Pagi itu udara Jakarta terasa sesak, padahal matahari belum naik penuh. Minthea berdiri di lobi kantor sambil memegang kartu akses, tapi tangannya gemetar seperti habis berlari. Ia menarik napas panjang. Tetap tidak berhasil. Sejak semalam, kepalanya hanya penuh dua hal: CCTV. Dan Alven. Minthea menutup mata sebentar. Ia mengulang percakapan terakhir mereka—saat Alven hendak kembali ke rumah sakit setelah menjenguknya sebentar. Wajah Alven terlihat lelah, tapi tetap menyempatkan diri menatap Minthea yang penuh air mata—air mata yang ia buat-buat agar tampil sebagai korban penculikan dan pelecehan. Minthea menggigit bibir. Air mata itu bohong. Dia bohong. Semua itu drama. Dan drama itu bisa pecah kapan saja. Ia memaksa dirinya melangkah masuk lift. Beberapa pegawai menyapa, tapi ia

