Fallin' in Love

2381 Kata
Setelah sekian lama tidak bertemu dengan Ivan, Dinda merasakan banyak perubahan yang terjadi kepadanya. Menggobrol dengan temanya sangat membuang-buang waktu sehingga waktunya dipergunakan untuk mengexplore dunia melalui buku. Satu jam setengah berbincang, Nampak seorang cewek menepuk halus bahu Dinda. Sontak terkaget dan langsung membalikkan tubuhnya. Dinda tidak pernah melihat Wanita cantik dengan rambut terurai indah Panjang berwarna coklat s**u tiba-tiba menepuknya sembari mengucapkan hai kepadanya. “Hai, mohon maaf aku Bella. Nama kamu siapa?” tanya cewek itu kepada dinda dengan suara yang lembut. “ee hai juga namaku Dinda. Kalau boleh tau ada apa ya? Aku belum pernah melihatmu sebelumnya” “Aku dulu satu sekolah sama Ivan. Kami berdua memutuskan untuk mendaftar di sekolah yang sama” jawabnya tersenyum manis. “oalah temennya Ivan di sekolah baru itu ya. Aku juga temennya sebelum Ivan sekolah disana” ucap dinda tersenyum manis juga. “Aku melihatmu berbincang dengan Ivan dari tadi, aku ingin menghampiri kalian berdua tapi sungkan hehe” “ oh tidak masalah juga sih kalau kamu ikutan berbincang dengan kita berdua” “hehe iya makasih ya” “iya” Dinda mulai berpikir kenapa cewek itu tiba-tiba mengajaknya kenalan dan tidak bersamaan dengan Ivan padahal mereka satu sekolah. Menurutnya sangat tidak wajar jika mereka mendaftar di sekolah yang sama namun berpisah-pisah bak teman yang tak pernah bertemu. Apakah mereka saling suka? Dinda memukul pipinya sendiri untuk keluar dari pikiran buruknya itu. (tes tulis masuk SMA telah dimulai) Saatnya tes tulis dimulai, para siswa sibuk mengerjakan lembar soal yang telah disediakan oleh panitia OSIS. Ruangan yang hening dengan 30 siswa didalamnya fokus mengerjakan soal per soal, babak penentuan mereka akan melanjutkan jenjang pendidikan selanjutnya. 2 jam kemudian, panitia mulai beranjak dari kursi pengawas dan mengambil lembar jawaban beserta soal ujian dan memohon siswa untuk meninggalkan ruangan tersebut dengan tertib. Dinda membereskan semua perlengkapan tulisnya dan segera pergi menuju kantin untuk menghela nafas setelah bertempur di medan perang. Seperti biasanya, Ivan melihat Dinda yang tengah asik minum es buah dan langsung menghampirinya. Tak lupa ia menyemprotkan parfum pada pergelangan tangannya sembari merapikan bajunya. Terlihat seperti cowok yang pertama kali bertemu dengan cewek yang disukainya. “Dinda, lagi apa nih?” tanya Ivan langsung duduk disamping Dinda. “eh Ivan, bikin kaget aja. Lagi minum es buah itung-itung refreshing otak ya kan” Jawabnya sembari tersenyum malu. “ Gimana ujiannya, lancar?” “Alhamdulillah lancar si van, soalnya lumayan susah haha” ucap Dinda menyeruput es buahnya “Tapi aku percaya kok kamu pasti bakal lolos, kamu kan pinter dan bisa diandalkan” Ivan memuji. Dag Dig Dug hati berdegup cepat saat Ivan memujinya seperti itu. Nafasnya tidak beraturan lagi, matanya memalingkan tatapan Ivan saat itu. “hehe bisa aja kamu van” “Oh iya van, dimana temenmu itu?” tanya Dinda mencairkan suasana tegang. “Siapa? Kamu kan temen aku?” jawab Ivan tanpa menatap mata Dinda. “Cewek yang Namanya Bella itu kan temen kamu di sekolah baru van masa kamu gak kenal sih, parah banget deh” “Bella? Mungkin dia sedang istirahat di tempat yang lain. Aku kurang akrab sih sama dia” jawab Ivan tersenyum kecil. “Oh oke” Dinda menyeruput es buahnya Kembali. Terjawab sudah pertanyaan Dinda tentang cewek yang tiba-tiba ngajak kenalan saat pendaftaran itu. Ternyata bukan orang special si Ivan. Hanya sekedar kenal namun tidak ada hubungan serius antara mereka. Hatinya berseri Kembali. Setelah bercakap-cakap, Ivan mengajak Dinda pulang. Dinda hanya senyum manis dan langsung beranjak dari kursi kantin. Jantungnya semakin berdegup kencang tak terkontrol. “Tumben banget van ngajakin pulang bareng” tanya Dinda malu-malu. “Gak papa sih Din, pengen jalan aja sama kamu. Besok kan pengumumannya keluar, aku jemput kamu ya di rumah, jadi kamu gak usah bawa motor sendiri” ucap Ivan. Jantungnya berdegup kencang sekali. Bisa-bisa Dinda langsung pingsan di tempat karna kekurangan oksigen. Wajahnya memerah menahan malu, keringatnya bercucuran, sesekali salting hingga ingin jatuh. Ia tak pernah merasakan perasaan ini sebelumnya sehingga jantungnya tak bisa terkontrol. (keesokan harinya) Brum.. brum.. brum.. Suara motor Ivan di depan rumah Dinda. Ivan turun dari motornya, dan mengucapkan salam di luar pagar. Ibu Dinda mendengar suara salam dari luar kemudian bergegas keluar untuk melihat siapa yang datang. “Selamat pagi tante, saya Ivan temannya Dinda” ucap Ivan dengan sopan. “nak Ivan silahkan masuk ya. Dinda masih ada di kamar mandi. Ditunggu di dalam saja” Ibunya mempersilahkan Ivan untuk masuk “Ivan mau sekalian ijin ke sekolah melihat pengumuman hasil tes kemarin te Bersama Dinda” Ivan ijin dengan sopan “Boleh kok, makasih ya nak Dinda udah diajak melihat hasilnya Bersama. Tante agak takut kalau dia naik motor sendiri” pinta ibu Dinda “Baik te, tante gak usah khawatir lagi sekarang” “iya nak ganteng” ibunya beranjak dari duduknya sembari menepuk lengan Ivan. Sekitar 15 menit kemudian, Dinda sudah siap akan berangkat ke sekolah. “Yuk van, maaf ya lama nunggunya” ucap Dinda malu-malu “lagian juga masih sebentar ini Din” “Aku bingung mau pake baju yang mana van jadi agak lama” Dinda merapikan jilbabnya. “Pake baju apapun juga bagus kok Din” jawab Ivan sambal merapikan bajunya. “Tante, Ivan dan Dinda berangkat dulu ya. Terimakasih minumannya te” ivan meninggikan nada bicaranya sebab ibu Dinda berada di dapur. Ibunya bergegas menuju ruang tamu. Ivan dan Dinda berjabat tangan seolah meminta restu untuk mendapatkan hasil terbaik nantinya. Saat di motor, Dinda Nampak tidak banyak bicara. Topiknya tiba-tiba hilang dari otaknya. Tak ada kepikiran untuk memulai percakapan. Sesekali ia melihat wajah Ivan dari spion dan tersenyum kecil. Beberapa kali curi pandang, Ivan memergoki Dinda sedang melihatnya lewat spion. Ivan tersenyum manis. “Curi pandang mulu ya” Ivan membuka topik pembicaraan. “eh hehehe haduh” Dinda panik sehingga pipinya memerah. “Kenapa? Kamu salting ya karna aku berubah banget dari cuek jadi perhatian?” ucap Ivan sembari melirik spion melihat wajah merah Dinda. “sedikit salting sih van. Emang kamu kenapa berubah sedrastis ini? Padahal dulu juga jarang kan kita ngobrol sedeket ini?” tanya Dinda kepada Ivan dengan nada malu-malu. “Aku juga gak tau, rasanya pengen banyak ngomong aja sama kamu” jawabnya “Merasa ngobrol sama orang yang berbeda van” candaan Dinda membuat Ivan tertawa lebar. “Pegangan yang kuat, kalau naik di speed segini gak akan sampe” Ivan menaikkan kecepatan motornya. Perjalanan dari rumah Dinda menuju sekolah sekitar 25 menit, itupun jika ditempuh dengan kecepatan 60 km/jam. Kalau Dinda yang berjalan, bisa hamper 35 menit baru sampai sekolah. Untung saja ada Ivan yang mau menberikan tumpangan kepada Dinda. Sesampainya di sekolah, Ivan bergegas untuk melihat papan pengumuman yang sudah di sediakan. Tampak ramai sekali melihat siswa berebut melihat daftar nama. “Kamu disini aja ya, nanti aku kasih tau aja. Rame banget disana takut kamu ditabrak mereka” ucap Ivan sembali bergegas menuju lapangan. “hati-hati ya van” gumam Dinda tak terdengar Ivan. Hatinya yang baru pulih kini berdegup Kembali. Setiap perkataan Ivan meluluhkan hatinya, apakah ini yang dinamakan cinta pertama? 10 menit berdesakan, akhirnya Ivan Kembali menghampiri Dinda yang duduk dibawah pohon mahoni. Terlihat wajah Ivan sangat tidak Bahagia, apa mungkin dirinya tidak lolos dalam seleksi itu? “Yuk ke kantin” pintanya sembari menarik tangan Dinda sesegera mungkin. Dinda sangat kaget, dan menuruti apa yang Ivan ucapkan. Dinda memesan es kuwut, sedangkan Ivan memesan secangkir kopi beserta roti bakar rasa tiramisu. Ivan terdiam, tidak mengucapkan kalimat apapun kepada Dinda. “Van, gimana hasilnya?” tanya Dinda sambal mengaduk es kuwutnya “Belum k*****a, nanti aja kalau udah pada pergi, biar leluasa lihatnya” jawab Ivan sembari memotong roti bakar dan memberikan kepada Dinda. “Kok aku merasa gak enak hati ya van? Apa aku gak lolos ya?” “Ih jangan gitu, orang belum dilihat kan? Kenyangin dulu ya biar adem pikirannya” Ivan mengelak terbata-bata “Kayaknya dia nyimpen sesuatu deh, tapia pa ya?” gumam Dinda dalam hati. Tak lama kemudian, Bella melihat Ivan dan Dinda sedang duduk Bersama. Bella bergegas menghampiri mereka, kemudian memanggil Dinda yang sedang asik makan. “Hey Dinda, turut sedih ya atas informasinya” sahut Bella tiba-tiba duduk disamping Dinda. “Ha? Kenapa Bel?” “Apa sih Bel, dating-dateng langsung kayak gitu. Orang lagi makan juga” sahut Ivan sinis “Ya aku cuma mau ngucapin itu aja van, karna aku kenal sama Dinda” jawab Bella merendah “Ada apa Bel? Kenapa kamu sedih? Informasi apa?” Dinda kebingungan. “em itu Din…” “Nih, roti bakar makan dulu Bel. Mau kupesenin minuman apa?” potong Ivan sembari menyodorkan sepotong roti bakar kepada Bella. “Jus tomat aja tanpa es” “Kalo kita dikantin ya kegiatannya mengisi perut dulu, nanti kalo udah selesai baru ngobrolnya ya” pinta Ivan kepada Bella agar tidak membocorkan informasi tersebut. Setelah selesai makan, mereka bertiga berjalan menuju papan informasi yang ada di lapangan basket. Panas terik menyengat kulit, membuat sebagian siswa memilih untuk meneduh terlebih dahulu sehingga tidak banyak orang yang melihat informasinya. Dinda mulai mengecek satu persatu kertas yang ditempel mulai dari ujung kanan papan. Ia mencari namanya pada lembar kertas terakhir agar tidak terlalu syok dengan hasilnya. Lembar per lembar diamati, Dinda menemukan nama Ivan di nomor 50 dan Bella berada di nomor 32. Ivan hanya mengamati reaksi Dinda untuk menemukan namanya di kertas berikutnya. Hanya tersisa lembar terakhir pada papan itu, Dinda menutup matanya berharap kertas terakhir ini ada secoret namanya. Namun, tidak disangka namanya tidak ada di semua kertas yang ditempel. Dinda membatu di depan papan, Ivan khawatir dengan Dinda segeralah dia membawa Dinda menepi untuk menenangkan dirinya yang sedang panik. “Kamu udah tau kan sebelumnya kalau aku gak lolos di seleksi ini?” gumam Dinda meneteskan air mata. Ivan dan Bella terdiam “Kenapa kalian malah banyak alasan? Kenapa gak langsung ngomong aja?” Dinda mengusap air matanya “em, cukup untuk hari ini. Bel aku dan Dinda pamit dulu ya” Ivan menggandeng tangan Dinda. “lepasin van, aku lagi gak mood aja. Aku naik ojek aja” pinta Dinda menolak ajakan Ivan. “Kalau gitu aku pamit juga ya, orang tua ku menungguku hasilnya dirumah. Aku harus cepat memberitahukan hasilnya. Semangat Dinda” Ucap Bella bergegas meninggalkan mereka berdua. Dinda menangis tersedu, ia tak percaya harus kemana lagi mendaftar sekolah. Sedangkan sekolah impiannya serentak tes di hari yang sama. Dinda malu dengan Ivan yang tidak lolos. “Din, its okay. Ini hanya seleksi tempat sekolah aja. Semua sekolah sama din belajar supaya muridnya menjadi pintar, gak ada perbedaan yang signifikan. Gapapa aku bantu kamu nyari sekolah yang baru ya” ucap Ivan sambil berlutut melihat mata Dinda yang penuh dengan air mata. “Aku malu van” “Malu sama siapa Din?” “aku malu sama kamu van” Dinda menyembunyikan wajahnya dibalik tangannya. “Tapi aku gak pernah menganggap ini serius Din, wajar jika ada yang lolos dan ada yang tidak lolos” ucap Ivan sambil sibuk mencari sesuatu di saku dan tasnya. “Ngapain van?” tanya Dinda mengusap matanya. “Btw aku gak bawa tissue lagi, pake apa ya buat ngelap air mata kamu? Aku juga gak bawa baskom buat nampung air matamu hehe” Ivan bergurau “Apa dah van, aku lagi sedih kamu malah happy banget deh” Dinda mulai tersenyum Kembali. “Nah gitu dong ketawa, sekarang kamu ambil berkasnya ayo kita daftar di Madrasah deket sini juga kok. Madrasahnya bagus kok, banyak menampung orang berprestasi apalagi yang kayak kamu. Auto lolos deh” Ivan menawarkan tangannya untuk menggandeng Dinda. “Iya van ayo” Mereka bergegas mengambil berkas pendaftaran dan langsung menuju madrasah yang dekat dengan sekolah itu. Saat di motor, Ivan menepuk halus dengkul Dinda seolah menenangkannya agar sedihnya tidak berlarut. Hidup ini terlalu singkat. Jangan sia-siakan dengan bersedih. Jadilah dirimu apa adanya, berbahagialah, jadilah bebas menjadi apa pun yang kamu inginkan. “Makasih ya van udah hadir di hidupku, menenangkanku dan membuatku selalu hidup” ucap Dinda “Aku akan jadi teman yang baik untuk kamu” jawab Ivan sembari tersenyum manis menatap Dinda melalui spion. Cinta itu tidak bisa di definisikan, cinta itu tidak mengenal alasan, dan cinta itu bisa bersemi. Bak taman bunga yang tenang, aroma bunga yang menyegarkan, menciptakan rasa damai dan indah di dalam hati. Setiap orang merasakan cinta, dan merasa tenang jika dicintai. Itulah sebab cinta mampu memberikan banyak kontribusi mempertahankan hidup seseorang. Bagaimana tidak? Seberapa banyak kasus diluar sana yang mengakhiri hidupnya hanya karena tidak ada rasa cinta lagi di dirinya. Namun, cinta yang berlebihan juga mampu memutuskan hidup seseorang. Sesampainya di madrasah, Dinda langsung mengambil formulir di kantor depan untuk segera diserahkan semua berkasnya. Ivan membantunya untuk mengecek semua form terisi dengan lengkap. Kemudian Ivan membantu untuk mengumpulkan berkasnya di meja pengumpulan berdekatan dengan komplotan kau madam sedang berbincang-bincang. “Mau makan apa kamu?” Ivan menawarkan kepada Dinda “Pengen yang pedes, ayam geprek boleh?” “Boleh dong. Ayo cepat naik, sepertinya kamu mulai lapar” Ivan menggoda Dinda kemudian melaju ke lokasi resto terenak di kotanya. “Aku mau makan ayam geprek rawit 30 ya van” “Jangan pedes-pedes lah, aku makan rawit 15 udah gak kuat masa kamu 30” jawab Ivan melirik Dinda di spion “Kan aku lebih hebat daripada kamu, aku bisa makan rawit 50 biji tanpa minum loh” “yang bener aja Din, jangan banyak-banyak lah. Rumah sakit gak murah” Ivan bergurau. “Mau liat gak aku makan rawit 50?” “Gak deh” “Yaelah van, padahal aku bisa loh” Dinda meyakinkan Ivan. “Iyadeh bisa, tapi jangan sekarang. Jebol tuh lambungmu entar” sahut Ivan khawatir Sesampainya di rumah, Dinda membicarakan hasil pengumuman dan rencana sekolah kedepannya Bersama keluarga. Keluarga Dinda sangat memaklumi hal itu, selalu mensupport kegiatan anaknya dan tidak membebani anaknya dengan hal duniawi. Dengan dukungan yang positif dari kedua orang tuanya, Dinda lebih yakin untuk mendapatkan prestasi akademik maupun non akademik untuk membuat orang tuanya bangga. Manusia berhak untuk merencanakan, namun biar Tuhan yang memutuskan. Sebaik-baiknya rencana manusia, akan lebih indah rencana Tuhan. Menginjak usia remaja sangat berbeda. Rencana yang dari awal Dinda buat tidak terealisasi dengan baik, bukan hanya ujian akademik saja yang ia rasakan, namun ujian kehidupan satu persatu mulai hadir di dalam hidupnya.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN