3. Perasaan Aneh

1342 Kata
Dimitri terbangun dari tidur malamnya. Sesaat menoleh pada jam dinding berwarna merah di samping lemari besar, masih menunjukkan pukul empat pagi. Dimitri mengerjap pelan merasakan ranjang disampingnya masih kosong, dingin tak terjamah. Hampir saja ia lupa bahwa baru beberapa jam lalu ia menalak cerai istri cantiknya. Kenapa sekarang merasa kehilangan, aneh kan? Dimitri biasa terbangun di jam-jam seperti ini, kebiasaan baru sejak menikahi Fawnia dua tahun lalu. Merasa sangat haus dan kering pada kerongkongannya. Pria itu menegakkan tubuh dan menoleh ke arah nakas, biasanya Fawnia yang selalu menyediakan satu gelas besar air putih. Tapi kini? Ahhh... kenapa jadi ingat dengan Fawnia lagi. Dimitri menyugar kasar rambutnya demi menyadarkan isi kepalanya, Fawnia sudah ia ceraikan. Secara agama mereka bukan siapa-siapa lagi sekarang. Ketika hendak keluar kamar untuk mengambil air minum, matanya tertuju pada koper besar yang diletakkan di sudut kamar dekat meja rias. Tiba-tiba benaknya terusik ingin memeriksa lemari besarnya. Begitu ia geser pintu kaca lemari tersebut, benar saja.. isinya sudah berkurang banyak. Hanya tinggal pakaian-pakaian dan keperluan miliknya, semua barang Fawnia pasti sudah dipindahkan ke dalam koper oleh perempuan pendiam itu. Dimitri mendesah pelan, diusirnya perasaan aneh yang mendadak menggelayuti hatinya. "Bangun bang, sebentar lagi subuh." "Bangun bang, mandi besar dulu." "Makanya jangan lembur sampai larut malam." "Makanya begini... " "Harusnya begitu..." Dimitri tersenyum tipis, setidaknya sekarang paginya lebih tenang tanpa omelan dari bibir manis Fawnia. Eh, manis? Usai mematikan AC, Dimitri memutuskan keluar kamar hendak mengambil minum dan bersiap subuh. Begitu sampai di dapur ia berpapasan dengan Fawnia yang sudah rapih mengenakan mukenah putihnya. Matanya masih tampak merah, sembab dan sedikit bengkak, mungkin karena rasa kecewa akan perpisahan mereka. Tapi kenapa Fawnia harus bersedih seperti itu? Bukankah dari awal pernikahan ini juga bukan kehendaknya. Kenapa perempuan itu dirundung sedih begitu dalam seolah-olah enggan berpisah dari suami yang... dicintainya? "Subuh Nia?" Dimitri tak tau kenapa mulutnya spontan menanyakan hal tersebut. Biasanya, Fawnia lah yang membangunkan Dimitri tiap menjelang subuh. Tapi pagi ini, lagi-lagi ada secuil kehampaan dalam hatinya. "I.. Iya Bang." jawab Fawnia singkat dengan sedikit menunduk, perempuan itu lantas berlalu ke dalam kamar tamu yang sejak semalam ia tempati. Usai sholat, Dimitri kembali dibuat linglung sendiri karena tubuhnya dengan refleks menoleh kebelakang, mencari makmum yang biasanya bergegas mengecup punggung tangannya. Tentu saja tak ia temukan siapapun di belakangnya, karena Fawnia ada di kamar sebelah. Perempuan itu... apakah merasakan hal yang sama. Ini hanya sementara. Rasa kehilangan ini hanya sementara. Perpisahan ini yang aku inginkan. Fawnia pasti juga pasti bisa melalui ini dengan baik, dia berhak bahagia dengan pria lain yang bukan aku. Aku... Aku akan kembali menjaga Nola. Wanitaku yang kini juga dilanda nestapa. Dimitri sibuk bergumam dengan dirinya sendiri. Berbagai kalimat sanggahan ia tanamkan dalam benaknya. Yang harus ia pikirkan kali ini hanya bagaimana cara untuk menjelaskan perihal perpisahannya dengan Fawnia pada sang mama yang begitu mencintai menantunya. ▪️▪️▪️ Setengah tujuh pagi, Dimitri baru keluar kamarnya setelah mandi dan bersiap berangkat ke kantor. Dilihatnya Fawnia yang sedang berkutat di dapur menyiapkan sarapan. Ada yang sedikit berbeda dari penampilan mantan istrinya itu. Boleh disebut mantan kan? Meski belum ada dua puluh empat jam Dimitri melayangkan talak cerainya. Penampilan Fawnia pagi ini terlihat lebih rapi dengan menggunakan blouse berwarna pink cerah bermotif sakura yang dipadukan dengan celana kulot berwarna hitam. “Mau ke salon?” tanya Dimitri membuat Fawnia mengangkat wajahnya beberapa detik. “Iya bang.” jawab Fawnia irit kata. “Bukannya biasanya berangkat siang?” Kalimat Dimitri membuat Fawnia benar-benar menghentikan kegiatannya menata sayuran serta telur setengah matang di atas roti gandum yang sudah diolesi mentega. Perempuan 25 tahun itu memicing keheranan dengan sikap Dimitri yang berubah sedikit banyak bicara padanya. Sebenarnya bukan hanya Fawnia yang keheranan dengan Dimitri yang mendadak sedikit cerewet pagi ini. Dimitri pun seolah kehilangan jati diri yang biasanya lebih kaku, tenang dan pendiam jika berhadapan dengan Fawnia. Apa karena ia sudah merasa merdeka setelah mengucapkan ikrar berpisah dari perempuan itu? “Hari ini ada sedikit renovasi si salon, jadi aku harus datang lebih cepat. Lagi pula sekarang Nia sudah gak ada kesibukan pagi seperti sebelum-sebelumnya.” jawab Fawnia tenang. Ada sedikit rasa nyeri dalam hatinya mengetahui wajah Dimitri secerah ini setelah menalak cerai dirinya. Selain menjadi ibu rumah tangga, setiap harinya Fawnia juga disibukkan dengan kegiatannya sebagai pemilik Salon dan Spa di sekitar Dukuh Kupang. Salon bertajuk ‘Dimaya Salon and Spa’ itu sudah berjalan lebih dari empat tahun sejak Fawnia lulus dari kuliahnya. Usaha yang awalnya hanya menyewa ruko tersebut kini berkembang pesat hingga Fawnia bisa membeli bangunan sendiri yang lebih besar, serta pegawai salonnya yang kian bertambah. Dimitri hanya mengangguk sebentar, kedua tangannya masih sibuk merapikan dasi yang sejak tadi ia tekuri namun tak kunjung rapi. Matanya tertuju pada dua pasang sandwich roti gandum yang sudah selesai diolah Fawnia. Dimitri berdehem pelan ketika Fawnia mulai memakan salah satu roti gandumnya dengan nyaman tanpa menawarinya. Bahkan di meja makan kecil mereka juga tak tampak secangkir jeruk hangat yang biasanya ia siapkan untuk Dimitri. Tak ingin hanya mematung di sisi meja makan, Dimitri menarik kursi dan duduk di sebelah Fawnia, menghadap piring berisikan sandwich yang sejak tadi menggugah seleranya. Namun yang pernah disangkanya adalah Fawnia malah menarik piring dihadapan Dimitri dan memindahkan sandwih tersebut ke dalam kotak bekal yang sudah ia siapkan. Bukan untuk Dimitri melainkan kotak bekal yang sedari tadi ia siapkan untuk dirinya sendiri. Membuang napas pelan, Dimitri hanya bisa melirik sebentar berpindahnya makanan sehat tersebut. Segera ia ambil gelas kosong dan mengambil air minum dari teko di tengah meja untuk sekedar membasahi kerongkongannya. “Aku berangkat dulu bang.” Fawnia memasukkan kotak bekal, botol air minum serta dua buah apel ke dalam paperbag yang biasanya ia gunakan untuk bepergian. “Gak sekalian bareng sama Abang? Kita kan searah.” “Aku sudah pesan taksi online bang, sebentar lagi datang. Lagi pula..” Fawnia melirik sekilas ke arah Dimitri yang pagi ini penampilannya acak-acakkan. “hanya tempat kerja kita yang searah, bukan tujuan hidup kita.” pungkas Fawnia lantas keluar rumah setelah mengucapkan salam pada Dimitri. ▪️▪️▪️ Dimitri tiba di kantor lebih pagi dari biasanya. Tentu saja lebih pagi, karena sejak hari ini ia tak mendapatkan sarapan serta camilan pagi yang biasa disiapkan Fawnia. Sampai di ruangannya ia segera menghubungi office boy kantornya guna memesan sarapan. “Mau dibelikan sarapan apa pak? Gak biasanya.” tanya office boy tersebut. Dimitri tersenyum sambil mengulurkan selembar pecahan seratus ribuan pada pemuda di depannya. “Soto boleh, sekalian bikinin kopi ya nanti.” titahnya yang langsung diangguki oleh pria bernama Wijat. "Siap pak." Selepas keluarnya Wijat, Dimitri sempat melihat Nola yang melintas di depan ruangannya. "Nola..." pekiknya bersemangat. Mendengar namanya dipanggil, Nola mundur beberapa langkah dan berhenti tepat di pintu Dimitri. "Tumben banget udah dateng sepagi ini Dim dan tumben juga penampilanmu sedikit... hmm...." Nola memindai penampilan Dimitri dari kepala hingga kaki. Tampak tak biasa karena sahabatnya itu tampak acak-acakan. "Kacau?" potong Dimitri sambil terkekeh pelan. "Yaa... bisa dibilang begitu." saut Nola tertular senyum Dimitri. Dimitri ikut mendekat dan duduk di tepian meja kerjanya. "Sini." Nola mengulurkan tangannya ke arah leher Dimitri hendak membantu pria itu menggunakan dasi. Sedetik setelah saling melemparkan pandangan, Dimitri mencondongkan tubuhnya mendekat. Dengan berbinar ia membiarkan jemari lentik Nola menyimpulkan dasi di lehernya. "Gak biasanya banget deh Dim penampilan kamu kayak suami gak di urus istrinya gini. Lagi berantem sama siapa ... Fawnia?" gumam Nola tanpa melepaskan fokus dari gerakan tangannya membuat simpul dasi. Dalam posisi jarak tubuh yang amat dekat dengan sahabat istimewanya itu, ia bisa menghirup nafas memburu dari Dimitri Handana. Hening beberapa detik. Hingga suara berat Dimitri kembali menyapa indera pendengaran Nola. "Kemarin.. aku mengucap talak cerai padanya." "Maksud kamu?" Nola terhenyak hampir tak percaya. "Kami bercerai Nola. Karena dari awal pernikahan memang kami tak ada rasa." ***
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN