Tak seperti yang terlihat

1186 Kata
"Keluar lo anak ayam!" teriak Reksa sembari melempar bantal ke arah sang adik. Pemuda satunya menjulurkan lidah, sebelum balas berteriak, "Ma, dikatain ayam sama Abang!" Bukan Heksa namanya kalau tidak berulah. Seperti pagi ini, anak itu dengan usilnya mengambil sebuah boxer dari lemari Reksa. Padahal, ia tahu betul kalau sang kakak tidak suka barang-barang pribadinya disentuh. "Balikin enggak!" "Galak! Pinjam satu doang pelit banget. Nanti kuburannya sempit!" sahut Heksa asal sembari mengamankan boxer calvin klein warna hitam dari kakaknya. "Lo juga, kan, punya!" "Gue maunya punya Abang. Apa susahnya sih berbagi? Kita, kan, kembar. Punya lo, punya gue juga. Punya gue, berarti punya lo." Reksa berdecak kesal. Ia memang tidak akan pernah menang jika berdebat dengan anak itu. Padahal, kemarin Reksa benar-benar merasa prihatin melihat Heksa yang seharian hanya guling-guling di kamar karena lemas. Sekarang sepertinya energi anak itu sudah terisi penuh lagi, sehingga bisa mengganggunya. "Ya udah sana bawa! Jangan balikin ke sini lagi. Gue enggak bakal pakai." "Ada apa sih ini? Pagi-pagi kalian udah ribut aja." Heksa langsung merapat pada sang mama, mencari pembelaan. "Abang pelit, Ma. Masa pinjam satu doang enggak boleh," adunya. "Ya lagian Adek punya kamar, lemari, sama pakaian sendiri, kok masih gangguin abangnya?" Gantian Heksa berdecak. "Ck, belain Abang lagi. Iya aku mah apa atuh cuma anak hasil cangkok. Jadi, enggak pernah dibelain Mama." Tawa Aulia meledak mendengar sindiran Heksa. "Ya, kamu emang iseng banget, Dek. Abang lagi siap-siap mau sekolah malah digangguin," ujarnya. Detik berikutnya perempuan itu mengusap puncak kepala Heksa sembari menuntun putranya keluar. Kasihan juga Reksa yang selalu jadi sasaran keisengan Heksa. Sebelumnya, Aulia kembali menoleh menatap Reksa yang berdiri memperhatikan mereka. "Abang cepat siap-siap, Mama tunggu di bawah." Pemuda itu hanya mengangguk. Terkadang ia ingin menjadi Heksa, yang ekspresif, ceplas-ceplos tanpa takut menyakiti orang lain, dan selalu dimanja. Reksa tidak pernah mendapat perlakuan berbeda dari orang tuanya, mereka membagi kasih sayang dengan adil. Namun, sebagai kakak, Reksa yang membatasi diri agar terlihat dewasa, kuat, sehingga sang adik tak segan meminta perlindungan darinya. *** "Ma, nanti aku pulang telat, ya. Mau futsal dulu." Aulia menghentikan kegiatannya menuangkan lauk ke dalam piring Reksa, lantas menoleh pada Heksa. "Futsal terus, Dek. Aturan istirahat dulu gitu lho. Orang kemarin sampai lemas enggak mau apa-apa." Heksa tak langsung menjawab. Mulutnya penuh dengan nasi goreng juga telur dadar. Sesaat setelah makanannya tertelan, baru anak itu bersuara, "Kemarin itu emang mood-nya aja yang lagi enggak beres. Makanya apa-apa malas." Reksa sendiri masih tak bersuara, memilih menikmati dalam diam interaksi mama dan kembarannya. "Apa lihat-lihat? Abang mau ayamnya?" tanya anak itu polos. Selanjutnya, Heksa benar-benar memindahkan ayam suwir dari piringnya ke piring sang kakak. "Makan sana." Bara terkekeh melihat raut terkejut Reksa saat Heksa memindahkan ayam dari piringnya. "Dimakan aja, Bang. Nanti Adek berubah pikiran lagi ayamnya dicomot." Pemuda itu langsung tersadar, dan menyantap ayam yang beberapa saat lalu berpindah ke piringnya. "Enggak dengar apa-apa lho, Bang," sindir Heksa. "Makasih." Gantian Aulia yang tersenyum melihat akurnya si kembar. "Gitu dong. Mama senang lihat kalian akur begini. Bukan pagi-pagi udah ribut cuma gara-gara boxer." "Adek nyolong boxer aku, Ma," kata Reksa membela diri. "Ya Abang pelit banget. Masa aku pinjam boxernya satu aja enggak boleh," sahut Heksa tak terima. Kali ini Bara geleng-geleng. "Kamu, anaknya tadi udah akur malah dipancing lagi pakai boxer." Bibir perempuan itu mengerucut. Mana ia tahu kalau boxer saja bisa memancing keributan lagi. *** "Ndu!" Heksa berdecak kesal saat seseorang memanggil nama depannya. Pandu. "Heh, Mikimini, kan udah gue bilang jangan panggil Pandu kalau banyak orang!" "Emang kenapa, sih? Orang Pandu juga bagus," sahut pemuda bernama Miki sekenanya. Tak terdengar jawaban. Heksa misuh-misuh tak jelas, meskipun detik berikutnya justru mulai tenggelam dalam lamunan. Otaknya dipaksa berpikir, ternyata memendam sesuatu terlalu lama tak membuat semua menjadi lebih baik. Keluarganya memang baik-baik saja sampai detik ini, tetapi tidak dengan hatinya. Heksa bahkan tidak tahu ke mana lagi ia harus mencari pelarian karena yang biasa Heksa lakukan tampaknya mulai berpengaruh pada kondisi kesehatannya. "Woy, malah ngelamun!" seru Miki. Refleks Heksa mengumpat karena ulah sahabatnya itu. Padahal, ia tengah berpikir serius. Memang s**l sekali punya teman yang sebelas dua belas dengan bola bekel seperti Miki. "Malming, Bos. Keluar enggak nanti?" "Cariin alasan dong. Gue udah enggak punya cadangan nih." "Bilang aja gue sakit, terus di rumah sendiri. Nyokap gue minta lo nemenin. Nanti gue pura-pura lemah, deh, di depan Alma. Biar dia bisa bikin licin kalau Reksa curiga." "Gue pikir otak lo udah berkarat kayak punya si bintang laut." Miki mendengkus sebal. "Main di kelab, saban hari nyebat, tontonan spongebob. Kenapa gue tahan, ya, sahabatan sama manusia model lo gini?" Heksa langsung mengangkat tangan, menghadiahkan sebuah jitakan pada pemuda di depannya. "Suaranya jangan keras-keras, Bambang! Kalau Alma dengar, repot gue." "Tapi, Ndu. Kemarin lo seriusan cuma nge-prank? Kenapa enggak bilang-bilang dulu anjir? Gue panik juga kemarin." "Lo pikir gue serahin itu rebahan di lapang basket pas lagi panas-panasnya cuma buat nge-prank? Gue sampai dimaki Reksa, terus diintrogasi juga. Enggak penting amat pura-pura kayak gitu." "Jadi lo pingsan beneran?" tanya Miki kaget hingga tanpa sadar setengah berteriak. Sontak saja mereka menjadi pusat perhatian. Alma yang sebelumnya sibuk mengobrol pun akhirnya menyempatkan diri menoleh ke bangku pojok. Lagi, Heksa mengumpat tanpa suara. Di bawah sana kakinya terayun ringan menendang kaki Miki yang tak terpaut jauh. "Sakit, Ndu." "Lagian elo berisik banget!" semprotnya. "Eh, ke belakang, yuk. Malak Mang Dayan. Sebatang doang mah enggak dosa. Enek melulu gue kalau abis makan." "Jangan minum terus. Kurangin rokok juga," sahut Miki sok bijak. "Ngaca. Perlu gue bawain?" *** Reksa ingin seperti Heksa yang mudah bergaul dengan siapa pun, tetapi sulit. Pernah ia mencoba mengakrabkan diri, dan mudah saja untuk mereka menerima. Para gadis bahkan berbunga setiap kali Reksa mendekat. Sayangnya, itu tidak membuat Reksa merasa nyaman karena lebih terbiasa berteman dengan sunyi. Ia tetap merasa kosong di tengah kebisingan. "Sa, tugas Fisika selesai belum?" Lamunan pemuda itu buyar seketika, begitu pertanyaan Yohan mengudara. Dan ia langsung tersadar bahwa setidaknya ia memiliki satu kekasih, sahabat, dan kembaran dalam hidupnya. "Di tas. Ambil aja," sahutnya. Ia tahu itu pertanyaan basa-basi saja karena tujuan Yohan sebenarnya adalah menyalin pekerjaan rumahnya. Yohan tidak pernah memanfaatkan kepintaran Reksa, tetapi karena anak itu lemah dalam Fisika dan Reksa lemah dalam Biologi, jadi keduanya saling mengandalkan. "Lo masih kesal gara-gara kemarin?" Lagi, Yohan bertanya setelah berhasil menemukan buku tugas sahabatnya. "Heksa?" "Iya." "Udah enggak. Cuma khawatir." Yohan menoleh. "Lah, kenapa?" "Dia bukan nge-prank. Dia kayaknya lagi benar-benar kurang sehat." "Ya udah enggak apa-apa. Namanya manusia pasti ada sakitnya. Jangan segitu khawatirnya." "Han, lo tahu, kan, kalau Heksa selalu bisa ngerasain kalau gue sakit? Anehnya, gue enggak bisa ngerasain apa pun kalau dia yang sakit. Gue kadang ngerasa enggak berguna dan kayaknya ini enggak adil aja." Pemuda yang tadinya sibuk menyalin tugas, sontak menghentikan kegiatannya. "Sa, itu bukan masalah besar. Selama lo selalu ada buat dia saat dia kesulitan dan butuh seseorang, gue rasa itu cukup." Reksa mengalihkan pandangannya ke luar jendela, dan di sana tampak sosok Heksa yang berjalan sembari bercanda sepanjang koridor bersama Miki. Ucapan Yohan ada benarnya. Meskipun tak bisa merasakan secara langsung, tetapi Reksa akan berusaha untuk selalu ada kapan pun Heksa membutuhkannya. |Bersambung|
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN