Taman Kota

1502 Kata
Keesokan harinya rasanya sangat tidak bersemangat sekali walaupun sedikit lega karena Ali sudah kembali ke Bogor. Mita kembali lagi dengan aktivitasnya, ia mulai mengajar dan mendapatkan ejekan dari teman-temannya namun hanya senyuman yang menjadi jawaban dari gadis itu. Seharian itu Mita merasa sangat lemah sekali, rasa lelah datang terus-menerus menerpanya. Tidak ada semangat dan keceriaan yang terpancar dari wajahnya seperti biasa. Nata memperhatikan dari jauh, ada sesuatu yang beda dari diri Mita namun lelaki itu enggan bertanya sebab khawatir pertanyaannya akan menyakiti hati Mita. Jam sudah menunjukkan pulang sekolah, Mita berkemas dan berjalan menuju parkiran. "Mita!" panggil Nata setengah berlari mengejar Mita. "Hai, Nata. Ada apa? Kok lari-lari?" "Enggak pa-pa, aku hanya mengejarmu hehe." "Kamu kenapa?" Mita menaikan satu alisnya dan bingung dengan pertanyaan dari Nata. "Kenapa? Memangnya aku kenapa Nata?" "Kau sakit?" "Enggak kok. Aku baik-baik saja, Nata." "Yakin? Tapi aku merasa ada yang aneh denganmu." Mita menundukkan kepalanya yang secara tidak langsung menjawab kekhawatiran Nata bahwa ia memang sedang tidak baik-baik saja. Nata mulai paham, wanita yang suka benar-benar sedang ada masalah, namun ia bingung masalah apa yang sebenarnya terjadi? Bukankah ia harusnya bahagia karena beberapa hari ini bersama suaminya? Atau sedih karena suaminya sudah kembali ke Bogor? Banyak sekali pertanyaan yang muncul di benak dan pikiran Nata. "Ada apa sebenarnya?" "Aku hamil." Tubuh Nata menegang, sekujur tubuhnya terasa kaku karena kesempatannya untuk selalu bersama dengan Mita semakin sedikit. Ingin berucap namun merasa kelu dibuatnya, Nata menormalkan kembali kondisi hatinya. "Masya Allah, selamat ya Mita akhirnya akan menjadi seorang Ibu," ucapnya berpura-pura bahagia padahal sebenarnya ia menahan rasa sakit yang mendera hatinya. "Makasih, Nata," balas Mita dengan senyum yang masam. Senyum yang tidak menunjukkan suatu kebahagiaan. "Kenapa kau seperti itu? Bukankah seharusnya kau merasa sangat bahagia?" "Sungguh, aku sangat bahagia Nata. Tetapi, sepertinya suamiku tak menginginkan anak ini." "Maksudmu apa? Bagaimana mungkin tak menginginkan anak yang ada di kandunganmu? Harusnya dia sangat bahagia, karena akan menjadi seorang Ayah. Mana ada seorang lelaki yang tidak bahagia karena akan menjadi Ayah." "Ada Nata. Salah satunya adalah suamiku." "Kenapa bisa seperti itu, Mita?" "Entahlah aku juga tak paham. Saat aku memberitahu kabar bahagia ini, raut wajahnya biasa aja, tidak ada kebahagiaan yang terpancar dari raut wajah dan sorot matanya. Mungkin ia belum siap menjadi seorang ayah atau mungkin memang tak menginginkan anak dariku," ucapnya parau. Tangisnya pecah, tubuhnya bergetar hebat tak sanggup menahan rasa kecewanya lagi. Nata bingung harus melakukan apa, ia tak ingin disangka membuat Mita menangis. "Hey, Mita. Tenanglah, semua akan baik-baik saja. Kau jangan menangis, kasihan bayi dalam kandunganmu kalau ibunya sering menangis. Kamu itu wanita kuat, ayolah bangkit. Seharusnya, saat ini kau harus bahagia, kau harus fokus pada anakmu dan mencurahkan semua kasih sayang juga cinta padanya. Percayalah, ia sangat ingin diperlakukan seperti itu." "Tapi Nata, ayah dari bayi ini tak menginginkannya. Apa mungkin sebaiknya kugugurkan saja bayi ini?" "Mita! Kenapa kau bicara seperti itu! Lihatlah orang lain yang ingin punya anak susah payah berusaha kesana kemari untuk bisa mempunyai anak, tetapi kamu dikasih kesempatan menjadi seorang ibu, dikasih amanah luar biasa malah justru ingin membuangnya! Jangan berpikir dangkal!" "Tapi Nata, aku--" "Tidak ada tapi-tapian, Mita! Sudahlah, nanti malam aku antar kau ke bidan. Pasti kau belum ke bidan, 'kan?" Mita mengangguk. "Selepas sholat maghrib aku akan mengantarkanmu ke bidan. Tenang saja, semua akan baik-baik saja, percayalah." *** Malam pun tiba, Nata menepati janjinya selepas sholat maghrib ia datang dan mengantarkan Mita ke Bidan. Selama perjalanan, Nata selalu menyemangati dan menceramahi Mita akan sebuah pikiran konyol nan bodoh yang masuk ke dalam otak Mita. Nata tak menyangka bisa-bisanya Mita punya pikiran untuk menggugurkan kandungannya. Mita paham betul perbuatan itu sangat dibenci Gusti Allah, namun entahlah ia merasa kalut dan takut jika anak itu lahir tidak diterima oleh Ayahnya. Sebab, hingga saat ini saja Mita belum juga diterima oleh Ali dalam hidupnya dan hatinya yang entah karena apa. Sepanjang perjalanan ke rumah bidan, banyak sekali yang Nata sampaikan sehingga membuat wanita mungil itu mengurungkan niat untuk menggugurkan anak yang berada di dalam kandungannya. Mereka sampai juga di bidang untuk memeriksakan kehamilan Mita sudah berapa minggu dan bagaimana keadaannya. Dalam lubuk hati terdalam, Mita merasa sangat khawatir, sebab dalam beberapa waktu belakangan ia merasakan stress luar biasa karena ulah Ali. Dan membuatnya takut akan bayi yang dikandungnya tidak baik-baik saja. Benar saja, apa yang dipikirkan Mita terbukti. Kandungannya tidak baik-baik saja, akibat stress yang berlebih membuat janinnya telat berkembang baik, maka dari itu bidan menyarankan untuk bedrest dan melepaskan semua beban pikiran yang ada. Bagaimana bisa melepaskan beban yang ada apabila jika beban tersebut menghantam terus-menerus karena mungkin kebencian yang tertanam dalam diri Ali untuk Mita, ucapnya dalam hati. "Ini, saya berikan vitamin dan obat penguat kandungan ya, Bu. Ibunya jangan stress-stress dan banyak pikiran, kasihan nanti adik bayinya. Lebih baik lepaskan saja dan masa bodoh dengan apapun masalah itu." "Pak, dijaga ya anak dan istrinya. Dihibur istrinya agar tidak stress, inshaa Allah kalau ibu tidak stress maka adik bayi akan baik-baik saja. Makan dan vitaminnya juga dikontrol ya, Pak. Jangan sembarangan lagi sekarang, karena akan ada anak yang dilahirkan, utamakan makanan empat sehat lima sempurna. s**u hamilnya jangan lepas karena banyak sekali kandungan vitamin di dalamnya untuk tumbuh kembang anak dan otaknya. Sehat selalu Ibu dan anaknya ya," ucap Ibu Bidan panjang kali lebar. "Baik Ibu bidan. Saya akan selalu mengingat itu semua, terima kasih. Permisi." Mereka pun keluar dari rumah bidan dan akan kembali ke rumah namun ternyata mereka tidak kembali pulang dan mampi di taman kota. "Loh Nata, kenapa kesini?" "Refreshing sejenak, menghilangkan rasa gundah gulana dan penat yang bersarang di otak. Lagi pula refreshing sangat baik untuk ibu hamil. Refreshing bukan hanya menghilangkan penat tetapi bisa membuang semua masalah yang ada, jadi enggak sedih terus dan mengganti kesedihan tersebut dengan kebahagiaan." "Memang seperti itu?" "Iya, ayo kita turun dan menuju sana," ucap Nata menunjuk pada suatu tempat. Mereka berjalan dengan riang gembira layaknya seperti pasangan suami istri yang sangat bahagia. Kesedihan yang tercetak jelas dalam wajah Mita seketika berubah menjadi kebahagiaan. Seulas senyum selalu menarik bibir mungil itu menjadi sesuatu yang sangat indah sekali. Nata sangat bahagia melihat perubahan dari Mita, ia merasa berhasil sudah membuat wanita mungil itu bahagia walaupun hanya sementara. "Mita, lihatlah. Sungguh indah bukan lampu kerlap-kerlip itu jika dilihat dari atas ini?" "Masya Allah, iya kamu benar Nata. Sungguh aku tak pernah melihat keindahan seperti itu. Terima kasih, Nata." "Jangan berterima kasih padaku, Mita. Bukankah kita teman? Teman itu sudah seharusnya saling menolong satu sama lain jika temannya merasa sedih." Mita memandang nanar wajah Nata yang tampan dan menyadari bahwa mereka hanya teman, bukan sepasang kekasih ataupun sepasang suami istri. Mita merasakan kebahagiaan luar biasa jika berada di samping Nata membuatnya lupa akan status istri dari lelaki lain. Nata, kenapa aku merasakan kenyamanan yang luar biasa saat denganmu? Beda sekali dengan saat berada dengan suamiku. Jika bersamamu aku merasakan surga namun jika bersamanya aku merasakan neraka. Nata, mengapa kau datang terlambat? Mengapa kau datang di saat aku sudah tersematkan status sebagai seorang istri. Andai kau datang tepat disaat waktunya dulu, mungkin hidupku tak akan sangat menderita seperti ini. "Nata," panggil Mita lembut. "Kenapa?" "Nata, mengapa kau baru datang dalam kehidupanku sekarang?" "Maksudmu Mita?" "Iya, mengapa kau tidak datang dalam hidupku dulu saat aku belum menjadi seorang istri dari lelaki lain." Nata tersenyum lembut atas pernyataan yang dilontarkan oleh Mita dan membuatnya terkekeh. "Mengapa kau ketawa! Memang ada yang lucu!" ucapnya merajuk. "Mita, walaupun aku hadir lebih dulu dari suamimu belum tentu kau akan memilihku menjadi suamimu." "Nata, aku sudah pasti akan memilihmu karena kau sungguh sangat baik, lembut dan juga mengutamakanku." "Tetapi, bisa jadi ketika aku sudah menjadi suamimu justru tidak seperti ini, 'kan?" "Mita, rezeki, jodoh dan maut itu sudah gusti Allah atur. Jika aku baru datang saat ini di kehidupanmu, itu artinya kita tidak berjodoh sebagai sepasang kekasih atau suami istri tetapi berjodoh sebagai seorang teman." "Jangan pernah lupa, Gusti Allah sudah menggariskan bagaimana kehidupan kita dan juga pasangan kita kelak. Jadi, jangan pernah menyesal dengan apa yang Gusti Allah kasih sekarang." "Sekarang mungkin kau merasa bahagia bersamaku namun kelak suamimu yang akan memberikan kebahagiaan itu untukmu. Semangat, demi anakmu." Mita mengangguk patuh, matanya berbinar mendengar semua apa yang dilontarkan oleh Nata dengan sangat bijaknya. Ia tak pernah menyangka akan dipertemukan dengan lelaki yang sangat bisa seperti Renata. Ia berpikir dan merasa bahwa Nata tidak seperti lelaki lain yang hanya memikirkan nafsu dan kepuasan semata, seperti Ali dan mungkin lelaki lain di luaran sana. Nata sungguh benar-benar bisa menghargai seorang wanita dan bisa bersikap bijak dalam berpikir dan berbicara. Mungkin benar dia lebih banyak melalui fase dimana keterpurukan melandanya sedangkan Mita sejak kecil selalu dimanja oleh keluarganya terutama Ayahnya. Setelah puas menghilangkan penat walaupun sejenak, mereka bergegas kembali ke rumah karena waktu sudah menunjukkan jam malam. Mita khawatir tanggapan tetangga mengenai ia pergi dengan lelaki lain, walaupun suaminya tak pernah menganggap ia ada namun ia berusaha semaksimal mungkin untuk menjaga nama baik suaminya. ***
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN