"Oh jadi kalian pernah ketemu sebelumnya, waktu sama-sama mau pulang ke Jogja dan naik kereta barengan. Ya ampun kok bisa pas barengan gitu sih, apa kalian emang udah jodoh dari sananya? Tapi, kamu tadi kok bilang cewek m***m," tanya pak David—bapak dari Viany yang menatap ke arah Raga yang kini duduk dengan tidak tenang. Dia baru saja mendapatkan sebuah kenyataan jika akan dijodohkan dengan perempuan yang tidak pernah dia lupakan gilanya.
Viany dan Raga saling menatap, mereka berusaha bicara lewat tatapan mata untuk mencari alasan soal ucapannya yang tidak bisa dikontrol. Bagaimana Raga tidak kaget jika tiba-tiba dia datang ke rumah perempuan yang dia anggap adalah orang m***m yang menciumi fotonya di majalah. Viany menggeleng pelan, membuat Raga hanya bisa menghela napasnya kasar.
Ternyata calon jodohnya itu model majalah yang sangatlah dia suka saat di kereta sampai tidak sadar jika mencium sampul majalah dengan antusias. Doa yang dia panjatkan beberapa hari lalu ternyata dikabulkan Tuhan soal berjodoh dengan laki-laki itu. Namun pipinya malah memanas saat dia mengingat beberapa kejadian saat mereka di dalam kereta. Benar-benar memalukan, menurutnya.
"Em, sebenarnya itu juga salah ngomong, om. Saya kaget waktu lihat Viany, soalnya mirip sama cewek m***m yang ada di film yang saya tonton," jawabnya asal yang membuat mereka menatap ke arah Raga kembali.
Viany menepuk dahinya pelan sedangkan Raga melirik ke arah Viany dengan wajah bingung. Memangnya dia salah? Hanya itu mungkin yang ada di dalam pikiran Raga saat ini. Sedangkan Alfa dan Galang menahan tawa karena ucapan calon adik iparnya itu. Yangkung dari Viany dan eyang kakung dari Raga tidak berkomentar selain saling menatap satu sama lain.
"Kamu suka nonton film yang kaya gitu ternyata. Emang judul filmnya apaan?" Alfa tiba-tiba keceplosan dengan wajah polos yang membuat Raga paham kemana arah pembicaraan mereka. Raga hanya tersenyum menyembunyikan rasa malunya. Dia tidak tahu bagaimana cara menyelesaikan kesalahpahaman ini dengan benar tanpa harus mengatakan hal-hal tidak mutu seperti yang tadi.
Yangkung menatap Alfa dengan tatapan mautnya, "Alfa bisa tidak kamu tenang dulu? Adik iparmu baru menjelaskan permasalahan mereka," ucapnya yang hanya diangguki oleh Alfa. Laki-laki berumur dua puluh delapan tahun itu hanya bisa terduduk lesu. Padahal dia penasaran film apa yang pemainnya mirip dengan adiknya.
Viany menghela napasnya kasar dengan wajah kesalnya. Kenapa bisa dia dijodohkan dengan laki-laki yang menganggapnya sebagai perempuan m***m. Padahal dia masih suci dan belum terkontaminasi meskipun dia bersahabat baik dengan pakar kemesuman bernama Randu. Bagaimana bisa laki-laki gagah di depannya itu nampak tenang dengan ucapannya yang seakan memberikan penjelasanan jika dia adalah perempuan yang tidak baik.
Yangkung dari Viany melirik ke arah semua tamunya, "baiklah, saya kira jika masalah sudah selesai. Dengan adanya Viany yang pulang dari Surabaya karena kuliahnya dan Raga yang selesai bertugas. Apa kalian setuju untuk berusaha mengenal satu sama lain. Kami tidak menargetkan kapan kalian akan melangsungkan pernikahan, tapi kami berharap jika tahun ini kalian mau segera mengikat janji sehidup semati," lanjut yangkung dari Viany yang membuat keduanya terdiam dengan banyak pikiran di dalam otak masing-masing.
"Bagaimana Viany? Raga?" tanya eyang kakung dari Raga yang membuat keduanya mendongak dan spontan mengangguk. Padahal rencananya Raga tidak akan langsung mengangguk jika dia ditanya soal pernikahan. Raga mengumpati dirinya sendiri karena terlalu cepat mengambil keputusan karena gugup. Dia bingung bagaimana caranya menyangkal pernikahan ini tanpa menyakiti banyak pihak. Apalagi dia belum bicara pada sang pacar soal kepulangannya dan perjodohan gila ini.
Sedangkan Viany masih saja berpikir jika menikah dengan Raga pastinya dia akan sering ditinggalkan untuk berfoto dengan perempuan-perempuan cantik. Dia pikir seorang model pastinya populer dan terkenal playboy. Kenapa juga keluarga besarnya malah memberikan dirinya jodoh seorang laki-laki dengan profesi semacam ini. Walaupun sejak lahir dia tidak pernah pacaran, tapi tetap saja Viany tidak terlalu suka dengan profesi sang calon.
Suasana mulai mencair setelah melakukan pembahasan soal perjodohan keduanya yang memang sangatlah serius. Saat ini mereka saling bercerita satu sama lain, apalagi yangkung dari Viany dan eyang kakung dari Raga yang membicarakan keluarga masing-masing. Sedang yang muda seperti mereka pun bingung harus bicara apa.
Viany sibuk mengobrol dengan Galang soal Randu. Sedangkan Alfa malah nyambung bicara dengan pak Surya soal bisnis dan beberapa strategi pemasaran karena ayah dari Raga itu diam-diam pintar dalam bisnis. Raga? Dia hanya fokus dengan ponselnya yang menunjukkan sebuah foto perempuan cantik dan dirinya. Sesekali dia mengetikkan pesan pada perempuan itu untuk sekedar mengabarinya walaupun dia belum bicara apa-apa soal kepulangannya.
Pak David menepuk pundak Raga pelan, membuat Raga yang kaget langsung saja mematikan layar ponselnya. Tidak enak jika calon ayah mertuanya tahu soal perempuan lain selain putrinya. Lagipula Raga tidak setega itu untuk membuat keluarga dari Viany merasa tak dianggap.
"Om tahu rasanya dipaksa saat kamu memiliki orang lain yang kamu cintai. Tapi nak Raga, orangtua jelas memilihkan pendamping yang terbaik untuk anaknya. Om pernah berada di posisimu yang tidak suka dengan pernikahan seperti ini, namun om baru tahu jika perjodohan tidak selamanya berdampak buruk. Om titip anak perempuan satu-satunya om sama kamu ya," ucap pak David yang membuat Raga hanya bisa mengangguk. Sekarang dia semakin dalam posisi terjepit.
Mereka berdua saling bicara soal kemiliteran terutama karena sama-sama terjun dalam bidang yang sama. Bahkan mereka bagaikan orang yang sudah mengenal cukup lama karena asyiknya pembahasan keduanya yang memang tidak jauh dari profesi serta senjata.
Setelah pembahasan dan acara mengobrol mereka cukup, mereka kembali berkumpul seperti formasi sebelumnya. Duduk di kursi masing-masing dan melanjutkan pembahasan soal pernikahan keduanya. Kadang Viany dan Raga saling menatap. Tapi pasti ada salah satu yang memutuskan kontak mata itu.
"Baiklah, kami sekeluarga sangat terkesan dengan keluarga kalian. Kami sangat berharap jika kita bisa benar-benar berbesanan. Mungkin nanti Raga bisa segera mengurus ke kesatuannya untuk pengajuan nikah. Mungkin Viany dan Raga harus rela bolak-balik untuk mengurus semuanya," ucap eyang kakung dari Raga pada semua orang di sana.
Viany mengernyitkan keningnya bingung, "bentar deh, jadi mas ini sebenarnya bukan model? Jadi, kamu tentara?" tanya Viany to the point dengan intonasi tinggi ke arah Raga. Sedangkan yangkung hanya bisa berdehem untuk mengingatkan Viany soal sopan santun.
"Kapan saya bilang kalau saya model? Saya dari dulu memang tentara," jawab Raga dengan wajah datarnya namun tidak terlihat angkuh sama sekali. Viany hanya bisa mengangguk dengan wajah kagetnya yang jelas kentara di sana. Padahal dia melihat laki-laki itu sebagai model cover majalah realita waktu itu, dan sekarang dengan biasa saja, laki-laki itu bilang jika dia tentara?
"Kenapa?" tanya Raga kembali dengan menaikkan sebelah alisnya, menggoda perempuan itu untuk menjawabnya. Raga sedang berusaha membalaskan dendamnya atas insiden di kereta waktu itu. Yang membuat pipinya malah semakin memanas.
"Pantes aja sixpack,"
Ceplos Viany yang membuat mereka semua tertawa. Sedang Raga menyesal menanyakan hal itu pada seorang perempuan yang memang benar-benar dia anggap m***m. Ternyata gadis pilihan keluarganya adalah gadis di kereta yang sudah membuat warna merah di lehernya waktu itu.
"Lucu juga sih dia! Ih mikir apa kamu Raga, jangan mikir yang aneh-aneh. Ingat, kamu harus bikin cewek m***m itu gagalin nikahan ini,"
###
Raga melepas pakaiannya lalu menatap ke arah kaca besar di dalam kamarnya yang memang biasanya dia gunakan untuk melihat tatanan rambutnya. Sesekali dia melihat ke arah tubuhnya yang memang cukup sixpack, berkat dari latihan fisik selama ini. Menjadi tentara juga bisa membuatnya merasakan efek perubahan tubuh yang luar biasa. Apalagi di jaman-jaman pendidikan dulu, dia harus melakukan latihan fisik setiap hari.
Raga kembali mengingat ucapan Viany yang mengatakan jika dia sixpack sampai-sampai semua anggota keluarganya menggoda dirinya terus-menerus. Padahal ini hanya masalah kecil yang membuat tubuhnya menjadi memanas, hanya karena ucapan seorang perempuan cantik yang kelakuannya sedikit aneh. Raga tidak menyangka saja jika dia akan kembali dipertemukan dengan perempuan abstrak yang memang selalu bicara blak-blakan. Viany sama sekali tidak mencerminkan perempuan yang menjaga image sama sekali dan jujur saja Raga cukup tertarik dengan semua kelakuan aneh anak farmasi tersebut.
"Ish, ngapain sih aku dari tadi? Malah mikirin si cewek m***m itu lagi, padahal jelas-jelas aku nggak suka sama dia. Cuma, dia itu unik dan bukan tipe cewek nggak suka jaga image. Dan itu nilai plus dia mungkin. Tuh kan, aku malah mikirin dia lagi. Ga, lupain dia! Nggak penting," ucap Raga yang berjalan mengambil kaos hitam polosnya lalu memakainya.
Sore ini dia memang berencana untuk jalan bareng dengan teman SMA-nya di daerah alun-alun utara untuk menikmati indahnya malam nantinya dan mencicipi jajanan pinggir jalan yang sudah mulai jarang bisa dia nikmati karena tugasnya yang kadang keluar pulau dan jauh dari toko makanan menjadikan dirinya merindukan makanan-makanan kaki lima. Mungkin dia akan mencari angkringan yang biasa menyajikan nasi kucing, telur puyuh, gorengan, dan makanan yang murah meriah tentunya.
Raga beranjak ke dapur terlebih dahulu untuk minum, "mas, mau kemana? Mau ketemu sama calon istri ya? Oh ya mas, btw katanya kalian udah ketemu di kereta dan satu tempat duduk. Jangan-jangan yang bikin leher mas merah-merah itu, dia ya?" tandas Ayu pada kakaknya itu.
"Uhuk," sontak Raga yang sedang minum menyemburkan air yang ada di dalam mulutnya. Benar-benar kurang ajar adiknya itu, mentang-mentang sudah sangat berpengalaman masalah seperti ini, Ayu menjadi lebih tahu apa yang terjadi. Raga mengelap sudut bibirnya dengan punggung tangannya dan melirik ke arah Ayu yang menampakkan wajah menggoda.
"Mas nakal ya ternyata," goda Ayu pada Raga yang membuat laki-laki itu menatapnya dengan tatapan tajam. Bagaimana bisa dia dibilang nakal, jika bukan karena fotonya nangkring di sampul majalah, mana mungkin Viany akan menganggap dia sebagai model. Lalu setelah itu Viany menciumi fotonya dengan penuh napsu. Apalagi ketika Raga mengingat soal kejadian itu membuatnya semakin malu.
Raga menutup kulkas setelah menaruh botol air mineralnya di bagian pintu, "udah lah, nggak usah di bahas. Mas mau jalan sama Rio, dia teman SMA mas. Yang dulu kamu taksir," balas Raga yang membuat Ayu hanya bisa mendengus sebal. Setelah itu baru Raga keluar dari rumah dengan membawa kunci mobil milik ayahnya.
Mobil Honda Brio baru saja keluar dari halaman rumah Raga dengan laki-laki itu sebagai pengemudinya. Jalanan sore ini memang tidak terlalu padat namun cukup membuatnya harus bersabar. Bagaimana juga, daya tarik alun-alun utara atau alun-alun kidul memang menjadi yang paling utama selain Malioboro. Setelah sibuk berjejal dengan kendaraan lainnya di jalanan, Raga berhasil sampai di daerah alun-alun untuk menunggu Rio. Mereka memang janjian langsung di lokasi karena temannya itu memang bekerja sebagai pegawai bank dan jam lima dia baru pulang dari kantor. Lagipula tempat kerja Rio dengan alun-alun memang cukup dekat.
"Udah lama, ndan?" sapa Rio dengan memanggil Raga dengan sebutan 'ndan' atau maksudnya adalah komandan. Sedangkan Raga yang baru saja meminum sari kacang hijau langsung saja berdiri dan bersalaman dengan sahabat SMA-nya itu. Sudah lama mereka tidak bertemu apalagi setelah sama-sama lulus SMA. Rio kuliah di perbankan dan Raga masuk AKMIL, mereka bisa bertemu hanya saat-saat tertentu saja karena Raga yang memang banyak tugas di luar.
"Sini duduk Yo, udah lama kita nggak ngumpul ya. Wah, sorry ya ngajak ketemuan dadakan, nanti takutnya nggak sempet ketemuan lagi. Habisnya aku cuma ngambil liburan paska tugas," ucap Raga yang kembali duduk dengan tenang.
Rio melepas jaketnya dan ikut duduk disamping Raga, "hm, iya sih nggak papa. Lagian aku juga nggak sibuk-sibuk banget kok. Tumben ambil liburan ke Jogja, pasti mau jalan sama Sintia ya? Atau ada acara keluarga," tanya Rio antusias namun membuat Raga malah menampakkan wajah lesunya.
Raga menghela napasnya kasar dan menatap ke arah Rio, "aku datang karena diminta sama eyang kakung, biasalah kalau keluargaku gimana. Pastinya cuma disuruh menghadiri acara perjodohan yang bakalan bikin sejarah dalam hidupku," jawab Raga dengan menatap ke arah depan. Dia hanya sedang butuh teman bicara jika dia masihlah sangat sulit menerima perjodohan antara dirinya dengan Viany.
Rio menganggukkan kepalanya paham, "ya siapa tahu kalau si cewek yang dijodohkan sama kamu lebih baik daripada Sintia kan? Lagipula kamu sendiri yang bisa menilai, calonmu sama Sintia baikan mana? Apalagi kamu sama Sintia udah pacaran bertahun-tahun kan. Saranku sih, kamu jalanin dulu dengan yang baru, bukan berarti aku malah ngajarin kamu buat jadi playboy. Tapi nggak ada salahnya kan kalau kamu memberikan sedikit kesempatan untuk calonmu itu. Dengan begitu kamu bisa mengambil langkah selanjutnya. Kadang orangtua juga berhak memberikan masa depan dan juga harapan indah untuk anak-anaknya," ucap Rio sambil menepuk pelan pundak Raga.
Lagi-lagi dia diberikan sedikit ceramah soal harapan orangtua yang tidak akan membuat anak sengsara. Tapi jika perasaannya saja masih bersama dengan sang pacar, lalu apakah itu bisa dia sebut sebagai bahagia. Rasanya Raga masih ragu dengan hatinya akan berpindah dengan orang seperti Viany, yang diawal pertemuan saja sudah membuat nilai minus di dalam penilaiannya. Ah, Raga hanya bisa pasrah dengan keadaan yang menuntutnya untuk tetap mengambil keputusan terbaik dari yang terbaik. Memilih meninggalkan pacarnya dan memilih tunangannya atau meninggalkan tunangannya demi pacarnya. Sedangkan taruhannya adalah keluarga atau hatinya.
###