Ayah
A, pulang jam berapa? Nanti Ayah jemput.
Me
Aku pulang telat. Ada kerja kelompok.
Ayah
Di rumah aja.
Me
Udah janjian di rumah teman.
Ayah
Jangan pulang malam.
Me
Iya.
Ayah
Kalau waktunya makan, makan.
Ayah
Ingat, kamu udah janji buat selalu jaga kondisi.
Ayah
Enggak boleh makan junk food.
Kalau camilan bekal sekolah tadi habis, biar Ayah kirim orang buat antar ke sana.
Alvin geleng-geleng membaca sederet pesan dari ayah Erland. Sedari tadi Alvin yang membalas, sementara Erland hanya duduk diam sambil sesekali komat-kamit mengumpat karena sikap over protektif sang ayah.
"Ayah lo kayaknya sayang banget sama lo," tutur Alvin.
"Gue enggak suka."
"Lah, kenapa?"
"Gue berasa dikekang. Ini itu enggak boleh. Semua Ayah yang atur, bahkan apa yang harus gue makan pun diatur."
"Lo ambil sisi baiknya, deh. Jarang ada ayah yang segini perhatiannya. Apalagi sama anak cowok." Alvin berusaha meluruskan cara pandang Erland.
Erland menghela napas berat. Di satu sisi ucapan Alvin memang benar, tetapi di sisi lain sikap yang ditunjukan sang ayah membuatnya tersiksa. "Lo enggak tahu, sih, gimana rasanya jadi gue. Tiap hari di cekokin sayuran. Gue benci banget sama sayuran, tapi Ayah selalu maksa gue makan itu. Enggak jarang, setelah makan tumbuhan hijau laknat itu gue muntah-muntah. Karena apa? Karena gue benar-benar enggak suka. Alasan gue kembali sekolah formal karena pengin punya sedikit waktu tanpa Ayah."
"Jangan berpikir sejauh itu, Lan. Kalau ayah lo enggak ada, lo bakal merasa jauh lebih buruk dari sekarang. Percaya sama gue. Enggak semua orang berkesempatan mendapat orang tua yang luar biasa baik."
Mendengar apa yang Alvin katakan, membuat Erland berpikir, apakah mungkin hubungan Alvin dan orang tuanya tidak begitu baik? Terlalu dini menyimpulkan. Mereka baru saja saling mengenal. "Iya gue tahu. Gue juga, kan, tadi bilang kalau gue cuma butuh sedikit waktu tanpa Ayah."
Pemuda bermata sipit itu memilih diam. Ia sadar sudah terlalu ikut campur akan urusan Erland. "Eh, itu cewek yang waktu itu bantuin lo!" serunya kemudian saat tanpa sengaja melihat perempuan yang dicari Erland melintas di koridor.
Tanpa pikir panjang, Erland langsung melompat dari tempat duduknya, lantas berlari tunggang-langgang keluar kelas.
"Hei!" Erland berteriak.
Dua orang gadis yang tengah berjalan, spontan berhenti. Meskipun tidak spesifik, tetapi koridor sekolah memang sepi jadi kemungkinan besar merekalah yang dimaksud.
Erland mempercepat langkahnya, lalu berhenti tepat di depan kedua gadis itu. "Masih ingat gue?"
Gadis satunya diam, sedangkan gadis yang diketahui bernama Renata Meidina W itu tersenyum. "Masih. Anak kelas 10 yang pingsan pas upacara penutupan."
Tangan pemuda itu bergerak, menggaruk tengkuknya yang tidak gatal sama sekali. Ia berusaha menyembunyikan rasa malunya. "Apa cuma itu yang lo ingat dari gue?"
"Anak kelas 10 yang lebih pilih minum s**u yang dibawa dari rumah, daripada teh hangat buatan gue."
Hana tak bisa menahan tawa mengingat apa yang diceritakan sahabatnya tempo hari.
"Oke ... oke, pertemuan yang kurang berkesan kayaknya. Mulai sekarang gue pengin lo ingat gue sebagai Arkana Erland, bukan si orang sakit waktu itu, gimana?" tanya Erland sembari mengulurkan tangan.
Belum sempat Renata menyambut uluran tangan Erland, tiba-tiba saja seorang lelaki datang dan memasang wajah sangar di hadapannya.
"Heh, bocah ingusan! Ngapain lo ganggu cewek gue?"
Erland terkesiap. Ternyata gadis incarannya sudah punya kekasih. Dengan santai Erland menyahuti, "Sebentar lagi bakal jadi cewek gue."
Bagas—kekasih Renata—mulai tersulut. Ia mencengkeram kerah seragam Erland, lantas berkata, "Jangan mimpi! Rena enggak bakal sudi pacaran sama bocah ingusan macam lo."
Meski sebenarnya takut. Erland berusaha menguasai diri. Pokoknya kalau di sekolah, Erland tidak boleh cengeng. Harus seperti orang dewasa. Erland sudah SMA. "Gue udah dewasa!"
"Buktikan. Kita lihat apakah benar lo udah cukup dewasa seperti yang lo bilang."
"Oke!" Erland tak berpikir panjang tentang apa yang mungkin terjadi padanya nanti. Yang penting harga diri dulu.
"Bagas! Jangan macam-macam!" sentak Renata.
"Semacam doang kok, Yang. Kantin yuk!"
Renata membiarkan temannya pergi ke kelas lebih dulu, dan ia memilih ikut dengan Bagas.
Erland menatap kepergian mereka dengan tatapan yang sulit diartikan. Hatinya sedikit panas, terutama setelah melihat tangan mereka bertautan. "Mending pacaran sama gue yang imutnya ke mana-mana, daripada sama cowoknya sekarang, galaknya ngalahin induk ayam kalau anaknya diganggu."
Harus kalian tahu, Erland takut ayam. Induk ayam yang anaknya masih kecil-kecil tepatnya.
***
Daripada menuruti permintaan sang bunda yang menyuruhnya terang-terangan minta izin untuk memasukan satu atau dua suap makanan, Erland memilih makan diam-diam di tengah pelajaran berlangsung. Untunglah ia duduk di bangku pojok, sehingga cukup membantu mengamankan pergerakannya.
Alvin yang duduk di sebelahnya tak banyak bertanya. Yang ia tahu, Erland hanya anak yang selalu lapar karena nyaris setiap dua jam, Erland membuka kotak bekal lalu memasukan makanan ke dalam mulutnya. Anehnya, teman sebangkunya itu tidak pernah mau jika diajak makan di kantin.
"Arkana Erland, sedang apa kamu?"
Erland kontan tersedak. Makanan yang sedang dikunyahnya melompat keluar, mengundang gelak tawa seisi kelas. Sementara yang lain tertawa, Erland yang masih terbatuk-batuk berusaha menguasai diri.
Pemuda bermata sipit di sebelahnya menatap prihatin, sembari menepuk punggung Erland berkali-kali.
"Ma-maaf, Bu."
Guru berparas cantik itu geleng-geleng. "Selesai pelajaran, ikut Ibu ke kantor."
***
"Pokoknya aku enggak mau kayak gitu lagi, Bunda. Aku enggak mau bawa bekal. Enggak mau makan sering-sering."
Pasca dipanggil karena kedapatan makan di kelas, Erland enggan membawa bekal ke sekolah. Terang saja itu membuat Arlan dan Elena uring-uringan. Bukan tanpa alasan, salah makan sedikit saja bisa berbuntut panjang. Itu sudah berkali-kali terjadi.
"A, jangan gitu dong. Bunda, kan, udah bilang sama pihak sekolah kalau Aa itu spesial. Jadi, mereka pasti maklum."
"Enggak."
Arlan yang sudah kepalang kesal, akhirnya bersuara, "Ya udahlah, nanti juga kapok sendiri."
Bibir Erland semakin mengerucut mendengar sindiran sang ayah. Jangan lupa ia masih ngambek karena dibelikan sepeda. Di mana bagusnya pergi sekolah naik sepeda? Erland itu sudah SMA, jadi mau terlihat mentereng di antara teman-temannya. Ini malah dibelikan sepeda.
"Aa makan?" tanya Reina sembari mengacungkan paha ayam di tangannya.
"Enggak!"
"Apa sih galak!" sahut Reina tak terima.
"Bunda bilang apa, Nak. Kalau lagi makan enggak boleh banyak bicara. Aa lagi mode tanduk jangan diajak bercanda dulu."
Reina memasang sikap cuek, dan kembali memutilasi ayam goreng buatan sang bunda dengan giginya yang tak seberapa. "Udah galak, jelek, ya, Yah?"
Arlan terkekeh. Kenapa putri kecilnya itu mirip sekali dengan Elena? Iseng dan ceplas-ceplos. Lucu sekali. "Iya, Rei."
"Lo juga. Udah ompong, banyak omong lagi!" Erland menyahuti dengan sebal kemudian berlalu meninggalkan meja makan. Pokoknya hari ini Erland mau mogok makan supaya ayah dan bundanya mau menuruti semua yang ia mau. Biasanya mereka paling tidak bisa melihat Erland kesakitan. Jadi, Erland harus sakit dulu.
|Bersambung|