Otaknya memutar kembali kepingan kejadian-kejadian yang berhasil diingat oleh otaknya. Ciuman panas, ucapan permohonan darinya dan kejadian lain yang tak sanggup Salma ingat lagi saking malunya. “Kiss me, please.” Pria dihadapannya mengerang frustasi, “Demi apapun, saya juga mau kamu, tapi, tapi …” “Please.” Sekelibat bayangan kejadian semalam muncul ke permukaan otaknya, membuat Salma serasa ingin menangisi kebodohannya. Bagaimana bisa dia bisa lepas kendali seperti semalam? Seumur hidupnya Salma selalu bisa mengontrol dirinya ketika mabuk. Itu mengapa dia selalu percaya diri jika ke bar tanpa didampingi orang lain. Dia selalu bisa mengontrol dirinya untuk tidak berbuat lebih dari ciuman panas. Dia anti dengan hubungan fisik lebih dari itu karena itu akan menyulitkan dia kedepannya. Sial, sial, sial! Apa yang harus dilakukannya sekarang?! Salma buru-buru bangkit dari kasur dan memungut pakaiannya yang berserakan dimana-mana. Dia bersyukur karena dalamannya masih menempel sempurna pada tubuhnya. Itu artinya apa yang dia takutkan tidak terjadi. Sebelum pria itu terbangun dan keadaan canggung menyelimuti mereka Salma buru-buru pergi dari kamar itu dan berlari sekuat mungkin meninggalkan hotel tempatnya bermalam dengan pria asing itu. Salma mengatur napasnya yang tak beraturan kemudian menyetop taksi yang lewat di lobi hotel dan buru-buru menaikinya. Untung ini akhir pekan, jadi dia tak perlu direpotkan dengan urusan kantor yang menambah beban kepalanya yang seakan mau pecah sekarang. Entah hari ini hari tersial dalam hidupnya atau bagaimana. Ketika membuka pintu apartemennya, lagi-lagi Salma dibuat terkejut dengan kedatangan mamanya yang sudah menunggu kepulangannya. Hidup Salma selama ini memang terbilang bebas dan orang tuanya mengetahui itu. Namun, satu hal yang selalu orang tuanya tanamkan padanya. Hidupnya boleh bebas, tetapi jangan sampai dia melewati batas yang telah orang tuanya tentukan dan Salma hampir saja melewati batas itu. “Mama? Tumben datang ke sini pagi-pagi.” Salma melihat jam dinding yang menggantung di sudut ruang apartemennya. Jarum pendek di jam itu mengarah ke angka 7 dan jarum panjangnya mengarah ke angka 6. Rasanya terlalu pagi jika menyebut ini cuma kunjungan biasa. “Ada yang mau Mama sampaikan ke kamu. Penting.” Sekarang apa lagi? Jangan bilang masalah perjodohan yang sempat mereka perdebatkan seminggu yang lalu. Salma dan orang tuanya memang sempat membahas ini ketika dia datang berkunjung ke rumah pekan lalu. Tiba-tiba pembahasan yang awalnya ringan menjadi panas saat papanya tak sengaja membuka percakapan masalah dirinya yang masih melajang di umur yang sudah tak muda lagi. Orang tuanya berniat menjodohkannya dengan anak kenalan mereka, tetapi dengan tegas Salma menolak ide itu mentah-mentah. Bahkan Salma disodorkan daftar nama-nama orang yang akan dijodohkan dengannya lengkap beserta foto dan biodatanya. Salma hanya mampu menganga melihat tingkah tak biasa orang tuanya. Tumben orang tuanya se-ngebet ini menginginkan dia untuk menikah. Padahal selama ini dia merasa orang tuanya tak masalah melihat kehidupannya yang seperti tak berniat menjalani kehidupan pernikahan. Salma bahkan pernah mengutarakan akan hidup melajang untuk selamanya yang tak ditanggapi sama sekali oleh mereka. Dia kira diamnya kedua orang tuanya saat itu menandakan bahwa mereka setuju dengan keputusan yang dia buat, ternyata tidak seperti itu. “Mama itu pengin liat kamu bahagia sama laki-laki yang bisa membimbing kamu. Liat tuh Naya, sahabat kamu, dia aja yang seumur hidup nggak pernah pacaran udah nikah sama mantan bosnya, kamu memangnya gak ada niat menikah juga?” “Ma, Salma itu ngga ada niatan untuk menikah. Menikah itu merepotkan. Bayangkan kita harus menghabiskan sisa hidup kita dengan satu orang pria. Bukannya seperti ini lebih baik? Salma bebas berhubungan dengan pria manapun tanpa harus repot diikat aturan ini-itu.” “Menikah itu memang merepotkan, tetapi akan lebih merepotkan kalau tidak menikah. Saat ini kamu bisa dengan santai bicara seperti itu karena fisik kamu masih bagus, kamu masih bisa menghasilkan uang sendiri, kamu merasa bahwa kamu bisa mencapai apa yang kamu mau tanpa bantuan siapa-siapa. Tapi kamu harus ingat Sal, hal itu ngga akan berlangsung lama. Nanti, setelah mukamu keriput, tubuhmu tak sekuat ini, kamu butuh seseorang. Seseorang yang bakal nemenin kamu melewati masa tua itu. Kamu juga butuh anak-anak yang suatu saat akan menemani kamu ketika suami kamu udah ngga ada di dunia ini. Kamu butuh semua itu, Sal. Bukan hari ini, tapi nanti ketika kamu sudah tak semuda sekarang, ketika umurmu tak lagi muda, ketika semua yang bisa kamu lakukan di masa sekarang tidak bisa kamu lakukan lagi di masa depan. Jadi, turuti permintaan Mama dan Papa, Sal. Menikahlah, supaya Mama dan Papa tenang ketika tiba waktunya kami meninggalkan kamu nanti.” Kata-kata itu memang sempat mengganggu pikiran Salma akhir-akhir ini. Dia berusaha sekuat tenaga mencari celah atas ucapan mama yang dianggapnya omong kosong. Namun, semakin lama dipikirkan dia malah jadi ragu dengan pilihannya saat itu dan diam-diam mengiyakan semua perkataan mama. “Duduk Ma, Salma ambilin minum dulu.” “Gak usah, Mama juga ngga bisa lama-lama di sini, jadi langsung aja.” Salma menghela napas pasrah, tetapi tetap menuruti perintah tersirat mamanya dan duduk di sofa. “Langsung aja, Mama mau kamu menemui calon yang sudah Mama pilih untuk dijodohkan dengan kamu.” “Ma, Salma kan udah bilang-" “Sekali ini saja, Sal. Sekali ini saja turuti permintaan Mama. Kalau nanti pertemuannya tidak berjalan lancar, Mama ndak akan maksa-maksa kamu untuk segera menikah.” Salma membuang napas kasar. Dia menatap mata mamanya yang menyorot dengan tatapan penuh permohonan. Hah! Selalu saja seperti ini! Mamanya seakan tahu kelemahan dirinya yang tak sanggup ditatap dengan sorot mata seperti itu. “Baiklah. Sekali ini saja Salma bakal turutin kata-kata Mama, tetapi sesuai janji Mama tadi, kalau perjodohan ini ngga berjalan, Mama sama Papa bakal berhenti mendesak Salma untuk menikah dan akan menghargai keputusan Salma untuk tetap sendiri.” Mamanya tersenyum lebar mendengar jawaban Salma. “Iya, Sal, Mama janji ngga akan maksa-maksa kamu lagi. Kali ini Mama yakin pasti akan berhasil. Mama sudah memilihkan calon pasangan yang tepat buat kamu, pilihan Mama ngga akan salah.” Salma tersenyum kecut mendengar perkataan mamanya. Dia jadi penasaran siapa pria yang berhasil membuat mamanya seyakin ini. Kita lihat saja nanti. ***
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN